Sabtu, 29 April 2023

EKSISTENSI THEOS OLEH ARISTOTELES DENGAN GENGGONALANGI DI MASYARAKAT SANGIR TALAUD DAN SITARO DALAM DIMENSI FILSAFAT TEOLOGI

Oleh : Fredrik Dandel, ST, STh.

(Gembala GBI PETRA Talawid, Mahasiswa STT Magister Pastoral Konseling Bethel Indonesia dan Mahasiswa Magister Teologi STT RMK Bitung)

ABSTRAK

Konsep Theos menurut Aristoteles berangkat dari pemikirannya tentang gerak, dimana dikatakan semua benda bergerak menuju satu tujuan. Karena benda tidak dapat bergerak dengan sendirinya, maka harus ada penggerak dimana penggerak itu harus mempunyai penggerak lainnya hingga tiba pada penggerak pertama yang tak bergerak yang kemudian disebut dengan theos, yaitu yang dalam pengertian Bahasa Yunani sekarang dianggap berarti Tuhan. Konsep Tuhan oleh Aristoteles tersebut mempunyai relevansi dengan konsep Tuhan dalam masyarakat Sangihe Talaud dan Sitaro, yang disebut sebagai Genggonalangi. Dalam korelasinya, Tuhan oleh Aristoteles dengan Genggonalangi maka ditemukan revelansi tentang eksistensi Tuhan meliputi beberapa hal diantaranya yaitu: 1) kesadaran akan adanya Tuhan, 2) Genggonalangi sebagai Zat yang tidak berwujud, 3) Genggonalangi sebagai Penguasa Tertinggi.


Kata kunci: Filsafat Aristoteles,Genggonalangi. 

PENDAHULUAN 

Pro dan kontra tentang filsafat dan teologi telah tergores dalam sejarah Kekristenan. Meskipun demikian, kita tidak dapat menyangkali bahwa peran penting filsafat dalam teologi demikianpun sebaliknya telah dirasakan manfaatnya hingga saat ini. Refleksi terhadap relasi antara filsafat dan teologi dirasa sangat membantu umat Kristen dalam menajamkan dan mengembangkan teologinya. Ilmu filsafat dan teologi merupakan dua ilmu yang saling menguatkan dan menajamkan. Keduanya digunakan untuk saling membangun dalam tugasnya sebagai sarana pengenalan akan Allah serta sebagai kerangka dalam membangun wawasan dunia Kristen yang injili. Filsafat Teologi merupakan salah satu cabang dari filsafat yang membahas konsep-konsep dasar tentang filsafat (epistemologi, ontologi, aksiologi), hubungannya dengan teologi Kristen, dan manfaat praktisnya bagi cara berpikir dan cara hidup orang Kristen, juga menyoroti berbagai isu teologi kontemporer yang melibatkan penggunaan cara berpikir filsafat. Aristoteles merupakan seorang filsuf Yunani Kuno (384 SM - 322 SM) yang pemikirannya sangat mempengaruhi pemikiran barat dan pemikiran keagamaan lain pada umumnya. Sumbangsih pemikiran Aristoteles terhadap teologi bermula ketika ia mencetuskan ide tentang gerak. Menurut Aristoteles semua benda bergerak menuju satu tujuan. Karena benda tidak dapat bergerak dengan sendirinya, maka harus ada penggerak dimana penggerak itu harus mempunyai penggerak lainnya hingga tiba pada penggerak pertama yang tak bergerak yang kemudian disebut dengan theos, yaitu yang dalam pengertian Bahasa Yunani sekarang dianggap berarti Tuhan. Eksistensi Sang Penggerak oleh Aristoteles dibuktikan melalui adanya pembuktian-pembuktian ilmiah. Sebagai sebuah pernyataan tentang Tuhan maka segala hal yang berkaitan dengan keberadaan-Nya harus bisa dibuktikan melalui pembuktian-pembuktian yang bersifat objektif sesuai dengan prinsip ilmu pengetahuan, bahwasannya segala pernyataan harus diikuti oleh pembuktian secara ilmiah. Dalam makalah ini penulis akan memfokuskan pada topik bahasan tentang eksistensi Tuhan oleh Aristoteles yang diistilahkan dengan Theos dan korelasinya dengan konsep I Genggonalangi dalam kehidupan masyarakat Sangir Talaud. Sehingga rumusan masalah yang dijadikan acuan dalam penulisan makalah ini adalah Bagaimana eksistensi Tuhan dalam pemikiran Aristoteles dalam kaitannya dengan pemikiran tentang I Genggonalangi pada masyarakat Sangir Talaud ?

