Minggu, 27 Juni 2021

IMAN DAN IMUN

Oleh : Fredrik Dandel, ST. (Candidat S.Th.) 

Dampak penularan Covid-19 yang dimulai dari Wuhan - China pada akhir 2019 telah menyebar hampir ke semua pelosok bangsa / negara. Tidak tanggung-tanggung, data dari worldometers mencatat telah 222 negara yang terkena dampak Covid-19 ini, padahal hanya ada 193 negara berdaulat yang masuk menjadi anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). 

Tidak terkecuali Indonesia. Sampai saat ini, Indonesia tercatat menempati ranking 17 dari 222 negara dengan tingkat populasi terbesar dampak Corona Virus. Hal ini membuat Pemerintah berupaya untuk mencari cara / solusi agar pandemi ini cepat berakhir. Salah satu solusi yang dilakukan adalah dengan vaksinasi Covid-19 bagi seluruh masyarakat. Program mana yang dimaksud adalah untuk melindungi masyarakat Indonesia terhadap ancaman penularan wabah Corona Virus yang yang mematikan dan mengancam semua sendi-sendi kehidupan manusia. 

Pro dan Kontra terkait Program vaksinasi Covid-19 merupakan hal yang real terjadi di masyarakat, Menurut Rijal Syahbriansyah, masyarakat ada yang mendukung dan meragukan seberapa efektifkah dengan adanya vaksin ini, bahkan ada juga yang menolak divaksin. Ada beberapa kecemasan masyarakat terhadap adanya vaksin ini yakni, kecemasan dengan adanya vaksin, kecemasan setelah divaksin (pascavaksin), lalu kecemasan karena usia. Kecemasan masyarakat pasca divaksin itu ada, karena ada informasi yang hoaks atau negatif yang didapatkan masyarakat tentang efek samping pasca vaksinasi. 

Salah satu hoaks yang juga berkembang adalah tentang adanya Chip yang masuk ke dalam tubuh seseorang yang divaksin. Meskipun hal ini sudah dibantah oleh Erick Tohir (Menteri BUMN). Menurut dia, penggunaan barcode pada kemasan vaksin tersebut hanya untuk mempermudah sistem distribusinya saja. “Jadi bukan vaksinnya ada chip, lalu dimasukan ke badan kita. Tapi ini barcode, di botol vaksinnya, ketika masuk ke dalam kotak vaksin, kotak vialnya, itu sudah jelas bahwa vaksin ini ada vial sekian. Jadi kalau di dalam kotak itu ada 10 botol, diambil satu langsung ketahuan,” ujar Erick saat rapat kerja dengan Komisi VI DPR RI, Rabu (20/1/2021). 

Di kalangan umat Kristiani yang meyakini akan datangnya masa aniaya antikrispun, berkembang opini terkait chip dalam vaksin covid-19 ini. Ada yang menghubungkan Chip itu dengan angka 666, sehingga hal ini membuat sebagian umat menolak untuk menerima vaksin covid-19. Ada pula yang menolak dengan alasan lain bahwa tidak perlu divaksin, sebab Covid-19 merupakan penyakit sampar yang didatangkan oleh Tuhan untuk menghukum manusia, sehingga hal itu harus disikapi hanya melalui iman, dan tidak perlu melalui Imun (Vaksin). Hal ini saya katakan sah-sah saja.... !!! 

Persoalannya kemudian adalah bahwa Iman masing-masing orang tentunya berbeda. Baik di kalangan denominasi gereja, pun di kalangan internal jemaat. Jika ada salah seorang anggota jemaat yang Lemah imannya kemudian tertular, hal ini sangat berpotensi terhadap anggota jemaat lainnya. Maka munculah klaster2 baru Covid-19 di kalangan gereja. Sebagai contoh : di Korea Selatan,sebagaimana dikutip dari Tempo.co.id pada awal 2021 tiga organisasi keagamaan Kristen Protestan Korea Selatan meminta maaf pada publik lantaran penularan Covid-19 dalam setahun terakhir banyak yang berasal dari klaster gereja. Tiga ormas itu adalah Dewan Nasional Gereja di Korea (NCCK), Asosiasi Kristen Pria Muda ( YMCA), dan Asosiasi Kristen Wanita Muda. 

Belakangan muncul juga Klaster baru di Kapenawon Jetis, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), menyebut 18 orang positif covid-19 saat rekaman paduan suara, sebagaimana yang dilaporkan oleh Dinas Kesehatan Kab. Bantul pada 7 Juni 2021. 

Bahkan masih banyak contoh2 lain yang akan menambah daftar panjang klaster covid-19 di kalangan Gereja. Hal ini kiranya cukuplah untuk membuktikan bahwa protokol kesehatan termasuk pemberian Vaksin merupakan suatu hal yang penting bagi kita semua, termasuk kalangan Gereja. Dengan kata lain IMAN dan IMUN adalah 2 hal yang sangat penting dipraktekkan umat Tuhan. 

Mengakhiri tulisan ini, saya ingin mengutip padangan salah satu denominasi Gereja yang ada di Indonesia, yakni Gereja Bethel Indonesia terhadap vaksinasi diantaranya sebagai berikut : Gereja sebagai bagian integral bangsa Indonesia perlu memberi respon positif dengan mendukung upaya pemerintah dalam pelaksanaan vaksinasi sesuai dengan kebijakan dan peraturan yang berlaku. Gereja perlu bersikap bijaksana menjaga kesehatan diri dan komunitas dengan harapan pandemi ini segera berakhir. Untuk itu, kita senantiasa memohon hikmat Tuhan agar tidak mudah diombang-ambingkan oleh informasi yang belum teruji kebenarannya termasuk menghubungkan vaksin dengan mikrocip dan angka 666. 

Trimakasih, salam sehat....... Tuhan Yesus memberkati kita semua. 

Referensi : 
1. https://www.worldometers.info/coronavirus/#countries 
2. https://kumparan.com/.../pro-dan-kontra-vaksin-covid-19 
3. https://money.kompas.com/.../erick-thohir-bantah-ada-chip 
4. Tempo.co.id 
5. Kompas.com 
6. https://bphgbi.org/.../Pandangan-GBI-mengenai-Vaksin

Sabtu, 12 Juni 2021

TERNYATA AKU TIDAK JADI MATI (Suatu Kesaksian Hidup)

Oleh : Fredrik Dandel 

Ujung laras pistol rakitan itu telah menempel tepat pada jidatku. Sedikit saja pelatuknya ditarik, seiring bunyi "tang" maka projektilnya pasti akan mampu meledakan batok kepalaku, menyusul ambruknya tubuh yang fana ini, itu pasti. Namun suatu keyakinan yang kokoh, rohku akan kembali kepada Yesus Junjunganku yang mengasihiku dan dengan setia kusembah siang dan malam.

Sekitar Bulan Oktober di Tahun 2003, rombongan Gereja Elim Tabernakel Daerah Maluku yang berjumlah lebih dari 50 orang bertolak dari Pelabuhan Batu Gong - Ambon menggunakan Kapal Ikan dengan misi Kebaktian Kebangunan Rohani (KKR) di Negeri Adat Haria, Pulau Saparua Kab. Maluku Tengah. Keadaan Kota Ambon dan sekitarnya di masa itu sedikit tenang walau masih terasa pengaruh konflik kemanusiaan sejak Tahun 1999. 

Di Hari Pertama kami tiba di Pulau Saparua, kami disambut ramah oleh Gembala, Jemaat dan masyarakat Haria, kemudian dijamu dengan teh panas dan makan sore. Setelah itu kami ditempatkan secara terpisah di rumah-rumah penduduk. Saya, isteri dan anak sulung kami yang baru berumur satu setengah tahun di tempatkan di sebuah rumah keluarga yang jaraknya dari dapur umum sekitar 200 meter. Keesokan harinya, usai sarapan pagi di dapur umum, kami bertiga kembali ke rumah tempat kami menginap. Kebaktian Kebangunan Rohani nantinya akan dilaksanakan pada Jam 6 sore. Setelah setengah perjalanan, kami dikejutkan dengan teriakan 2 (dua) orang laki-laki dari arah berlawanan (arah pantai / pelabuhan Haria). Pakaian keduanya kelihatan basah. Salah seorang nampak memegang pistol rakitan dan menodongkan muncongnya ke arah kami sambil berulang kali berteriak : "Ose jangan coba-coba lari". 

Dalam ketidakmengertian saya melihat kearah beberapa warga yang sedang duduk didepan rumah mereka, kemudian berpaling ke belakang, berharap ada orang lain di belakang kami bertiga, yang mungkin menjadi sasaran teriakan kedua laki-laki tersebut. Ternyata harapan itu tidaklah menjadi kenyataan. Tidak ada satupun orang selain kami bertiga yang berjalan ke arah 2 orang laki-laki tersebut. 

Dalam hatiku timbul suatu tanda tanya besar : "Apakah teriakan kedua lelaki tersebut, ditujukan kepada kami ?". Belum sempat berpikir lebih jauh, jarak kedua lelaki tersebut semakin mendekat dan mendekat, hingga akhirnya keduanya telah berdiri tepat di depan kami. Sedangkan Pistol rakitan itu ditodongkan tepat di jidat saya, disertai teriakan ancaman. Sontak saya teringat dengan kesaksian saya di hadapan jemaat Tuhan tentang kerinduanku jika suatu waktu saya mati, maka saya ingin mati dalam pelayanan kepada Tuhan. Mungkin ini sudah waktunya. Tidak ada sedikitpun ketakutan, ataupun kecemasan, aku hanya sempat melirik kekanan, menatap isteri dan anakku yang sedang dalam gendongannya, dalam hati kecilku berkata : "Teruslah melayani Tuhan, aku mendahului menghadap panggilan Suci". 

Di sela waktu yang sempit itu, dalam keyakinan iman, tiba-tiba saya bertanya kepada Lelaki yang menodongkan pistol itu : "Boleh beta tau, bapak ada masalah apa ?" diapun menjawab : "Bapak kan yang melarang Kapal kami keluar dari Pelabuhan, kong kaseh ijin kapal yang lain?. Ternyata kedua orang ini salah sasaran.... !!! Kemudian dengan berani dan tenang saya jelaskan kepadanya bahwa kami adalah bagian rombongan hamba Tuhan dari Kota Ambon yang datang untuk melaksanakan misi KKR di Negeri Haria ini. 

Mendengar penjelasan itu, tanpa saya duga, lelaki tersebut kemudian tersungkur dibawah kaki kami sambil meminta ampun dan berkata : "Beta minta ampun bapak Pendeta, beta salah orang, beta kira bapak Pendeta adalah Sabandar Pelabuhan Haria".  Sayapun menyuruhnya berdiri sambil memeluknya dengan kasih. TERNYATA AKU TIDAK JADI MATI. Terima kasih Tuhan Yesus, Engkau mengijinkan aku mengalami ujian iman seperti ini ......... !!! 

Kebaktian Kebangunan Rohani pada malam harinya dan ketiga malam berikutnya berlangsung penuh dengan Kemuliaan Tuhan. Kami hanyalah hamba yang mau melakukan apa yang Junjungan kami inginkan. Biarlah Yesus saja yang dipermuliakan. Amin ya Amin... !!!

Rabu, 02 Juni 2021

PERBEDAAN STh. DAN PENDETA

Oleh : Pdp. Fredrik Dandel, ST.

Bulan Agustus 2021 nanti, saya direncanakan akan diwisuda pada STT RMK Bitung setelah menempuh pendidikan selama kurang lebih 3 Tahun dalam jenjang pendidikan Strata 1 Theologi. Dari Sarjana Teknik (ST) beberapa mata kuliah memang sudah tidak perlu lagi mengulang, apalagi jika dimatrikulasi materi pendidikan pada Sekolah Pekerja Kristus (SPK Siloam - Ambon) selama kurang lebih 8 bulan di Tahun 2005 silam.

Tulisan sebagaimana tema diatas, bertujuan untuk menjawab pertanyaan beberapa masyarakat awam yang seringkali salah kaprah tentang pemahaman istilah Sarjana Theologi (STh) dan Pendeta, tentunya dalam pandangan denominasi Pentakosta yang saya anut, sebagai berikut :

1. Bahwa gelar Sarjana Theologi (STh.) merupakan gelar akademik yang disematkan kepada seseorang yang telah selesai menempuh pendidikan Tinggi jurusan Theologia setingkat Strata 1 (S1). Layaknya gelar sarjana lainnya semisal Sarjana Teknik (ST) ataupun Sarjana Hukum (SH).
Sedangkan Pendeta merupakan Jabatan pelayanan yang juga disematkan kepada seseorang hamba Tuhan melalui Thabisan oleh pimpinan organisasi Gereja, baik lokal, Daerah, maupun tingkat Sinodial.

2. Seorang Sarjana Theologi tidak serta merta menyandang jabatan Pendeta. (Ingat statement Yahya Waloni yang katanya mantan rektor STT dan telah mempedetakan pendeta). Meskipun ada beberapa STT yang memwisuda lulusan Sarjana Theologi sekaligus dengan menthabiskannya dalam Jabatan Pendeta, tapi itu pasti dilakukan oleh seseorang atau orang lain dalam kapasitas berbeda baik selaku Pimpinan Akademik dan atau Pimpinan Organisasi Gereja.
Sedangkan Jabatan Pendeta bisa saja disematkan kepada seseorang meskipun tidak menempuh pendidikan Theologi (tentunya berdasarkan penilaian /pertimbangan matang hamba Tuhan yang senior).

3. Gelar Sarjana dalam bidang Theologi berjenjang mulai dari tingkat S1 (Sarjana Theologi/ STh.), S2 (Magister Theologi/MTh.) dan S3 (Doktor Theologi/ DTh). Sedangkan jabatan dalam pelayanan juga berjenjang, mulai dari tingkat Pendeta Pembantu (Pdp), Pendeta Muda (Pdm), Pendeta Full (Pdt.) ada juga beberapa organisasi Gereja semisal GPSDI, memiliki Pendeta Internasional (PdtI).

4. Gelar dan jabatan sebagaimana dimaksud diatas tentunya diperoleh dengan cara yang berbeda, akademik dengan menyelesaikannya pada bangku kuliah, sedangkan pelayanan (Pendeta) diatur dalam AD/ART organisasi Gereja, biasanya untuk jabatan pendeta pembantu (Pdp) dithabiskan oleh gembala sidang setempat, sedangkan Pendeta Muda (Pdm) oleh Ketua / Majelis Daerah), dan Pendeta Full (Pdt.) oleh Ketua / Majelis Pusat).

5. Seseorang yang bergelar STh, MTh, maupun DTh, berhak menyandang gelarnya tersebut seterusnya. Sedangkan jabatan Pdp, Pdm dan Pdt bisa hilang pada saat yang bersangkutan berpindah organisasi atau denominasi gereja sebab itu merupakan Jabatan dalam suatu organisasi.

Demikian penjelasan saya, semoga bermanfaat. Tetap setia melayani Tuhan.