Oleh : Pdm. Fredrik Dandel, ST, STh.
Pendahuluan
Ketika
dua insan yang berlainan jenis (pria dan wanita) saling mencintai, mereka
tentunya menginginkan supaya hubungan yang mereka jalani diikat dalam suatu
pernikahan yang kudus. Pernikahan tersebut terbentuk dengan suatu harapan /
damba untuk mendapatkan kebahagian. Saling membahagiakan satu dengan yang lainnya,
demikianlah yang terpartri dalam janji pernikahan sehidup dan semati.
Seiring
dengan berjalannya waktu, dalam mengarungi bahtera rumah tangga, tidaklah
terlepas dari adanya konflik. Pemicu konflik tersebut sangatlah bermacam-macam,
mulai dari persoalan yang kecil, sedang sampai ke persoalan yang besar, jika
tidak diselesaikan dengan baik oleh kedua suami dan isteri, maka berpotensi
kepada perceraian / hancurnya rumah tangga yang pastinya akan berakibat buruk
baik kepada kedua suami isteri tersebut, terlebih kepada anak-anak sebagai buah
nikah mereka.
Tidak
ada seorangpun yang menginginkan kehancuran dalam rumah tangganya, tidak ada
seorangpun yang mau menikah untuk kemudian bercerai. Tetapi kebanyakan pernikahan
yang berujung pada perceraian, memiliki suatu alasan yang klasik, yakni untuk
kebahagiaan masing-masing pribadi. Benarkah demikian ?
Pengertian Konflik dan Penyebab Terjadinya Konflik
Menurut
Cassell Concise English Dictionary, 1989; konflik bisa didefinisikan sebagai “suatu
pertarungan; suatu benturan; suatu pergulatan; pertentangan
kepentingan-kepentingan, opini-opini, atau tujuan-tujuan; pergulatan mental;
penderitaan batin”. Sedangkan Menurut Cornelius et al, 1992, konflik adalah:
“dua jajaran kebutuhan atau lebih yang menarik dari arah-arah yang berlainan”. Konflik
dapat disimpulkan sebagai berikut: “Ketidaksetujuan atau ketidaksepakatan yang
muncul ketika kepentingan/paham dua pihak yang bertentangan. Untuk memuaskan
kepentingan-kepentingan tersebut dipengaruhi oleh sumber daya yang dimiliki
terbatas, komunikasi antar pihak lemah dan tidak adanya itikad untuk mencari
jalan keluar terbaik”. (Jaliaman Sinaga, dkk (2015).
Menurut Jaliaman
Sinaga, dkk (2015), Konflik dapat disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut : Perbedaan karakter/kepentingan, perbedaan
paham / pemahaman / persepsi / interpretasi, perilaku yang kurang menghargai
orang lain, kompetisi nyata ataupun tersembunyi untuk mendapatkan sesuatu yang
diinginkan/di luar jangkauan; serta Tugas dan tanggung jawab yang tidak
dirumuskan secara jelas.
Sedangkan menurut Hadisubrata dalam Nurul Atieka (2011), konflik dalam
perkawinan yang menyebabkan keretakan hubungan suami-istri atau bahkan
menyebabkan perceraian, biasanya bersumberkan
pada kepribadian suami istri dan hal-hal yang erat kaitannya dengan perkawinan.
Konflik yang bersumber pada kepribadian pada umumnya disebabkan oleh : Ketidakmatangan kepribadian, Adanya
sifat-sifat kepribadian yang tidak cocok untuk menjalin hubungan perkawinan,
dan adanya kelainan mental. Sedangkan Konflik yang bersumber pada hal-hal yang
erat kaitannya dengan perkawinan, menyangkut masalah sebagai berikut : Keuangan,
Kehidupan social, Pendidikan anak, Masalah Agama, Hubungan dengan Mertua-Ipar,
Penyelewengan dalam Hubungan Seksual, serta Ketidakpuasaan seksual.
Mengatasi dan Meminimalisir Konflik
Pasangan
suami isteri Kristen, menyadari bahwa perceraian bukanlah sesuatu hal yang
dikehendaki Allah. Mat. 19:5-6 : “Dan firman-Nya : Sebab itu laki-laki akan
menginggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya
itu menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu.
Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan oleh manusia.”
Dan lagi Lukas 16 : 18 ditekankan : “Setiap orang yang menceraikan isterinya,
lalu kawin dengan perempuan lain, ia berbuat zinah; dan barangsiapa kawin
dengan perempuan yang diceraikan suaminya, ia berbuat zinah.”
Suami isteri Kristen yang mengasihi Tuhan dan taat kepada
kebenaran Firman Allah, tidak akan pernah menginginkan perceraian sebagai
solusi untuk menyelesaikan konflik dalam pernikahan mereka. Jangankan
dilakukan, dipikirkan ataupun diperkatakan saja, akan membuat ketidaknyaman
dalam hati keduanya. Bagaimana mengatasi konflik dalam rumah tangga itulah yang
merupakan solusi terbaik bagi kebahagiaan rumah tangga mereka.