HASIL DAN PEMBAHASAN 

Tuhan Dalam Pandangan Filsuf Yunani Kuno Pemikiran tentang eksistensi Tuhan telah ada sebelum Aristotel. Thales yang hidup sekitar tahun 624-546 SM dipercayai merupakan orang pertama yang memikirkan tentang adanya Tuhan. Pertanyaan seriusnya tentang : Apakah sebenarnya bahan alam semesta ini ? awalnya memang bercorak rasionalisme, namun tidak dapat dipungkiri dalam pertanyaan ini iman atau kepercayaan tetap kelihatan memainkan peranannya. Menurut Thales alam ini penuh dengan dewa-dewa yang menggerakkan setiap yang bergerak entahkan itu makhluk hidup ataupun benda mati. Sesuatu argumen yang masih terlihat dipengaruhi oleh kepercayaan pada mitos.[1] Thales berpendirian bahwa substansi segala sesuatu adalah materi yakni “air‟ yang berarti pembuktian ontologis ini dibangun masih dibatasi oleh fisik (matters), dengan kata lain konstruksi ontologis yang dibutuhkan saat itu sebatas menjawab pertanyaan “what is the nature of the word stuff ?” atau “what is the basic principle of universe”. [2]

Pemikiran tentang Tuhan selanjutnya berasal dari Anaximander atau Anaximandros. Anaximandros (610-546 SM) adalah seorang filsuf dari Mazhab Miletos dan merupakan murid dari Thales.[3] Ia mengatakan bahwa segala sesuatu berasal dari benda pertama, tetapi benda pertama itu bukan air, bukan api, bukan tanah, dan bukan udara, melainkan berasal dari asal yang lebih dahulu dari padanya. Secara ringkas dapat dikatakan bahwa masalah penciptaan (kejadian) bagi dia adalah masalah perpindahan dari satu bentuk ke bentuk lain, dari satu rupa ke rupa lain, dan bukan masalah mengadakan atau menciptakan dari tiada. Jelaslah bahwa benda-pertama, di mana semua wujud akan kembali kepadanya. Dewa adalah sumber penggerak dan perkara-perkara yang bergerak. [4]

Filsuf berikutnya adalah Herakleitos. Herekleitos berasal dari Ephesos, sebuah kota perantauan di Asia Kecil.[5] Ia hidup di sekitar abad ke-5 SM (sekitar 540-480 SM).[6] Ia mengatakan tentang tidak butuhnya semua yang wujud kepada Zat yang mewujudkannya. Akan tetapi ia mengatakan tentang kebutuhannya terhadap keadilan Tuhan yang tidak bisa tidak harus ada bagi wujud-wujud tersebut. Berbicara tentang Tuhan, seperti halnya berbicara tentang Zat yang mengatur dan berkemauan, kata Herakleitos. Di antara kata-kata Herakleitos adalah sesungguhnya Tuhan tanpa diragukan lagi adalah kunci keadilan pada alam semesta keseluruhannya dan sesungguhnya perbuatan-perbuatan manusia kosong dari akal fikiran, tetapi perbuatan-perbuatan Tuhan tidak kosong daripadanya. Manusia tidak lain adalah seperti kanak-kanak dibanding dengan Allah. Manusia yang paling berakal adalah seperti hewan nas-nas dibanding dengan Tuhan. Jika ia dibandingkan dengan Tuhan, maka ia buruk-cacat, seperti buruk-cacatnya kera yang terbagus dibanding dengan manusia.[7]

Pemikiran filsafat selanjutnya tentang eksistensi Tuhan berasal dari Plato. Plato (427-347 SM) dilahirkan di Athena dalam kalangan bangsawan, merupakan seorang pengagum Sokrates sejak masa mudanya dan ia sangat dipengaruhi oleh Sokrates.[8]  Tuhan menurut Plato adalah sumber segala sesuatu dan tempat kembali segala sesuatu. Dia ada dengan sendirinya sebelum ada masa dan akan tetap ada sesudah masa, tidak ada hubungannya dengan masa dan tidak ada pengaruh masa bagi diriNya. Daripadanya terbit segala kebenaran yang kekal. Selanjutnya ia mengatakan alam ini mempunyai pembuat yang amat indah, pembuat itu bersifat azali, wajib ada Zatnya, pembuat itu mengetahui sekalian keadaan. Plato menyebutkan bahwa ada beberapa perkara yang tidak pantas bagi manusia tidak mengetahuinya, antara lain bahwa manusia itu mempunyai Tuhan yang membuatnya. Tuhan itu mengetahui segala sesuatu yang diperbuat oleh sesuatu.[9]

Berdasarkan uraian sebagaimana dimaksud diatas, diketahui bahwa pemikiran tentang eksistensi Tuhan telah ada pada masa filsafat Yunani Kuno, yakni sejak filsuf pertama Thales. Artinya, pemikiran tentang Tuhan oleh para filsuf telah ada sebelum Aristoteles. Mereka mengakui adanya kekuatan di luar kekuatan yang dimiliki manusia, yang menggerakkan segala sesuatu yang bergerak, alam ini ada karena ada pembuatnya dan pembuat itu bersifat azali, wajib ada zatnya, dan pembuat itu mengetahui sekalian keadaan. Pembuat itu oleh Plato dinamakan Tuhan.

B.  Eksistensi Tuhan Dalam Pandangan Aristoteles

Aristoteles merupakan filsuf Yunani Kuno yang hidup pada tahun 384 - 322 SM, ia berasal dari Stageira di daerah Thrake, di Yunani Utara. Pada usia 17 tahun, Aristoteles dikirim ke Athena untuk belajar di Academia Plato. Di sana, ia belajar di bawah bimbingan Plato selama kurang lebih 20 tahun lamanya hingga Plato meninggal. Aristoteles juga sempat mengajar logika dan retorika di Academia selama beberapa waktu.[10] Selama dua tahun ia menjadi guru pribadi Pangeran Alexander Agung, yang kemudian setelah Alexander Agung dilantik sebagai Raja, Aristoteles kembali ke Athena dan membuka Lykeilon (Latin : Lyceum). Meskipun Aristoteles selalu menjunjung tinggi Plato sebagai pemikir dan sastrawan,  namun dalam filsafatnya Aristoteles mempunyai pemikiran sendiri. Perkataan “Amicus Plato, magis amica veritas” (Plato memang sahabatku, tetapi kebenaran lebih akrab bagiku) secara harafiah tidak berasal dari Aristoteles, namun cukup baik mengalimatkan maksudnya. Terdapat pula perbedaan besar dalam sikap ilmiah kedua pemikir Yunani ini. Plato terutama mementingkan ilmu pasti, sedangkan perhatian Aristoteles secara khusus diarahkan kepada ilmu pengetahuan alam dengan sedapat mungkin menyelidiki dan mengumpulkan data-data konkrit. [11]

Sebagaimana dipaparkan sebelumnya bahwa Aristoteles bukanlah filsuf pertama yang memikirkan tentang eksistensi Tuhan, namun pemikirannya tentang Tuhan sangat mempengaruhi pemikiran Barat dan pemikiran keagamaan lain pada umumnya. Penyelarasan pemikiran Aristoteles dengan teologi Kristiani dilakukan oleh Santo Thomas Aquinas di abad ke-13, dengan teologi Yahudi oleh Maimonides (1135 – 1204), dan dengan teologi Islam oleh Ibnu Rusyid (1126 – 1198). Maimoides, pemikir paling terkemuka Yahudi abad tengah berhasil mencapai sintesa dengan yudaisme. Di luar daftar ini masih sangat banyak kaum cerdik pandai abad tengah yang terpengaruh demikian dalamnya oleh Aristoteles. Bahkan di jaman dulu dan jaman pertengahan, hasil karyanya diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa Latin, Arab, Itali, Perancis, Ibrani, Jerman dan Inggris. [12]

Selanjutnya penyelarasan pemikiran tentang Eksistensi Tuhan berdasarkan pandangan Aristoteles juga dilakukan oleh Endar Fajar Ramadhan, yang berkesimpulan bahwa : 1). Perspektif Aristoteles tentang Tuhan sefrekuensi dengan perspektif orang Jawa tentang Sang Suwung. Kesadaran logika tentang keberadaan Tuhan pada diri sendiri merupakan hal yang sama dalam perspektif masing-masing;  2). Aku berfikir, maka aku ada. Kalimat tersebut tergambar dalam sudut pandang Aristoteles tentang keberadaan tuhan. Hal ini sinkron dengan konsep Sang Suwung yang dapat mengenali Tuhan dengan cara memusatkan fikiran untuk meraih kesadaran murni; 3). Aristoteles sadar akan keberadaan Sang Penggerak yang menjadikan sebuah objek mempunyai tujuan. Hal ini sinkron dengan pepatah Jawa yang mengatakan tentang Sangkan Paraning dumadi. [13]

Lalu bagaimana sesungguhnya pemikiran Aristoteles tentang Theos atau Tuhan yang oleh banyak kalangan sangat mempengaruhi pemikiran mereka dan kemudian banyak yang melakukan penyelarasan tentangnya ?. Konsep Theos menurut Aristoteles berangkat dari pemikirannya tentang gerak, dimana dikatakan semua benda bergerak menuju satu tujuan, sebuah pendapat yang dikatakan bercorak teleologis. Karena benda tidak dapat bergerak dengan sendirinya, maka harus ada penggerak dimana penggerak itu harus mempunyai penggerak lainnya hingga tiba pada penggerak pertama yang tak bergerak yang kemudian disebut dengan theos, yaitu yang dalam pengertian Bahasa Yunani sekarang dianggap berarti Tuhan.[14] Pemikiran Aristoteles juga menjelaskan, Penggerak Yang Tidak Bergerak bukan dzat yang personal, melainkan impersonal. Waktu tidak menjadi masalah pokok, apakah Tuhan mengadakan dari ada atau tidak ada. Penggerak Pertama, dalam pengertian Aristoteles adalah zat yang immateri, abadi dan sempurna. Bagi Aristoteles, Tuhan berdiri sendiri dan abadi, sebab Dia adalah penyebab dari semua benda yang ada yang akan berproses menuju tujuan, namun bukan berarti efficient cause tetapi adalah final cause. Aristoteles menyebutnya dengan teori actus purus. Bahwa Tuhan tidak menggerakkan dan memindahkan semua benda, namun Tuhan memberikan tujuan final dan arah akhirnya. Karena alam berpotensi untuk merealisasikan dirinya sesuai dengan tujuannya.[15]

 

C.    Korelasi Eksistensi Tuhan oleh Aristoteles dengan Ghenggonalangi pada Masyarakat Sangihe Talaud dan Sitaro

Sebagaimana kebanyakan suku-suku primitive yang ada di Indonesia, masyarakat Sangihe Talaud dan Sitaro di Provinsi Sulawesi Utara di masa lampau diyakini menganut agama suku. Pendapat ini selaras dengan apa yang disampaikan oleh Labobar, bahwa sejak awal manusia ada di bumi, agama suku telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari hidup manusia. Agama suku yang juga disebut sebagai agama primitive telah menjadi agama-agama tradisional sejak awal yang hadir dalam sejarah hidup manusia dan diyakini oleh manusia diberbagai suku bangsa untuk menghubungkan dirinya pada apa yang diyakininya sebagai Tuhan.[16]

Meskipun usaha untuk membentuk suatu gambaran yang tepat tentang agama dari penduduk kepulauan Sangihe Talaud pada masa dahulu kala, akan dipersulit oleh kenyataan bahwa penduduk yang hidup di sana telah berabad-abad berhubungan dengan agama Kristen dan Islam, namun dengan melihat kembali sampai ke pertengahan abad ke-16, dapat dilihat satu pandangan hidup, yang dahulu umumnya dinyatakan dengan kata “animisme”; tapi yang lebih tepat lagi dinyatakan sebagai suatu campuran yang khas antara “kepercayaan mana”, penyembahan orang mati dan kepercayaan pada roh-roh dan dewa-dewa. [17]

Selain kepercayaan terhadap roh-roh halus, arwah orang mati, benda-benda sakti, kekuatan-kekuaran gaib, mereka juga mempunyai satu kepercayaan, bahwa ada suatu kekuatan yang lebih besar, yang berkuasa melebihi segala kuasa yang ada di bumi. Kuasa inilah yang disebut Ghenggona Langi Duata Saluruang, yang artinya “Dia yang di atas langit penguasa alam semesta”. Ghenggona Langi diyakini dan dipercayai sebagai sesuatu yang suci dan memberikan keselamatan bagi manusia. Mereka tidak sembarangan menyebut Ghenggona Langi. Itulah sebabnya mereka menyebut Ghenggona Langi dengan Mawu Ruata atau Mawu Duata. Sebutan Ghenggona Langi hanya dapat dijumpai dalam kata-kata permohonan doa, yang terungkap pada pelaksanaan ritual, termasuk ritual Tulude. Ghenggona Langi-lah yang disembah dan dipuji. Itulah sebabnya Ghenggona Langi sering dikatakan “I Ghenggona Langi Duata Saluruang Manireda Bihingang”, yang artinya “Dia yang di atas langit penguasa alam semesta melindungi kita semua”. [18]

Pemikiran tentang Eksistensi Tuhan oleh Aristoteles berkorelasi dengan pemikiran masyarakat Sangihe Talaud dan Sitaro tentang Tuhan yang disebut sebagai Genggonalangi. Keterkaitan tersebut secara lengkap akan diuraikan pada pokok bahasan dibawah ini :

1)         Kesadaran Akan Adanya Tuhan

Kesadaran akan adanya Tuhan merupakan kunci utama orang mengenal dan mengakui adanya Tuhan. Menurut Aristoteles, Tuhan ada ketika kita berfikir, karena Tuhan merupakan Aktus Murni. Tidak konkrit dan tidak berwujud materi.[19] Ketika Aristoteles berpikir tentang suatu Penggerak Sejati yang menggerakkan segala sesuatu, karena menurutnya suatu benda tidak dapat bergerak dengan sendirinya, maka hal ini berpuncak kepada pengakuan tentang eksistensi Tuhan. Sebagai penganut agama suku sejak dahulu kala, masyarakat Sangihe Talaud dan Sitaro telah memiliki pemikiran dan kesadaran tentang adanya Penggerak Sejati sebagaimana yang dipikirkan oleh Aristoteles.

Menurut D. Brilman, sejak dahulu masyarakat Sangihe Talaud (dan Sitaro) mengakui adanya suatu “tenaga sakti penuh rahasia” yang berada dalam seluruh alam, dalam manusia dan binatang, dalam pepohonan dan tumbuhan, ya dalam segala sesuatu dan bisa mengerjakan baik kebahagiaan maupun pemusnahan. Segala sesuatu yang istimewa dan luar biasa dan tak dapat diterangkan, dianggap bersumber pada kuasa ini. Jika di dalam alam dan masyarakat tidak terjadi sesuatu yang luar biasa, kuasa itu tetap ada, tapi tak menampak. Tapi bagaikan arus listrik pada suatu saat tidak mengalirkan arus dan tidak berbahaya, tapi oleh suatu sebab kecil – umpamanya ditekannya suatu tombol – dapat mengakibatkan maut dan kemusnahan pada setiap orang yang terkena sentuhannya, demikian pula halnya menanti suatu hal kecil terjadi untuk menggerakkkan kuasa terpendam ini, sehingga udara dan awan-awanpun mengalami pegaruhnya dengan akibat : kekeringan dan kerusakan tanaman bahkan manusiapun dapat kehilangan nyawanya.[20]

Kesadaran masyarakat Sangihe Talaud dan Sitaro tentang adanya “tenaga sakti penuh rahasia” atau kuasa supranatural ini, membawa mereka kepada upaya untuk mengusahakan bagaimana supaya kuasa tersebut dapat melunak, dalam artian tidak menimbulkan kerugian yang teramat dalam bagi manusia. Mereka kemudian melakukan berbagai ritual, termasuk didalamnya terdapat berbagai pantangan atau larangan-larangan (periode tabu). Perbuatan seperti demikian, meskipun termasuk dalam kategori perbuatan mistis, namun arahnya sangat jelas kepada pemikiran yang tergolong kepada pengakuan tentang eksistensi Tuhan sebagai “tenaga sakti penuh rahasia” yang menggerakan segala sesuatu dalam alam semesta di luar kemampuan atau kuasa manusia.

 2)         Genggonalangi Sebagai Zat Yang Tidak Berwujud

Pemahaman Aristoteles tentang keberadaan Tuhan yang dimulai dari pemikiran tentang adanya Tuhan, tidak terpisahkan dengan suatu kenyataan bahwa sesungguhnya Aristoteles tidak pernah melihat fisik daripada Tuhan itu sendiri. Dengan perkataan lain ia merefleksikan Tuhan sebagai Aktus Murni, tidak konkrit dan tidak berwujud materi.  Penggerak Pertama, dalam pengertian Aristoteles adalah zat yang immateri, abadi dan sempurna. Demikianpun halnya dengan pemahaman atau kepercayaan masyarakat Sangihe Talaud dan Sitaro tentang eksistensi Tuhan yang disebutkan sebagai Genggonalangi.

Genggonalangi yang dipercayai oleh masyarakat Sangihe Talaud tidaklah berwujud seperti sebuah patung, batu, kayu, gunung atau apapun dalam bentuk yang kelihatan secara fisik lainnya. Genggonalangi merupakan penguasa dunia gaib atau dunia supranatural. Jammes J. Takaliuang, menjelaskan bahwa Orang SaTas (Sangir Talaud dan Sitaro) memiliki kepercayaan terhadap satu dunia yang berada di luar dan diatas dunia yang didiami sekarang yaitu dunia gaib (supranatural). Dalam dunia gaib ini ada dewa yang tertinggi dan satu-satunya dewa yang mendiami dunia gaib yaitu Ghenggonalangi. Dewa ini adalah mahakuasa, pencipta, dan berkuasa atas semua dewa yang ada. [21] Ghenggona Langi Duata Saluruang, yang artinya “Dia yang di atas langit penguasa alam semesta”.

Sebagai penguasa dunia supranatural Genggonalangi tidak berwujud secara fisik.  Hal ini senada dengan apa yang disampaikan oleh Amos Batasina Tulentang, salah seorang tokoh masyarakat Kampung Talawid yang mengatakan bahwa : “Genggonalangi bukanlah sosok yang kelihatan, Ia tidak berwujud, Genggonalangi adalah Roh yang tidak kelihatan, namun diyakini keberadaan-Nya”. [22]   

3)         Genggonalangi Sebagai Penguasa Tertinggi

Bertens, dalam bukunya Sejarah Filsafat Yunani yang ditulisnya, menjelaskan Allah sebagai penggerak pertama. Tapi ini adalah rujukan ia beliau ambil langsung dari karya Aristoteles dalam Metaphysica, buku XII. Dalam buku tersebut juga diakui sebagai gerak abadi yang terdapat di dunia. Bagi Aristoteles, gerak alam jagat raya tidak mempunyai awal ataupun akhir. Sebab, sesuatu yang bergerak, digerakkan oleh sesuatu yang lain. Tetapi ada satu penggerak yang menyebabkan segala sesuatu bergerak tapi ia sendiri tidak digerakkan. Maka, penggerak pertama bersifat abadi, dan begitu juga gerak yang disebabkan oleh penggerak tersebut. Penggerak ini rupanya terlepas dari materi, karena segalanya yang mempunyai materi, mempunyai juga potensi untuk bergerak. Allah sebagai penggereak pertama tidak mempunyai potensi apapun juga. Allah harus dianggap sebagai Aktus Murni, yakni ia yang mengada secara murni, tanpa potensialitas menjadi yang lain. [23] Pandangan Aristoteles tentang Tuhan sebagai penggerak pertama (prime mover) yang tak bergerak dan menggerakan penggerak lainnya yang membuat suatu benda atau materi bergerak, dapat diartikan bahwa Penggerak Pertama tersebut merupakan Penguasa Tertinggi, sebab setelah Dia tidak ada lagi yang lain.

Konsep ini, pada kenyataanya menimbulkan multi tafsir antara paham yang menyatakan bahwa Airosteteles menganut monoteisme sebagaimana yang dipercaya oleh Bertens, dan penulis-penulis lainnya, karena di akhir buku XII, Bertens menegaskan bahwa hanya ada satu penggerak yang tidak digerakkan. Meskipun Bertens juga mencatat bahwa dalam karya-karya yang lain Aristoteles menyebut juga allah-allah lain dalam bentuk jamak. Demikian juga dalam kritik yang disampaikan oleh Much Hasan Darojat terhadap pendapat Osman Bakar mengklaim di antara dari mereka (Socrates, Plato dan Aristoteles), memilik akidah tauhid dengan mengutip seorang tokoh ilmuan Muslim, al-Ghazali. Much Hasan Darojat membantah pendapat tersebut dengan mengatakan bahwa penyebutan Aristoteles sebagai seorang monoteis adalah justifikasi yang kurang tepat, karena bertentangan dengan sistem kepercayaan dan keyakinan (teologi) masyarakat Yunani pada waktu itu. Sebagaimana diketahui, orang-orang Yunani kuno adalah polytheist. Mereka percaya adanya banyak tuhan; Zeus (tuhan ketua), Hera (istri tuhan Zeus), Poseidon (tuhan laut), Athena (tuhan perempuan yang memberi pengetahuan dan mengatur peperangan), Apollo (tuhan matahari), dan Demeter (tuhan perempuan yang memberikan kesuburan). [24]

Demikianpun konsep masyarakat Sangir Talaud dan Sitaro tentang eksistensi Genggonalangi sebagai Penguasa Tertinggi. Ghenggonalangi adalah dewa tertinggi yang dipercaya masyarakat suku Sangihe Talaud di masa lalu. Ia mahakuasa, maha pencipta, dan berkuasa atas semua dewa yang ada. Ghenggonalangi adalah duatangsaluluang (dewa alam semesta).[25] Hal ini dapat diartikan sebagai monoteisme ataupun politeisme. Pemahaman monoteisme tentang konteks Genggonalangi, karena memang masyarakat Sangihe Talaud dan Sitaro mengakui Genggonalangi sebagai Penguasa Tertinggi, yang kekuasaanNya tidak dapat dibandingkan dengan dewa-dewa lainnya. Sebagai Penguasa Tertinggi, tentunya dia hanya satu dan di atas Dia tidak ada lagi penguasa yang lain, sebab Ia telah sempurna.

Namun dari sudut pandang yang lain dapat juga berarti politeisme, sebab selain sebagai Penguasa Tertinggi, Genggonalangi dikatakan berkuasa atas semua dewa yang ada. Selain Ghenggonalangi sebagai mahadewa, terdapat pula dewa-dewa yang melingkupi kekuasannya masing-masing. Dewa-dewa tersebut menguasai lapangan-lapangan hidup, duatan langitta adalah dewa yang menguasai dan mengurusi segala hal yang ada di langit, duata mbinangunanna adalah dewa alam barzach dimana ia yang mengatur kehidupan setelah meninggal dunia, mawendo adalah dewa laut yang menjaga keseimbangan alam, aditinggi gunung api Siau yang juga menjaga keseimbangan alam di suku Talaud, ngakasuang adalah raja orang mati, dan dewa lainnya. [26]

Meskipun demikian, terlepas dari perbedaan pandangan antara monoteisme dan politeisme, pendapat Aristoteles tentang Penggerak Pertama yang dapat diartikan sebagai Penguasa Tertinggi, selaras dengan pemikiran masyarakat Sangihe Talaud dan Sitaro tentang Genggonalangi sebagai Penguasa Tertinggi.

D.        Kesimpulan

Dari pembahasan yang telah diuraikan penulis sebagaimana tersebut diatas, maka dapat disimpulkan, hal-hal sebagai berikut :

  1. Kesadaran pemikiran masyarakat Sangihe Talaud dan Sitaro tentang adanya “tenaga sakti penuh rahasia” atau kuasa supranatural selaras dengan pemikiran Aristoteles tentang Penggerak Sejati. Semuanya bermula dari berpikir.
  2. Aktus Murni, yang direfleksikan oleh Aristoteles sebagai yang tidak konkrit dan tidak berwujud materi sinkron dengan pemahaman atau kepercayaan masyarakat Sangihe Talaud dan Sitaro tentang eksistensi Tuhan yang disebutkan sebagai Genggonalangi Sebagai penguasa dunia supranatural yang tidak berwujud secara fisik.
  3. Pendapat Aristoteles tentang Penggerak Pertama yang dapat diartikan sebagai Penguasa Tertinggi, selaras dengan pemikiran masyarakat Sangihe Talaud dan Sitaro tentang Genggonalangi sebagai Penguasa Tertinggi..

 

DAFTAR PUSTAKA

[1]  Waris (2014). Pengantar Filsafat. STAIN Po PRESS, Ponorogo – Indonesia. Hal. 17.
[2] Aprilinda Matondang Harahap (2019) “Metode Filosuf Yunani Menemukan Tuhan”. Jurnal Ushuludin, sumber : http://jurnal.uinsu.ac.id/index.php/ushuluddin/article/view/5711 . Diakses pada 25 April 2023.
[3]  https://id.wikipedia.org/wiki/Anaximandros, diakses 25 April 2023.
[4]     Waris (2014). Pengantar Filsafat. STAIN Po PRESS, Ponorogo – Indonesia. Hal. 18.
[5]     K. Bartens (1991). Ringkasan Sejarah Filsafat. Kanisius, Yogyakarta – Indonesia. Hal. 9.
[6]     https://id.wikipedia.org/wiki/Herakleitos diakses 25 April 2023.
[7]     Waris (2014). Pengantar Filsafat. STAIN Po PRESS, Ponorogo – Indonesia. Hal. 19.
[8]     K. Bartens (1991). Ringkasan Sejarah Filsafat. Kanisius, Yogyakarta – Indonesia. Hal. 12.
[9]     Waris (2014). Pengantar Filsafat. STAIN Po PRESS, Ponorogo – Indonesia. Hal. 19.
[10]    Muliadi (2020). Filsafat Umum. Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Bandung – Indonesia. Hal. 187
[11]    K. Bartens (1991). Ringkasan Sejarah Filsafat. Kanisius, Yogyakarta – Indonesia. Hal. 14.
[12]    Dini Anggraeni Saputri. Aristoteles; Biografi dan Pemikiran. Sumber : http://staffnew.uny.ac.id/upload/132051059/pendidikan/aristoteles_ed.pdf . Diakses pada 25 April 2023.
[13]    Endar Fajar Ramadhan. Eksistensi Theos oleh Aristoteles Dengan Sang Suwung di Masyarakat Jawa dalam Dimensi Filsafat Ilmu; Jurnal Dinamika Sosial Budaya, Vol . 24, No.1, Juni 2022.
[14]    Harianto GP (2023) “Filsafat Teologi”. Diktat. Sekolah Tinggi Teologi Rumah Murid Kristus, Bitung. Hal. 43.
[15]    Aprilinda Matondang Harahap (2019) “Metode Filosuf Yunani Menemukan Tuhan”. Jurnal Ushuludin, sumber : http://jurnal.uinsu.ac.id/index.php/ushuluddin/article/view/5711 . Diakses pada 25 April 2023.
[16]    Kresbinol Labobar (2022). Agama Suku Dalam Sejarah dan Fakta. Penerbit Lakeisha. Klaten – Jawa Tengah. hal. 22.
[17]    D. Brilman (1986). Wilayah-Wilayah Zending Kita, Zending di Kepulauan Sangi dan Talaud. Penerbit Badan Pekerja Sinode Gereja Masehi Injili Sangihe Talaud. Manado. hal. 54.
[18]    Masronly Himan Makainas (1986). Perubahan Identitas Dalam Ritual Tulude. Tesis. Program Studi Magister Sosiologi Agama Fakultas Teologi Universitas Kristen Satya Wacana. Salatiga. hal. 43.
[19]    Endar Fajar Ramadhan. Eksistensi Theos oleh Aristoteles Dengan Sang Suwung di Masyarakat Jawa dalam Dimensi Filsafat Ilmu; Jurnal Dinamika Sosial Budaya, Vol . 24, No.1, Juni 2022.
[20]    D. Brilman (1986). Wilayah-Wilayah Zending Kita, Zending di Kepulauan Sangi dan Talaud. Penerbit Badan Pekerja Sinode Gereja Masehi Injili Sangihe Talaud. Manado. hal. 54.
[21]    Jammes J. Takaliuang. Kristologi Bahari. Jurnal Missio Ecclesiae, 8(1), April 2019, hal. 4
[22]    Wawancara lisan dengan Bapak Amos Batasina Tulentang pada tanggal 26 April 2023.
[23]     Wiliams Roja. (2017) "Memahami Penggerak Abadi menurut Aristoteles", Artikel Kompasiana yang diakses pada 25 April 2023 melalui : https://www.kompasiana.com/wiliamsroja/5a1970a763b2481d19044fa2/memahami-penggerak-abadi-menurut-aristoteles?page=all#section3
[24]    Much Hasan Darojat. Benarkah Aristoteles dan Konfusius Menganut Ajaran Tauhid ? Journal TSAQAFAH Volume 16, Number 2, November 2020.
[25]    https://www.dgraft.com/outline/traveldraft/2014/02/suku-sangihe-talaud/ diakses pada 25 April 2023.
[26]    https://www.dgraft.com/outline/traveldraft/2014/02/suku-sangihe-talaud/ diakses pada 25 April 2023.