Senin, 29 Juli 2019

BARANGKA / BRANGKA


Yang disebut barangka atau brangka adalah semua bagian yg berada di bawah jembatan (jembatan bahasa siau = dudoku), dasarnya biasanya digali sedalam kira-kira 30 cm dengan tujuan untuk menghambat arus air yang akan mengalir melewati bantaran sungai tersebut.
Jaman dulu masyarakat Siau membangun dudoku dengan bahan dasar kapur sebagai pengganti semen (mungkin jaman itu semen termasuk bahan yang langka atau memang mereka lebih memilih kapur, karena terbukti kapur cukup bertahan dalam menopang/mengikat bangunan). Tak ada besi sebagai rangka dudoku. Semua bahan dasarnya alami, murni produk lokal. Jika kita masuk ke dalam barangka, maka akan terlihat jelas serbuk kapur yg berwarna putih mengikat pasir dan campuran batu dengan kompaknya.
Sisi lain yang khas dari barangka adalah sebagai tempat yang nyaman bagi kaum adam untuk membuang hajat diwaktu pagi/dini hari. Kebiasaan klasik sebagaimana mereka biasanya mengunjungi pantai-pantai tertentu di waktu yang sama. Bedanya, sekarang ini masyarakat sudah tidak lagi ke barangka dengan maksud itu. Barangka telah menjadi sepi.
Di Kampung Talawid dan Mahuneni ada beberapa barangka yang cukup dikenal, misalnya Barangka Panding dan Barangka Tangka, dan yang masih alami adalah Barangka Panding, sedangkan Barangka Tangka pernah direnovasi, sebagaimana terlihat pada foto di bawah ini.

Sabtu, 22 Juni 2019

Foto Keluarga Dandel Jaman Dulu (Tahun 1956 s/d 1988) di Talawid Siau.

Koleksi Foto di bawah ini merupakan foto Keluarga Dandel, baik Keluarga Dandel Bawimbang, maupun Keluarga Luas Dandel (Oma Ester dan Opa Tempu) di Kampung Talawid, Kec. Siau Barat Selatan yang masih tersimpan rapi dalam koleksi foto keluarga Dandel Bawimbang di rumah tua. 

Foto tersebut kemudian didaur ulang / difoto ulang olehku (Fredrik Dandel, ST.) untuk tujuan mengabadikan kenangan akan orang tua / leluhur dijaman dulu sehingga dikenal dan tetap dicintai oleh anak cucu dan generasi kami kedepannya. 

Semoga Bermanfaat.
Kel. Dandel Bawimbang di Tahun 1964;
Ayah Semuel Dandel, Ibu Rosalie Bawimbang
Anak2: Riffat Dandel, Sarah Dandel dan Esterlien Dandel

Kel. Dandel Bawimbang di Tahun 1973;
Anak2 : Riffat Dandel, Sarah Dandel, Esterlien Dandel,
Alberth Dandel, Johanis Dandel, Stenly Dandel
Aku si bungsu lahir 1975, sehingga blum ada deh..

Ayah Semuel Dandel dan Om Tamulumu di Tahun 1976

Keluarga Besar Luas Dandel (Oma Esterlien Dandel dan Opa Tempu Luas)
berfoto bersama keluarga di Talawid Tua, Prakiraan Foto Tahun 1960an.

Oma Esterlien Dandel dan Makang Ana Dandel (Kakak dari Ayah Semuel Dandel).
Prakiraan Foto Tahun 1960an di Talawid Tua.
Mama Rosalie Bawimbang, Tante n Om. Foto Tahun 1956

Mama Rosalie Bawimbang n Tante. Prakiraan Foto Tahun 1960an.


Mama Rosalie Bawimbang n Tante. Prakiraan Foto Tahun 1960an.

Mama Rosalie Bawimbang n Friend. Tahun 1950an

Fredrik Dandel sewaktu SD Kelas V. Tahun 1986.

Fredrik Dandel sewaktu SMP Kelas 1. Tahun 1988

Kamis, 20 Juni 2019

Sumur Tua Kampung Talawid, Kec. Sibarsel

Oleh : Fredrik Dandel, ST.

Tak dapat disangkal, air dari sumur inilah yang telah membesarkan banyak orang di Kampung Talawid, Kecamatan Siau Barat Selatan.
Sumur Tua yang berada di Dalhung Humbia,
Kampung Talawid, Kec. Sibarsel.
Konstruksi bangunan sumurnya masih asli. Bahannya dari campuran batu, pasir dan kapur. Bahan dasar kapur biasanya dibuat oleh masyarakat setempat dengan membakar Karang/bualho di atas tungku pembakaran yang tersusun dengan kayu bakar, yang dalam bahasa dareahnya disebut dengan depuhang apu.
Keberadaan sumur ini lebih tua dari generasi kami yang lahir tahun 70an. Bahkan menurut beberapa orang tua yang yang masih hidup dan lahir Tahun 50an dan 40 an, Sumur tersebut telah ada sebelum mereka lahir.  
Sumur Yang sama di shooting dari dekat.

Semasa kecil sumur inilah yang menjadi pusat banyak orang untuk memenuhi kebutuhan air minum. Cara memperoleh air dilakukan dengan cara tradisional yaitu dengan menimba memakai timba kecil yang diikat dengan tali, diisi dalam ember, kemudian 2 ember yang berisi air tersebut dikatikan pada delhualeng (wadah bambu/kayu yang kedua ujungnya ditautkan tali atau besi), dipikul diatas bahu. 

Tak dapat diketahui siapa yang membuat / menggali sumur tersebut, sehingga menjadi suatu pekerjaan rumah bagi generasi sekarang ini untuk menyelidiki kebaradaan sumur yang diperkirakan umurnya telah melebihi 100 tahun tersebut.

Minggu, 16 Juni 2019

PANTAI BAHU - TALAWID, KEC. SIAU BARAT SELATAN

Oleh : Fredrik Dandel, ST.
(Ditulis kembali dari postingan 04-03-2018 di Group FB Kec. Siau Barat Selatan)

Pantai Bahu Kampung Talawid Kec. Siau Barat Selatan merupakan salah satu tempat tujuan wisata di Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro. Provinsi Sulawesi Utara.
Pantai dengan hamparan pasir putih yang membentang sepanjang kurang lebih 200 meter ini pada setiap hari libur tidak pernah sepi dari pengunjung.

Salah satu tempat yang paling ramai dikunjungi selain beach milik Ibu Dorkas Bogar adalah beach milik Bpk. Benjamin Kanarang, SH (salah seorang anggota DPRD Kab. Kepl. Siau Tagulandang Biaro) yang telah mengelola beach ini selama kurang lebih 7 tahun.

Berbagai fasilitas pendukung yang ada diantaranya adalah tenda untuk acara ibadah pantai, kursi, Keyboard lengkap dengan sound sistem dan pemain musik, kamar mandi/wc, maupun banana boat dll, dapat disewakan di tempat ini. Sudah tentu dengan harga yang dapat dijangkau oleh wisatawan yang kebanyakan adalah wisatawan domestik, masyarakat yang berada di Pulau Siau.

Seiring dengan perkembangan akses informasi tentunya, tidaklah menutup kemungkinan, Wisata Pantai Bahu ini akan menjadi tujuan utama wisatawan mancanegara berkunjung di negeri 47 Pulau ini, mengingat jarak dari Pulau Mahoro terbilang dekat, hal ini telah mulai dirasakan, beberapa wisatawan mancanegara terlihat acapkali menyambangi tempat ini.

Yang tertarik untuk menikmati keindahan Pantai Bahu, silahkan menghubungi pengelola.

PANTAI TALAWID / MAHUNENI, KEC. SIAU BARAT SELATAN

Oleh : Fredrik Dandel, ST.
(Ditulis kembali dari postingan 25-03-2018 di Group FB Kec. Siau Barat Selatan)

Pesisir pantai yang sekarang ini, dahulunya merupakan habitat yang subur dari tanaman sagu, sehingga orang tua kami menamai tempat ini "dalhung humbia". Dari "dalhung humbia" ini sejauh kurang lebih 100 meter ke arah laut adalah wilayah pesisir pantai yang merupakan hutan mangrove (sisa2 tanaman mangrove masih dapat ditemukan terbenam dalam pasir).

Sekitar tahun 80an, pesisir pantai ini banyak ditumbuhi dengan tanaman menjalar "batata pante" yang dalam bahasa Siau dibilang "derere". Buah dari derere ini dipakai oleh anak2 masa itu sebagai peluru untuk "pepiti". Sebuah permainan perang yang sebenarnya cukup berbahaya, tapi kami sukai.

Perubahan demi perubahan terjadi, pesisir pantai semakin hari semakin menjorok ke darat. Untuk mengurangi abrasi yang berkepanjangan, Pemerintah Kab. Kepl. Sitaro saat ini telah membangun talut penahan ombak. Hasilnya telah dirasakan oleh masyarakat baik sebagai pengaman badan rumah dari terjangan ombak, tempat rekreasi, pun sebagai tempat berenang yang nyaman bagi anak-anak.

Pulau Mahoro, Kab. Kepl. Siau Tagulandang Biaro : Wisata Alam nan Menakjubkan.

Oleh : Fredrik Dandel, ST.

Pulau Mahoro

Pantai Pulau Mahoro.






Nampak sebuah Kubur di atas Batu.

Kubur di Mahoro, tampak dari dekat.

Sumur Gali yang dibuat Pemerintah Kampung Tapile pada Tahun 1996.

Sabtu, 15 Juni 2019

Tumbuhan Bitung (Barringtonia Acutangula BL.)


Oleh : Fredrik Dandel, ST. 



Pohon Bitung.
Tanaman Bitung, nama latinnya adalah Barringtonia asiatica (L) Kurz dengan nama umum “sea poison tree atau di Indonesia lebih dikenal dengan sebutan bitung.  

Tanaman ini adalah salah satu tanaman yang biasanya hidup dipesisir pantai. Ketinggian pohonnya bisa mencapai lebih dari 7 meter, dan termasuk dalam kelompok tanaman berumur panjang.
Kuncup Bunga Pohon Bitung.
Masyarakat di Kampung Talawid, Kec. Siau Barat Selatan, Kabupaten Kepl. Siau Tagulandang Biaro, Prov. Sulawesi Utara, memanfaatkan tanaman Bitung sebagai obat tradisional untuk penyembuhan bisul. 

Buah Bitung, biji di dalamnya dipakai untuk obat.
Bagian yang dimanfaatkan adalah bijinya. Biji bitung yang telah dikeringkan atau dibakar, ditumbuk halus hingga menjadi tepung, dicampur dengan minyak kelapa, kemudian dioleskan pada bagian yang sakit (bisul) dengan menyisahkan mata bisul. Keesokan harinya, kasiatnya pasti akan terasa.

Bunga Pohon Bitung.



LEPUTE

Lepute di  Kampung Talawid, Kec. Sibarsel.

Lepute merupakan kata benda untuk menyebut sebuah tembok berukuran panjang antara 2 s/d 3 meter, tinggi kurang lebih 30 s/d 50 cm yang membatasi jalan dan saluran got. Biasanya dipakai juga sebagai tempat duduk dan dibangun di area yang strategis seperti di prampatan (bunderan) jalan, juga untuk menandai nama tempat misalnya Lepute Sahai. 

Istilah ini tidak ditemukan dalam Bahasa Indonesia. KBBI hanya mengenal tembok atau pagar, tapi lepute sebenarnya bukanlah itu.
Masyarakat di Jazirah Pulau Siau (mungkin tidak semua) dari jaman dahulu sampai sekarang ini, sering memanfaatkan lepute ini sebagai sarana tempat berkumpul di pagi maupun sore atau malam hari. Berbagai informasi baik yang positif maupun negatif didiskusikan di lepute ini.
Lepute (lingkaran hitam) di perempatan jalan Talawid

Jaman dulu orang2 tertentu sering memanfaatkan lepute untuk menyebarkan informasi negatif lewat surat buta atau surat kaleng. Pengirim surat yang tidak dikenal ini akan menaruh surat tersebut di atas ataupun disekitar lepute dengan maksud segera ditemukan oleh masyarakat untuk kemudian membaca dan menyebarkan informasi tersebut.

Lepute sering dikonotasikan negatif oleh orang2 yang menganggap ilmu atau wawasannya lebih tinggi untuk merendahkan lawan diskusinya. Misalnya : "Kauku ketang onase lepute" = Kamu hanyalah sampah Lepute. Namuin tak dapat dipungkiri bahwa dari diskusi lepute ini, telah banyak melahirkan orang-orang sukses dan punya nama besar dari Siau dengan tingkat kecerdasan yang mumpuni.