Jika
kita menyadari bahwa konflik dalam rumah tangga itu tidak bisa dihindari, maka satu-satunya
cara yang dapat kita lakukan adalah menghadapi konflik tersebut dan mau berupaya
untuk mengatasinya, atau dengan kata lain kita berusaha untuk “mengubah konflik
menjadi berkat” sehingga kebahagiaan dalam pernikahan akan tetap dapat kita
nikmati bersama pasangan suami atau isteri kita, dan kita terhindar dari
sesuatu keputusan yang membuat kita lebih menderita.
Jaliaman
Sinaga, dkk (2015), menawarkan tujuh langkah mengubah konflik menjadi berkat
berdasarkan Firman Tuhan, yaitu : Meminta
hikmat dari Tuhan; Memiliki sikap mau belajar; Membangun komunikasi; Mengintrospeksi
diri; Memiliki jiwa besar; Mempersingkat konflik; dan Mengendalikan Emosi.
Tujuh langkah tersebut jika kita implementasikan dengan baik, tentunya akan
membawa kita keluar dari konflik yang berkepanjangan.
Konflik memang tidak bisa kita hindari, namun
sesungguhnya konflik dalam pernikahan itu bisa saja kita minimalisir. Beberapa hal
yang dapat kita lakukan uintuk meminimalisir konflik dalam pernikahan
diantaranya adalah sebagai berikut :
1.
Memiliki Hidup
Yang Bergaul Karib dengan Tuhan.
Seorang yang memiliki hubungan karib dengan Tuhan, pasti akan mampu
mengendalikan dirinya melakukan sesuatu yang tidak berkenan kepada Tuhan dan
sesama. Bergaul karib dengan Tuhan dibuktikan dengan pemberian waktu setiap
hari menyembah Tuhan, berdoa dan membaca kebenaran Firman Allah.
2.
Berusaha Meluangkan
Waktu Bersama Pasangan.
Beberapa keuntungan ketika suami dan isteri memiliki waktu untuk bersama,
adalah : Terjalinnya komunikasi yang baik antara suami dan isteri; Menumbuhkan perasaan
cinta kasih kepada pasangannya, dan Jika memilki masalah akan dapat dicarikan solusi
untuk memecahkan permasalahan yang dialami oleh pasangan.
3.
Menciptakan
suasana yang harmonis, penuh kasih sayang dan perhatian.
Dengan menciptakan suasana yang harmonis, penuh kasih sayang dan
perhatian, akan membuat pasangan suami isteri itu menjadi bahagia dan terhindar
dari percekcokan. Pasangan suami isteri perlu memiliki selera humor, dan boleh
mencoba untuk mempraketakan itu ketika mereka sedang bersama.
4.
Membangun
komitmen untuk saling mengasihi dan saling percaya.
Kasih Kristus merupakan dasar hidup suami isteri (Ef. 5 : 22-33). Jika
kita menyadari bahwa Kristus mengasihi kita dan mau berkorban bagi kita, maka
demikianpun selayaknya kita memperlakukan pasangan hidup kita. Dengan membangun
komitmen untuk saling mengasihi dan saling percaya, potensi konflik akan dapat
diminimalisir.
Penutup
Kebahagiaan
hidup suami isteri bukanlah berarti karena tidak pernah mengalami konflik.
Konflik dalam suatu rumah tangga merupakan bumbu kehidupan yang perlu dikelola
dengan sebaik-baiknya. Ketika suami isteri mampu mengelola konflik, maka
konflik tersebut akan dapat menjadi suatu berkat dalam kehidupan pernikahan.
“Jadi karena dalam Kristus ada nasihat, ada penghiburan kasih, ada
persekutuan Roh, ada kasih mesra dan belas kasihan, karena itu sempurnakanlah
sukacitaku dengan ini: hendaklah kamu sehati sepikir, dalam satu kasih, satu
jiwa, satu tujuan, dengan tidak mencari kepentingan diri sendiri atau
puji-pujian yang sia-sia. Sebaliknya hendaklah dengan rendah hati yang seorang
menganggap yang lain lebih utama dari pada dirinya sendiri; dan janganlah
tiap-tiap orang hanya memperhatikan kepentingannya sendiri, tetapi kepentingan orang
lain juga. Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan
yang terdapat juga dalam Kristus Yesus.” Filipi 2:1-5.
Kepustakaan :
Eva
Meizara Puspita Dewi. Konflik Perkawinan dan Model Penyelesaian Konflik Pada
Pasangan Suami Isteri. Jurnal Psikologi Volume 2, No. 1, Desember 2008.
Jaliaman Sinaga, dkk. Bimbimbang
Pernikahan. Divisi Pengajaran GBI, Jakarta. 2015.
Lembaga Alkitab Indonesia (2002). Alkitab, Cetakan Kesepuluh. Penerbit
Lembaga Alkitab Indonesia. Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar