Minggu, 19 Desember 2021

Makna Kristus Anak Daud dalam Injil Sinoptik

Oleh : Pdm. Fredrik Dandel, ST, STh. 

Pendahuluan

Dari penyelidikan melalui Konkordansi Alkitab, didapati bahwa Istilah “Anak Daud” memang hanya terdapat dalam Injil Sinoptis (Matius, Markus dan Lukas). Terdapat 16 ayat dalam Injil Sinoptis yang menyatakan Yesus sebagai Anak Daud. Yakni 9 ayat ditemukan dalam Injil Matius : Matius 1 : 1, Matius 9 : 27, Matius 12 : 23, Matius 15 : 22, Matius 20 : 30, Matius 20 : 31, Matius 21 : 9, Matius 21 : 15, dan Matius 22 : 42 - 45 : 42; 3 ayat ditemukan dalam Injil Markus, yakni : Markus 10 : 47, Markus 10 : 48  dan Markus 12 : 35 – 37 : 35; kemudian 4 ayat ditemukan dalam Injil Lukas, yakni : Lukas 1 : 32 – 33 : 32, Lukas 18 : 38, Lukas 18 : 39 dan Lukas 20 : 41-44 : 41.

Dari sejumlah ayat tersebut di atas, penyebutan Anak Daud yang disandangkan kepada Tuhan Yesus selalu dikaitkan oleh orang-orang Yahudi dengan suatu mujizat yang Yesus lakukan, ataupun harapan mujizat yang akan dilakukan oleh Tuhan Yesus kepada mereka yang membutuhkan pertolongan-Nya. Misalnya dalam Matius 9 : 27, dimana dikisahkan tentang dua orang buta yang mengikuti Yesus sambil berseru-seru dan berkata : “Kasihanilah kami, hai Anak Daud.”  Juga dalam Matius 12 : 32 -37, dimana dikisahkan seseorang yang kerasukan setan sehingga orang itu menjadi buta dan bisu, dan Yesus menyembuhkannya. Orang banyak disitu kemudian berkata : “Ia ini agaknya Anak Daud.” Meskipun orang-orang Farisi yang mendengar perkataan tersebut menjadi tidak senang sehingga menuding Yesus mengusir setan dengan kuasa Beelzebul, penghulu setan.

Dan masih banyak lagi hal-hal yang terkait dengan mujizat yang dilakukan oleh Tuhan Yesus yang dihubungkan dengan keberadaanNya sebagai “Anak Daud”. Seorang perempuan Kanaan yang percaya dan meminta kepada Yesus untuk menyembuhkan anak perempuannya yang kerasukan setan dan sangat menderita, perempuan tersebut berseru : “Kasihanilah aku, ya Tuhan, Anak Daud, karena anakku perempuan kerasukan setan dan menderita (Mat. 15 : 21 – 28); dua orang buta yang duduk di pinggir jalan yang mendengar bahwa Yesus lewat, sehingga mereka berseru : “Tuhan, Anak Daud, kasihanilah kami”. Meskipun orang banyak menegor mereka, tapi mereka tetap berseru, bahkan semakin keras, sampai akhirnya Yesus mau menolong mereka sehingga mereka disembuhkan dan dapat melihat (Mat. 20 : 29 – 34).

Menjadi suatu pertanyaan, bagaimana mungkin Yesus yang lahir kurang lebih 1000 tahun setelah Raja Daud tersebut dikatakan sebagai Anak Daud ? Sedangkan umat Israel sebagaimana kesaksian dalam ayat-ayat Alkitab diatas, dengan yakin dan jelas mengatakan bahwa Dia adalah Anak Daud. Apa yang maksud dengan pernyataan / kesaksian Yesus “Anak Daud” sebagaimana dimaksud diatas? 

Hubungan Antara Yesus Kristus dan Daud

Untuk menjawab pertanyaan sebagaimana dimaksud diatas, pertama sekali kita harus mengetahui hubungan antara Yesus Kristus dan Daud. Hubungan antara Yesus Kristus dan Raja Daud dapat kita temukan dalam Matius pasal 1 tentang silsilah Yesus Kristus, yang dikatakan anak Daud, dan juga anak Abraham.

Dari Kitab Injil Matius 1 : 1 – 17, menjadi jelas bagi kita bahwa Yesus Kristus merupakan keturunan dari Raja Daud secara turun-temurun, dan merupakan generasi yang ke 28 dari Raja Daud. Sedangkan Daud sendiri merupakan keturunan Abraham dari generasi yang ke-14. Hal ini berarti bahwa Yesus juga merupakan keturunan Abraham dan merupakan keturunan dari generasi yang ke – 42, sehingga Yesus disebut juga sebagai Anak Abraham (lihat ayat 17).

Abraham dan Daud merupakan dua tokoh penting dalam sejarah Bangsa Israel, karena melalui keduanya, Allah telah membuat suatu perjanjian besar yang disebut sebagai Perjanjian Abraham dan Perjanjian Daud. Orang-Orang Yahudi terutama dalam Perjanjian Baru selalu mengkaitkan diri mereka berasal dari keturunan Abraham dan Daud. Mereka sangat bangga dengan gelar itu (Mat. 3 : 9; Luk. 1 : 73; Luk. 3 : 8; Yoh. 8 : 39, 53; Kis. 2 : 29; Kis. 7 : 2; Roma 4 : 1, 12, 16, 18; Ibr. 7 : 4; Yak. 2 : 21.

Perjanjian Abraham dan Perjanjian Daud

Meskipun Yesus juga disebutkan sebagai Anak Abraham, namun mengapa kemudian nama Anak Daud menjadi lebih menonjol disebutkan daripada nama-nama lainnya, termasuk Abraham ataupun Yusuf yang merupakan ayah dari Yesus sendiri atau lebih tepatnya Yusuf suami Maria, yang melahirkan Yesus yang disebut Kristus (Mat. 1 : 16) ?

Jawabannya adalah bahwa melalui Daud sebagai orang yang dikasihi oleh Allah, Allah telah membuat suatu perjanjian yang penting, yang disebutkan sebagai Perjanjian Daud (2 Samuel 7 : 9-16). Meskipun isi Perjanjian Daud tersebut juga terkait dengan Perjanjian Allah dengan Abraham yang juga disebut Perjanjian Abraham, yakni : Tuhan berjanji untuk menjadikan nama Daud besar (ay. 9) serupa dengan janji Allah kepada Abraham (Kej. 12 : 2); Tuhan menjanjikan suatu tempat dimana Ia akan menanamkan Israel (ay. 10), yang merupakan persamaan dengan janji Allah untuk memberi suatu negeri kepada Abraham, dan janji untuk menjadikan negeri itu suatu tempat yang aman (ay. 10-11) yang mengingatkan pada janji Tuhan bahwa Ia akan mengutuk mereka yang mengutuk Abraham (Kej. 12 : 3). Tiga bagian pertama dari perjanjian Daud ini adalah menempatkan Daud dalam garis keturunan Abraham dan menunjukkan subordinasi perjanjian itu terhadap perjanjian Abraham. Namun terdapat sesuatu yang berbeda / yang lain dari isi Perjanjian Daud tersebut yang dapat dilihat dalam ayat ke 12 dari Kitab II Samuel pasal 7, yakni disana dijanjikan bahwa keturunan Daud akan ditetapkan di atas takhta kerajaan sesudah dia, pengganti Daud akan mendirikan Bait Suci yang ingin sekali didirikan oleh Daud (ay. 14), isi perjanjian ini juga merujuk kepada Salomo sebagai anak Daud. Lihat Survey Perjanjian Lama – Hill dan Walton.  

Dan yang paling penting dalam perjanjian Daud ini, adalah tentang mengkokohkan takhta kerajaan untuk selama-lamanya atas keturunan Daud, serta janji Allah untuk menjadi Bapanya, dan keturunan Daud tersebut akan menjadi anak-Nya, yang merujuk kepada Yesus yang adalah Mesias yang dijanjikan yang berasal dari Keturunan Daud. Tentang hal ini, dijabarkan dengan jelas dalam Luk. 1 : 69; Yoh. 7 : 42; Kis. 2 : 30; Roma 1 : 1 – 6; 2 Tim. 2 : 8; Wahyu 22 : 16 , dll.

Kesimpulan

Mulai dari Matius pasal 1 menjabarkan bukti silsilah Yesus yang dari sisi kemanusiaan-Nya berasal dari keturunan Daud melalui Yusuf. Juga dalam Lukas pasal 3 menjabarkan silsilah Yesus dari garis keturunan ibunya, Maria yang juga merupakan keturunan Daud. Namun yang terutama bahwa Kristus disebut sebagai Anak Daud, merujuk kepada gelar Mesias-Nya seperti yang dinubuatkan dalam 2 Samuel 7 : 9 - 16.

Dalam Matius 22 : 41-46; Mrk. 12 : 35 – 37; dan  Luk. 20 : 41 – 44 dikisahkan terjadi suatu percakapan antara Tuhan Yesus dengan orang-orang Farisi tentang Mesias yang diakui oleh orang Farisi sebagai “Anak Daud”. Tuhan Yesus sendiri bertanya kepada mereka : “Jika demikian, bagaimanakah Daud oleh pimpinan Roh dapat menyebut Dia Tuannya …… jika Daud menyebut Dia Tuannya, bagaimana mungkin Ia anaknya pula ?. Pertanyaanya yang kemudian mereka (orang Farisi) tidak menjawabnya.

Dari uraian tersebut di atas, menunjukkan bahwa sesungguhnya, Yesus yang adalah Mesias dari Anak Daud, adalah Allah sendiri yang datang menjadi manusia sebagai penggenapan nubuatan tentang kasih Allah yang memulihkan umat manusia, yang dirancangkangkan oleh Allah ketika manusia pertama Adam dan Hawa mulai jatuh ke dalam dosa. Allah sendiri yang turun dari Sorga dan berdiam dalam diri manusia Yesus yang lahir dari keturunan Daud. Dia adalah Raja di atas segala Raja, takhta kerajaan untuk selama-lamanya atas keturunan Daud. Pada Yesus ada keselamatan, pada Yesus ada harapan, pada Yesus ada pemulihan, pada Yesus kita temukan kasih Bapa kepada anak-anakNya, pada Yesus ada segala-galanya yang kita butuhkan dalam hidup ini.

MENELUSURI PRAKTEK PASTORAL KONSELING DALAM KITAB PERJANJIAN LAMA DAN PERJANJIAN BARU

Oleh : Pdm. Fredrik Dandel, ST, STh. 

            Pastroral Konseling merupakan sesuatu yang hal sangat penting dalam perjalanan kehidupan umat manusia di sepanjang sejarah dan abad. Sadar atau tidak sadar, setiap orang membutuhkan pelayanan pastoral konseling ini. Alkitab mengkisahkan bahwa pelayanan Pastoral Konseling ini dimulai dari Allah, tatkala manusia pertama Adam dan Hawa terjerumus masuk ke dalam dosa. Ketika mereka menyadari bahwa mereka telah berbuat sesuatu yang melanggar kehendak Allah Sang Pencipta, keduanya sangat ketakutan, bahkan cenderung untuk menghindari diri dari Allah. Namun demikian, Allah sendiri yang karena kasih-Nya mau mencari dan menjumpai manusia. (Kej. 3). Allah bertindak sebagai Konselor, untuk mengatasi persoalan hidup yang dialami oleh manusia.

Demikianpun halnya ketika pada suatu peristiwa yang terjadi antara Kain dan Habel, dimana Kain membunuh adiknya Habel. Allah juga bertindak sebagai Konselor dengan menjumpai Kain. Dosa pembunuhan pertama yang dilakukan oleh Kain, telah mempengaruhi kejiwaannya, ia cenderung menjadi bertambah jahat, setelah hatinya cemburu kepada Habel dan membunuh adiknya Habel, ia kemudian berupaya untuk menyembunyikan kesalahannya tersebut dari hadapan Allah yang sesungguhnya Sang Maha Tahu. Darah adiknya Habel menuntut pembelaan kepada Tuhan atas tindakan tidak adil dari sang kakak. Allah bertindak sebagai Konselor untuk menyelesaikan persoalan hidup yang dialami oleh Kain dengan cara menghukum dia atas perbuatan dosanya tersebut. (Kej. 4).

Masih terdapat juga sederetan kisah dalam Perjanjian Lama dimana Allah bertindak sebagai Konselor untuk mengatasi persoalan hidup manusia yang dikasihi-Nya, diantaranya : Persoalan hidup yang dialami oleh seseorang yang sangat dikasihi Allah, yakni Abraham yang belum memiliki keturunan; persoalan keluarga antara kedua anak Abraham, yakni Ishak dan Ismael; juga bagaimana ketika Allah menguji iman Abraham dengan memintanya untuk mengorbankan anaknya Ishak; berbagai persoalan hidup yang dialami oleh bangsa Israel ketika mereka berada di Mesir bahkan sampai mereka berada dalam pengembaraan di Padang Gurun; bagaimana beban tanggungjawab besar yang dialami oleh hamba-Nya Musa dalam memimpin Bangsa Israel; sampai kepada persoalan hidup yang dialami oleh Bangsa Israel ketika bangsa tersebut telah menjadi suatu bangsa yang besar dimasa kepemimpinan Hakim-Hakim bahkan Raja-Raja; dan yang tak kalah menariknya adalah suatu pergumulan besar yang dialami oleh seorang Ayub. Semua persoalan hidup tersebut sangat membutuhkan peran penting seorang Konselor, dan Allah sebagai Konselor Sejati, tak pernah membiarkan umat-Nya berada dalam keadaan krisis yang berkepanjangan tanpa ada penyelesaian. Ia dengan sabar dan setia, menjumpai, menegur, menunjukkan jalan keluar kepada umat-Nya, sehingga mereka dapat menjadi pemenang dalam menghadapi krisis yang mereka alami.

Demikianpun halnya dalam Perjanjian Baru. Sejarah di masa Perjanjian Baru memberi kesaksian kepada kita sampai saat ini, dimana Allah dalam pribadi Yesus Kristus, senantiasa mau bertindak sebagai Konselor dalam mengatasi persoalan hidup manusia. Pergumulan hidup yang sangat beragam dialami oleh manusia, baik melalui kelemahan tubuh jasmani : lumpuh, buta, tuli, bisu, juga kematian, kelaparan, perzinahan, pernikahan, dan lain sebagainya, dapat diselesaikan oleh Yesus dengan kasih-Nya.

Suatu hal yang menjadi teladan bagi kita dalam pendekatan Konseling yang dilakukan oleh Yesus adalah bahwa apa yang Ia kerjakan terhadap orang-orang merupakan suatu proses, dimana Ia dengan sabar menjumpai dan melewatkan waktu dengan orang-orang yang mengalami pergumulan hidup. Ia menolong orang-orang mengatasi masalah hidup dengan perhatian yang dalam. Ia tidak hanya melihat kesulitan-kesulitan mereka, tetapi Ia juga melihat kemampuan mereka dan pengharapan-pengharapan serta iman yang mereka miliki. Ia melakukan pendekatan konseling dengan dasar belas kasih-Nya kepada orang lain (lihat Markus 8 : 2).

Akhirnya melalui refleksi singkat ini, saya mengajak kita semua selaku calon Konselor ataupun Konselor Kristen, baiklah kita meneladani Allah dalam pribadi Yesus Kristus, sehingga kita mampu menjadi Konselor yang baik, dan berguna bagi banyak orang. Amin.

Sabtu, 18 Desember 2021

Merubah Konflik Menjadi Berkat

Oleh : Pdm. Fredrik Dandel, ST, STh.

 Pendahuluan

Ketika dua insan yang berlainan jenis (pria dan wanita) saling mencintai, mereka tentunya menginginkan supaya hubungan yang mereka jalani diikat dalam suatu pernikahan yang kudus. Pernikahan tersebut terbentuk dengan suatu harapan / damba untuk mendapatkan kebahagian. Saling membahagiakan satu dengan yang lainnya, demikianlah yang terpartri dalam janji pernikahan sehidup dan semati.

Seiring dengan berjalannya waktu, dalam mengarungi bahtera rumah tangga, tidaklah terlepas dari adanya konflik. Pemicu konflik tersebut sangatlah bermacam-macam, mulai dari persoalan yang kecil, sedang sampai ke persoalan yang besar, jika tidak diselesaikan dengan baik oleh kedua suami dan isteri, maka berpotensi kepada perceraian / hancurnya rumah tangga yang pastinya akan berakibat buruk baik kepada kedua suami isteri tersebut, terlebih kepada anak-anak sebagai buah nikah mereka.

Tidak ada seorangpun yang menginginkan kehancuran dalam rumah tangganya, tidak ada seorangpun yang mau menikah untuk kemudian bercerai. Tetapi kebanyakan pernikahan yang berujung pada perceraian, memiliki suatu alasan yang klasik, yakni untuk kebahagiaan masing-masing pribadi. Benarkah demikian ?

Pengertian Konflik dan Penyebab Terjadinya Konflik

Menurut Cassell Concise English Dictionary, 1989; konflik bisa didefinisikan sebagai “suatu pertarungan; suatu benturan; suatu pergulatan; pertentangan kepentingan-kepentingan, opini-opini, atau tujuan-tujuan; pergulatan mental; penderitaan batin”. Sedangkan Menurut Cornelius et al, 1992, konflik adalah: “dua jajaran kebutuhan atau lebih yang menarik dari arah-arah yang berlainan”. Konflik dapat disimpulkan sebagai berikut: “Ketidaksetujuan atau ketidaksepakatan yang muncul ketika kepentingan/paham dua pihak yang bertentangan. Untuk memuaskan kepentingan-kepentingan tersebut dipengaruhi oleh sumber daya yang dimiliki terbatas, komunikasi antar pihak lemah dan tidak adanya itikad untuk mencari jalan keluar terbaik”. (Jaliaman Sinaga, dkk (2015).

Menurut Jaliaman Sinaga, dkk (2015), Konflik dapat disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut : Perbedaan karakter/kepentingan, perbedaan paham / pemahaman / persepsi / interpretasi, perilaku yang kurang menghargai orang lain, kompetisi nyata ataupun tersembunyi untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkan/di luar jangkauan; serta Tugas dan tanggung jawab yang tidak dirumuskan secara jelas.

Sedangkan menurut Hadisubrata dalam Nurul Atieka (2011), konflik dalam perkawinan yang menyebabkan keretakan hubungan suami-istri atau bahkan menyebabkan  perceraian, biasanya bersumberkan pada kepribadian suami istri dan hal-hal yang erat kaitannya dengan perkawinan. Konflik yang bersumber pada kepribadian pada umumnya disebabkan oleh  : Ketidakmatangan kepribadian, Adanya sifat-sifat kepribadian yang tidak cocok untuk menjalin hubungan perkawinan, dan adanya kelainan mental. Sedangkan Konflik yang bersumber pada hal-hal yang erat kaitannya dengan perkawinan, menyangkut masalah sebagai berikut : Keuangan, Kehidupan social, Pendidikan anak, Masalah Agama, Hubungan dengan Mertua-Ipar, Penyelewengan dalam Hubungan Seksual, serta Ketidakpuasaan seksual.

Mengatasi dan Meminimalisir Konflik

Pasangan suami isteri Kristen, menyadari bahwa perceraian bukanlah sesuatu hal yang dikehendaki Allah. Mat. 19:5-6 : “Dan firman-Nya : Sebab itu laki-laki akan menginggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan oleh manusia.” Dan lagi Lukas 16 : 18 ditekankan : “Setiap orang yang menceraikan isterinya, lalu kawin dengan perempuan lain, ia berbuat zinah; dan barangsiapa kawin dengan perempuan yang diceraikan suaminya, ia berbuat zinah.”

Suami isteri Kristen yang mengasihi Tuhan dan taat kepada kebenaran Firman Allah, tidak akan pernah menginginkan perceraian sebagai solusi untuk menyelesaikan konflik dalam pernikahan mereka. Jangankan dilakukan, dipikirkan ataupun diperkatakan saja, akan membuat ketidaknyaman dalam hati keduanya. Bagaimana mengatasi konflik dalam rumah tangga itulah yang merupakan solusi terbaik bagi kebahagiaan rumah tangga mereka.

Jika kita menyadari bahwa konflik dalam rumah tangga itu tidak bisa dihindari, maka satu-satunya cara yang dapat kita lakukan adalah menghadapi konflik tersebut dan mau berupaya untuk mengatasinya, atau dengan kata lain kita berusaha untuk “mengubah konflik menjadi berkat” sehingga kebahagiaan dalam pernikahan akan tetap dapat kita nikmati bersama pasangan suami atau isteri kita, dan kita terhindar dari sesuatu keputusan yang membuat kita lebih menderita.

Jaliaman Sinaga, dkk (2015), menawarkan tujuh langkah mengubah konflik menjadi berkat berdasarkan Firman Tuhan, yaitu : Meminta hikmat dari Tuhan; Memiliki sikap mau belajar; Membangun komunikasi; Mengintrospeksi diri; Memiliki jiwa besar; Mempersingkat konflik; dan Mengendalikan Emosi. Tujuh langkah tersebut jika kita implementasikan dengan baik, tentunya akan membawa kita keluar dari konflik yang berkepanjangan.

Konflik memang tidak bisa kita hindari, namun sesungguhnya konflik dalam pernikahan itu bisa saja kita minimalisir. Beberapa hal yang dapat kita lakukan uintuk meminimalisir konflik dalam pernikahan diantaranya adalah sebagai berikut :

1.             Memiliki Hidup Yang Bergaul Karib dengan Tuhan.

Seorang yang memiliki hubungan karib dengan Tuhan, pasti akan mampu mengendalikan dirinya melakukan sesuatu yang tidak berkenan kepada Tuhan dan sesama. Bergaul karib dengan Tuhan dibuktikan dengan pemberian waktu setiap hari menyembah Tuhan, berdoa dan membaca kebenaran Firman Allah.

2.             Berusaha Meluangkan Waktu Bersama Pasangan.

Beberapa keuntungan ketika suami dan isteri memiliki waktu untuk bersama, adalah : Terjalinnya komunikasi yang baik antara suami dan isteri; Menumbuhkan perasaan cinta kasih kepada pasangannya, dan Jika memilki masalah akan dapat dicarikan solusi untuk memecahkan permasalahan yang dialami oleh pasangan.

3.             Menciptakan suasana yang harmonis, penuh kasih sayang dan perhatian.

Dengan menciptakan suasana yang harmonis, penuh kasih sayang dan perhatian, akan membuat pasangan suami isteri itu menjadi bahagia dan terhindar dari percekcokan. Pasangan suami isteri perlu memiliki selera humor, dan boleh mencoba untuk mempraketakan itu ketika mereka sedang bersama.

4.             Membangun komitmen untuk saling mengasihi dan saling percaya.

Kasih Kristus merupakan dasar hidup suami isteri (Ef. 5 : 22-33). Jika kita menyadari bahwa Kristus mengasihi kita dan mau berkorban bagi kita, maka demikianpun selayaknya kita memperlakukan pasangan hidup kita. Dengan membangun komitmen untuk saling mengasihi dan saling percaya, potensi konflik akan dapat diminimalisir.

Penutup

 Kebahagiaan hidup suami isteri bukanlah berarti karena tidak pernah mengalami konflik. Konflik dalam suatu rumah tangga merupakan bumbu kehidupan yang perlu dikelola dengan sebaik-baiknya. Ketika suami isteri mampu mengelola konflik, maka konflik tersebut akan dapat menjadi suatu berkat dalam kehidupan pernikahan.

“Jadi karena dalam Kristus ada nasihat, ada penghiburan kasih, ada persekutuan Roh, ada kasih mesra dan belas kasihan, karena itu sempurnakanlah sukacitaku dengan ini: hendaklah kamu sehati sepikir, dalam satu kasih, satu jiwa, satu tujuan, dengan tidak mencari kepentingan diri sendiri atau puji-pujian yang sia-sia. Sebaliknya hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama dari pada dirinya sendiri; dan janganlah tiap-tiap orang hanya memperhatikan kepentingannya sendiri, tetapi kepentingan orang lain juga. Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus.” Filipi 2:1-5.

Kepustakaan :

Eva Meizara Puspita Dewi. Konflik Perkawinan dan Model Penyelesaian Konflik Pada Pasangan Suami Isteri. Jurnal Psikologi Volume 2, No. 1, Desember 2008.

Jaliaman Sinaga, dkk. Bimbimbang Pernikahan. Divisi Pengajaran GBI, Jakarta. 2015.

Lembaga Alkitab Indonesia (2002). Alkitab, Cetakan Kesepuluh. Penerbit Lembaga Alkitab Indonesia. Jakarta

Nurul Atieka. .Mengatasi Konflik Rumah Tangga (Studi BK Keluarga). Artikel Guidena, Vol. 1, No, 1. September 2011.

Kamis, 16 Desember 2021

ARTI POHON DAN BUAH DALAM LUKAS 6 : 43 – 45

Oleh : Pdm. Fredrik Dandel, ST, STh. 

Latar Belakang 

        Banyak orang lebih mudah mengenali pohon dengan melihat buahnya. Apalagi orang yang tinggal di perkotaan, yang jarang sekali melihat pohon, mereka hanya tahu buah dari pohon itu, misalnya buah nangka, mangga, durian dan lain sebagainya. Ketika suatu waktu orang ini berjalan ke luar kota dan melihat suatu pohon yang kebetulan waktu itu pohon tersebut berbuah, maka pasti lebih mudah mereka mengenal jenis pohon apakah itu. Tentunya mereka akan lebih mudah mengenali pohon itu adalah pohon nangka, jika pohon nangka tersebut berbuah. Tetapi jika pohon nangka tersebut tidak memiliki buah, mungkin mereka akan kesulitan mengenali pohon apakah itu. Tuhan Yesus, sang guru agung, memperlihatkan keterampilan mengajar menggunakan kebenaran umum untuk menjelaskan suatu kebenaran rohani. 

Analisa Cerita 

     Cerita dalam Lukas 6 : 43 - 45 ini tidak terlepas dari ayat sebelumnya, bagaimana Tuhan Yesus mengajarkan kepada banyak orang tentang mengasihi musuh dan berbuat baik kepada orang yang membenci kamu; serta perihal menghakimi, bagaimana kita diajarkan untuk mengampuni orang lain yang mungkin telah berbuat salah kepada kita, sebab Allah yang adalah Bapa kita juga mengasihi kita meskipun kita telah berdosa. Serta pada ayat sesudahnya, yakni bagaimana Tuhan Yesus mengajarkan kepada banyak orang termasuk kita perumpamaan tentang dua macam dasar, baik dasar dari batu yang kuat, maupun dasar dari pasir yang mudah goyah. 
      Pada perumpamaan dalam ayat 43 – 45 ini, Tuhan Yesus mencoba membandingkan karakter hidup manusia dengan pohon dan buahnya. Pohon yang adalah gambaran dari pribadi manusia itu sendiri, sedangkan buah karena merupakan sesuatu yang keluar dari pohon, maka ini tentunya adalah apa yang keluar dari pribadi manusia itu. 
       Menurut saya, ada 2 hal yang keluar dari dalam diri manusia itu, yang mengekspresikan bagaimana sesungguhnya pribadi orang itu, yakni : 
  1. Perkataan. Perkataan merupakan sesuatu yang dikeluarkan melalui mulut seseorang yang diwujudkan dalam suatu ungkapan bahasa yang dapat dimengerti oleh orang lain. Dengan bahasa, orang akan memahami tujuan seseorang menyampaikan maksudnya kepada orang lain. Perkataan yang kasar, akan membuat orang lain tersakiti, dan kemudian berdampak kepada ketidaksukaan terhadap orang yang menyampaikannya. Juga dari nada bahasa, orang akan mengerti bahwa orang tersebut sedang marah atau tidak. Kemarahan biasanya akan diluapkan dengan nada bahasa yang tinggi, berupa teriakan. 
  2. Perbuatan. Perbuatan atau tindakan yang dilakukan oleh seseorang merupakan ekspresi dari pribadi orang tersebut. Perbuatan atau tindakan mencerminkan siapa sesungguhnya orang tersebut. Dalam Injil Yohanes 8 : 37 - 47, Tuhan Yesus dengan tegas menunjukkan kepada Orang Yahudi perihal siapa sesungguhnya bapa mereka dari apa yang mereka kerjakan. Benar bahwa secara jasmaniah mereka adalah keturunan Abraham, tetapi dari perbuatan mereka sama sekali tidak menunjukkan teladan baik dari Abraham. Yesus dengan berani menegaskan kepada mereka : “Iblislah yang menjadi bapamu dan kamu ingin melakukan keinginan-keinginan bapamu” ay. 44a. 

Hal-Hal Penting Yang Ditekankan dalam Perumpamaan ini 

        Hal penting yang ditekankan dalam perumpamaan tentang Pohon dan buahnya ini dapat disimpulkan dalam satu kalimat yakni : “Kita mengenal setiap pohon dari buahnya”. Yang penjelasannya diuraikan menjadi 2 hal, sebagai berikut : 
1. Pohon yang baik akan menghasilkan buah yang baik, sedangkan pohon yang tidak baik akan juga menghasilkan buah yang tidak baik. 
2. Kita tidak mungkin memetik buah ara dari semak duri dan dari duri-duri kita tidak bisa memetik buah anggur. 

Akhir Perumpamaan 

   Akhir dari perumpamaan ini, Tuhan Yesus mengajarkan bahwa : “dari orang baik dengan perbendaharaan hatinya yang baik akan keluar barang yang baik (ay. 45). Sedangkan dari orang yang jahat dengan perbendaharaan hatinya yang jahat akan keluar barang yang jahat. Kalimat terakhir ayat 45 memberikan penjelasan lebih lanjut bahwa sesuatu yang keluar dari mulut itu merupakan sesuatu yang meluap (keluar) dari dalam hatinya. 
      Dengan demikian kita dapat mengenali apakah seseorang mempunyai hati yang baik atau tidak baik dari perkataan-perkataan yang diucapkannya. Jika diperluas maknanya, maka hati yang baik bukan saja menghasilkan perkataan yang baik, tetapi juga pikiran yang baik, tindakan yang baik dan segala hal yang baik lainnya. 
     Pujian dan ucapan syukur akan keluar dari hati dan pikiran yang baik dari seseorang. Sedangkan hati dan pikiran yang negatif akan selalu melihat kekurangan dan kelemahan dari segala sesuatu. Dari mulut orang yang memiliki hati dan pikiran yang negatif akan keluar keluh kesah, ucapan ketidak-puasan atau juga makian (kata-kata kotor). 

Perbandingan Yang Cocok 

     Mengenai hal ini digambarkan juga dalam konteks dekat sebelumnya tentang selumbar di mata orang lain terlihat tetapi balok di mata sendiri tidak terlihat (ay. 41-42). Daripada melihat kekurangan dan kelemahan orang lain yang diumpamakan sebagai selumbar, lebih baik mawas diri untuk melihat kekurangan diri sendiri sehingga kita tidak gampang menghakimi orang lain (ay. 37). Hal ini tentu saja menegur para orang Farisi dan Ahli Taurat karena merekalah yang mengkritik Tuhan Yesus dengan keras. Merekalah yang disebutkan “orang buta menuntun orang buta” (ay. 39). 
     Dari konteks sesudahnya, yakni ayat 46-49 (tentang dua macam dasar), kita mendapati suatu standar dalam memiliki hati dan pikiran yang baik yang dapat menghasilkan hal-hal yang baik. Yaitu dengan mendengarkan perkataan Tuhan Yesus dan melakukannya. Karena jika orang melakukan perkataan Kristus maka ia seperti sebuah rumah yang didirikan di atas dasar batu, kokoh dan tidak akan goyah oleh air bah dan banjir. 

Pesan-Pesan Penting 

    Akhirnya suatu hal yang dapat dipetik dari pembelajaran diatas, adalah bahwa kita perlu merawat hati dan pikiran kita dengan segala sesuatu yang baik (positif), (Filipi 4 : 8 berkata : “Jadi akhirnya, saudara-saudara, semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji, pikirkanlah semuanya itu”). Sehingga kita dapat menjadi saksi, terang dan berkat bagi orang-orang di sekitar kita, mereka menjadi tahu bahwa kita adalah anak-anak Allah karena Allah sendiri yang menjadi sumber hati kita yang baik. Pohon akan dikenali dari dari buahnya, yaitu perbuatan kita sebagai anak-anak Allah. 

Kebenaran Rohani Yang Ditemukan 

     Dari uraian-uraian seperti yang disebutkan di atas, maka kita dapat menemukan kebenaran rohani dalam perumpamaan ini, yakni : 
  1. Hati merupakan cermin dari pribadi kita, yang diluapkan melalui perkataan dan perbuatan kita. 
  2. Kita perlu menyucikan hati kita supaya hati kita dapat ditempati dengan kebenaran Firman Allah, perhatikan perumpamaan tentang seorang penabur, dalam Mat. 13:1-23; Mrk. 4:1-20; dan Luk. 8:4-15; dan Roh Kudus, perhatikan I Kor. 6 : 19. 
  3. Dari perbendaharaan hati yang baik akan keluar sesuatu hal yang baik sesuai dengan Firman Allah, namun dari perbendaharaan hati yang tidak baik akan pula keluar sesuatu yang tidak baik. 

Kesimpulan 

     Arti POHON dalam Bacaan Lukas 6 : 43 – 45 diatas adalah berbicara tentang Pribadi Kita / Orang atau Manusia. Dalam diri manusia itu ada sesuatu hal yang sentral yakni hati kita. Kita perlu menyerahkan dan merawat hati kita suapaya dapat ditempati oleh Firman Allah dan Roh Kudus, sehingga kita akan menjadi pribadi yang baik dan berkenaan kepada Allah. Tetapi jika hati kita diserahkan untuk ditempati oleh Iblis (Iblis yang menjadi bapamu), maka pastinya hati kita menjadi jahat sesuai dengan karakter Iblis. 
    Sedangkan BUAH yang merupakan sesuatu yang keluar dari POHON, hal ini berarti sesuatu yang keluar dari Pribadi manusia itu sendiri yang berasal dari hatinya, yakni yang tercermin melalui perbuatannya maupun perkataannya dan yang menunjukkan siapa dirinya sesungguhnya. Dari perbendaharaan hati yang baik, akan mengeluarkan buah yang baik. Namun dari perbendaharaan hati yang tidak baik, akan mengeluarkan sesuatu hal yang tidak baik pula.

TAFSIRAN BENDAHARA YANG TIDAK JUJUR DALAM LUKAS 16 : 1–9

Oleh : Pdm. Fredrik Dandel, ST, STh.

Pendahuluan

    Dari judul bacaan firman Tuhan ini, maka sudah dapat diketahui bahwa kisah ini merupakan suatu perumpamaan. Perumpamaan adalah ceritera-ceritera yg dipakai dengan maksud untuk menjelaskan suatu ajaran moral atau kebenaran rohani, karena ceritera tersebut memiliki beberapa persamaan dengan ajaran/ kebenaran tersebut. 

Penerapan Prinsip Perumpamaan 

Jenis Perumpamaan diatas merupakan perumpamaan berupa cerita yang menunjuk kepada suatu peristiwa yang terjadi di masa lalu dan berkenaan dengan pengalaman seseorang. Suatu cerita dalam bentuk perumpamaan, namun terkesan seperti benar-benar terjadi (suatu pengalaman yang real terjadi di tengah kehidupan sehari-hari umat.

Karakteristik Perumpamaan : 

Latar Belakang perumpamaan ini terdapat di ayat 1 – 2. Dikisahkan bahwa ada seorang bendahara yang bekerja pada seorang tuan yang kaya. Suatu waktu tuannya tersebut memanggil bendahara ini untuk dimintai keterangan atas laporan yang dituduhkan kepadanya karena telah menyalahgunakan milik tuannya dengan menghamburkannya untuk kepentingannya sendiri. Konsekuensi dari perbuatan tersebut, jika terbukti benar, maka bendahara tersebut tidak akan lagi bekerja sebagai bendahara atau dengan kata lain diberhentikan tidak dengan hormat (dipecat). 

Sedangkan Isi perumpamaan ini terdapat pada ayat 3 –7, yang mengkisahkan suatu upaya / tindakan penyelamatan diri dari bendahara yang akan dipecat oleh tuannya tersebut. Karena ia merasa tidak memiliki keahlian lain selain dalam pekerjaannya sebagai bendahara, sedangkan untuk mencangkul ia tidak bisa, dan untuk mengemis ia merasa malu. Maka agar supaya ia boleh mendapat perkenaan orang lain dan mau menampung dia di rumah mereka, ia memilih suatu tindakan yang terkesan berbuat kebaikan kepada orang lain, untuk menarik hati orang-orang tersebut, yakni dengan memotong hutang orang yang berhutang kepada tuannya itu mulai dari nilai 20% sampai dengan 50%, kemudian ia memberikan surat hutang baru sesuai presentase baru tersebut kepada orang-orang yang berhutang kepada tuannya tersebut. 

Penutup dalam perumpamaan ini terdapat dalam ayat 8 dan ayat 9, dimana tuan yang kaya itu memuji bendahara yang tidak jujur itu, karena ia telah bertindak dengan cerdik, yakni dengan memakai sisa kekuasaan yang ada padanya atas keuangan yang dipercayakan oleh tuan yang kaya tersebut kepadanya, dengan berbuat baik kepada orang-orang yang benar-benar membutuhkannya. 

Penerapan Prinsip Penafsiran Umum (sejarah dan latar belakang dari aspek social dan geografi) : 

Bagi orang Yahudi, Minyak dan Gandum merupakan suatu kebutuhan pokok yang mau tidak mau harus mereka penuhi dalam kehidupan mereka. Berlimpahnya pohon zaitun di Palestina memungkinkan perdagangan minyak yang pesat. Minyak zaitun banyak digunakan untuk mempersiapkan makanan, sebagai ganti mentega dalam memasak makanan. Suatu pemakaian umum yang lain dalam lingkungan rumah tangga adalah untuk bahan bakar lampu kecil. Minyak Zaitun tumbuk yang murni juga dipergunakan untuk memasang lampu di Bait Suci (Tabernakel Musa) agar tetap menyala (Kel. 27 : 20-21; Im. 24 : 2 – 3). Sedangkan Gandum merupakan bahan makanan pokok untuk membuat roti lebih lezat ketimbang biji-biji yang lain manapun. Roti merupakan makanan pokok bagi orang Yahudi sampai saat ini. Dalam peribadatan di Kemah Suci, Musa dan Para Imam diperintahkan oleh Allah untuk tetap meletakkan roti sajian di atas meja yang disebut sebagai Meja Roti Sajian (Kel. 25 : 23 – 30; Im. 24 : 5 – 9. 

Karena begitu pentingnya minyak dan gandum ini, maka dalam setiap rumah kediaman orang Yahudi harus tetap tersedia kedua bahan makanan pokok ini, disamping bahan makanan yang lainnya. Ingat suatu peristiwa tentang seorang Janda di Sarfat, yang dimintakan oleh Elia untuk menyediakan roti baginya. Janda tersebut bahkan sampai berani bersumpah bahwa di dalam rumahnya sudah tidak ada lagi roti sedikitupun, kecuali segenggam tepung dalam tempayan dan sedikit minyak dalam buli-buli. Selanjutnya melalui keiklasan yang menunjukkan cintanya kepada Tuhan, Janda di Sarfat ini akhirnya menerima mujizat dari Tuhan, sehingga ia terselamatkan dari ancaman kematian karena kelaparan, dan memuliakan Allah-nya (1 Raja-Raja 7 : 7 – 24). Lihat juga kisah Minyak Seorang Janda dalam 2 Raja-Raja 4 : 1 – 7, dimana Janda salah seorang dari para nabi yang dililit oleh hutang dan mengadukan persoalannya kepada Elisa. Janda tersebut meskipun sudah tidak memiliki apa-apa dalam rumahnya, namun ia masih menyimpan sedikit minyak dalam buli-buli, yang melalui sedikit minyak dalam buli-buli itu, Elisa membuat mujizat yang kemudian dapat menolong janda tersebut keluar dari lilitan hutangnya. 

Untuk memenuhi kebutuhan pokok akan minyak dan gandum ini, orang Yahudi yang berkekurangan, bahkan mereka sampai mau berhutang kedua bahan pokok ini. Kisah dalam perumpamaan ini, menggambarkan sesuatu hal yang real terjadi di kalangan umat Yahudi pada masa itu. Mungkin juga kisah Minyak seorang Janda sebagaimana dalam 2 Raja-Raja 4 : 1 – 7 tersebut, menunjukkan bahwa sang janda tersebut dililit hutang akan kedua kebutuhan pokok tersebut, yakni Minyak dan Gandum. Karena meskipun gandum sudah tidak ada lagi padanya, tapi masih ada tersisa sedikit minyak yang dia simpan dalam buli-buli. 

Merupakan suatu kebiasaan dari dahulu kala bahkan sampai saat ini, bahwa seseorang yang berhutang, akan diberi Surat Hutang sebagai suatu bukti otentik atas hutang seseorang kepada orang lain. Penerapan akan hal ini ditunjukkan dalam perumpamaan ini, bahwa Bendahara tersebut, menanyakan besaran hutang dengan meminta surat hutang, kemudian ia memberikan surat hutang yang baru sebagai dasar orang yang berhutang tersebut membayar hutang mereka. 

Menurut komentari Alkitab New Jerusalem Bible (Wikipedia) dijelaskan bahwa biasanya para bendahara mendapatkan komisi dari hasil penjualan tuannya. Dengan mengurangi surat hutang seseorang, bendahara tersebut tidak merugikan tuannya, melainkan hanya mengorbankan keuntungan pribadinya. Itulah sebabnya ia dipuji tuannya sebagai “cerdik”. 

Kesimpulan 

Bendahara dalam Perumpamaan Lukas 16 : 1 – 9 di atas menggambarkan semua anak manusia, sedangkan tuan dari bendahara itu menggambarkan Tuhan kita. Karena kasih-Nya, Allah telah mempercayakan miliknya kepada kita untuk dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya, namun seringkali kita berlaku tidak baik (tidak jujur). Ketidakjujuran kita (bendahara dalam perumpamaan ini) adalah dengan menghamburkan (suatu tindakan yang merugikan) milik tuan kita. Hal ini tentunya berkonsekuensi kepada penghukuman (pemecatan dari jabatan sebagai bendahara), meskipun sesungguhnya Tuan kita sangat mengasihi kita, namun Ia tetap memberlakukan penghukuman itu sebagai konsekuensi dari pelanggaran / kesalahan / dosa kita kepadaNya. (ay 1 - 2). 

Reaksi sang bendahara setelah dipecat, merupakan upayanya untuk menyelamatkan dirinya. Mempertimbangkan apa yang harus dilakukan merupakan suatu hikmat yang perlu dilakukan, disamping untuk mendapat perkenaan Allah (dengan perbuatan baik kepada orang lain - dan rupanya dia berhasil), juga untuk mendapat perkenaan manusia (mendapatkan tempat perlindungan / penampungan yang layak). Dengan mengurangi beban hutang orang yang berhutang kepada tuannya, yang berhutang minyak 100 tempayan diberikannya surat hutang baru 50 tempayan minyak, yang berhutang 100 pikul gandum, diberikannya surat hutang baru 80 pikul gandum, yang tentu saja dengan mengorbankan keuntungan yang seharusnya ia dapatkan, bendahara tersebut berusaha untuk berbuat baik dan menyenangkan hati orang yang berhutang kepada tuannya tersebut dengan harapan orang tersebut kelak akan dapat menolong dia (ay 3 – 7). 

Tuan itu memuji bendahara yang tidak jujur itu, karena ia telah bertindak dengan cerdik (ay 8). Sang majikan meskipun sangat marah dengan perbuatan jahat yang dilakukan oleh bendahara tersebut, namun tetap memuji akal dan pikiran si bendahara itu untuk dirinya sendiri. Tampaknya bagian akhir dari dari ayat ini berasal dari Tuhan Yesus. Tuhan Yesus benar-benar berkata.“Aku memuji orang yang seperti ini, yang tahu melakukan apa yang baik untuk dirinya sendiri, bagaimana memanfaatkan peluang yang ada saat ini, dan bagaimana menyiapkan apa yang perlu bagi masa depannya.” Yesus tidak memuji bendahara tersebut karena ia telah melakukan kesalahan terhadap tuannya, tetapi karena ia telah bertindak bijaksana untuk dirinya sendiri. Oleh sebab itu, perlakukanlah segala yang kita miliki dengan baik, dan memakainya untuk perbuatan saleh dan amal, maka kita akan menuai keuntungan dari perbuatan kita itu di dunia yang akan datang. 

Maksud dari pengajaran Kristus dalam perumpamaan ini adalah untuk menyadarkan dan mendorong kita semua untuk memanfaatkan dunia ini tanpa menyalahgunakannya. Hal ini berarti mengelola semua milik kita dan kegunaannya sedemikian rupa sehingga menyelamatkan kita dan bukan untuk melawan kita di dunia yang lain. Dan ini bergantung dari bagaimana kita memanfaatkan milik kita sekarang ini di dunia ini.