Rabu, 01 Oktober 2025

BENARKAH KEMATIAN YESUS DI SALIB ADALAH RENCANA IBLIS ?

Oleh : Pdm. Fredrik Dandel, ST, STh, MAg, MTh.

Kematian Yesus di Salib, jelas bukanlah merupakan rencana Iblis. Buktinya Iblis acapkali menggagalkan kematian Yesus melalui Jalan Penyaliban. Berikut beberapa dalilnya dalam Alkitab : 

Pertama; saat Yesus dilahirkan di Betlehem, Iblis melalui Herodes telah berupaya untuk membunuh Dia. (Mat.2:13). Jika Yesus berhasil dibunuh, bagaimana mungkin misi penyaliban akan terjadi ???

Kedua; saat Yesus berumur 30 tahun dan akan mulai pelayanan-Nya, Iblis menggoda Yesus sebanyak 3 kali (Mat. 4:1-11;  Mrk. 1:12-13; Luk. 4:1-13). Dengan menjatuhkan Yesus, Iblis tentunya mau menggagalkan Salib.  

Ketiga; ketika Yesus sedang melakukan tugas pelayananNya, beberapa kali orang-orang Yahudi (tentunya karena bapak mereka adalah Iblis seperti kata "orang itu") berupaya membunuh Yesus dengan cara melempariNya dengan batu (Yoh.8:59, 10:31-33; bandingkan dengan Im. 24:16), melemparkan Dia dari tebing (Luk. 4:29), bahkan dengan cara lain melalui tipu muslihat (Mat. 26:3–4; Mrk. 14:1–2; Luk. 22:2). Jika kematian ini terjadi, Salib tentu gagal ... !!!

Keempat; saat Yesus mulai memberitakan tentang kematian-Nya, Petrus (yang dikuasai Iblis) berupaya untuk menghalangi kematianNya tersebut yang membuat Yesus harus menghardik Petrus dengan mengatakan "Enyahlah Iblis. Engkau suatu batu sandungan bagi-Ku....... (Mat. 16:21-23; Mrk. 8:31-33). Ini sangat jelas, Iblis tidak menghendaki Yesus mati disalib... !!! 

Dengan demikian, kematian Yesus di salib bukanlah rencana Iblis, karena sejak kelahiran-Nya, awal pelayanan-Nya, saat Ia melayani, hingga menjelang kematian-Nya, Iblis terus berupaya menggagalkan jalan salib ..... !!!

Semoga dengan penjelasan ini, Saudara-Saudara Seiman, tidak mau disesatkan oleh oknum-oknum yang ditunggangi oleh Iblis.... Waspadalah ....... !!! Salam dari hamba-Nya (FD)



Jumat, 19 September 2025

Dari Ijazah SMA Menuju Gelar Doktor : Ketika Iman yang Diucapkan Mulai Digenapi Tuhan. Kesaksian Pribadi

Pdm. Fredrik Dandel, ST, STh, MAg, MTh.

Awal tahun 1995 adalah titik awal sebuah perjalanan panjang yang tidak pernah saya bayangkan sebelumnya. Saat itu, saya mengikuti Diklat Prajabatan sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) di lingkungan Kantor Wilayah Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Provinsi Maluku. Saya baru saja lulus SMA setahun sebelumnya dan bersyukur bisa diterima sebagai CPNS di usia muda. 

Di tengah suasana pelatihan itu, terjadi sebuah momen yang tampaknya sepele, tapi ternyata menyimpan benih besar dalam hidup saya. Saya terlibat perdebatan dengan seorang teman CPNS mengenai gelar pendidikan tertinggi. Saya menyatakan bahwa Doktor adalah gelar tertinggi dalam jenjang pendidikan, setelah Sarjana (S1) dan Magister (S2). Namun teman saya bersikukuh bahwa Profesor adalah gelar tertinggi. Saya menjelaskan bahwa Profesor bukan gelar akademik, melainkan jabatan fungsional yang diberikan kepada dosen atau peneliti yang memenuhi kualifikasi tertentu. Sedangkan gelar Doktor adalah jenjang akademik formal tertinggi yang bisa diraih di dunia pendidikan.

Perdebatan itu memuncak hingga saya, dengan penuh keyakinan berkata, "Kelak saya akan meraih gelar Doktor, meskipun hari ini saya hanya CPNS dengan ijazah SMA." Teman saya tertawa. Ia menganggap ucapan saya itu sebagai mimpi kosong, terlalu tinggi untuk seseorang yang bahkan belum menempuh kuliah. Saya tidak marah, tapi kalimat itu menjadi sebuah janji iman yang saya ucapkan dengan polos, namun sungguh-sungguh.

Jalan Panjang Penuh Tikungan

Waktu berjalan. Ucapan itu perlahan menghilang dari ingatan saya. Bukan karena saya tak percaya lagi, tapi karena kenyataan hidup saat itu memang begitu berat. Melanjutkan kuliah S1 saja terasa sangat sulit. Namun demikain, saya tetap mencoba. Pertengahan tahun 1995, saya mulai kuliah di jurusan Teknik Sipil, Universitas Kristen Indonesia Maluku (UKIM) Ambon. Sayangnya, belum setahun berjalan, saya terpaksa drop out. Saya harus mengikuti Diklat Teknisi Preparasi Mineral, Batuan, dan Fosil di Bandung selama lebih dari sebulan. Ketika kembali, teman-teman saya sudah menyelesaikan ujian akhir semester 2, dan saya kehilangan semangat untuk melanjutkan.

Saya baru bisa kembali kuliah pada tahun 2005, kali ini di Universitas Pattimura Ambon, jurusan Teknik Industri. Puji Tuhan, saya berhasil menyelesaikan studi dan diwisuda pada tahun 2010. Namun, mimpi lama itu, untuk menjadi seorang Doktor kembali saya kubur dalam-dalam. Kesempatan untuk studi lanjut sebenarnya ada, tetapi saya memilih pindah tugas ke Kota Bitung, Sulawesi Utara. Kesibukan kerja, penyesuaian hidup serta minimnya Perguruan Tinggi yang menyelenggarakan studi sampai ke level Magister, membuat saya untuk sementara waktu menunda berpikir tentang studi S2, apalagi S3.

Tahun 2015, saya kembali pindah tugas ke kampung halaman saya di Pulau Siau. Situasi di daerah membuat saya makin pesimis. Rasanya, mustahil bagi saya untuk melanjutkan studi. Ini daerah kepulauan Bung. Sedangkan di Kota Bitung yang masih dekat dengan Ibu Kota Provinsi sudah sulit melanjutkan studi, apalagi di daerah Kepulauan yang jauh. Namun Tuhan ternyata belum selesai bekerja.

Tuhan Membuka Jalan yang Tak Terpikirkan

Tahun 2018, saat ada keinginan untuk melanjutkan S2 di Universitas Terbuka, saya justru memilih memulai kuliah S1 Teologi di STT Rumah Murid Kristus - Bitung. Panggilan untuk melayani rupanya lebih besar mendorong saya untuk belajar Teologi. Saya percaya, ini adalah jalan yang Tuhan bukakan untuk membentuk karakter dan pemahaman iman saya. Saya menyelesaikan Pendidikan S1 Teologi ini pada tahun 2021. Tamat S1 Teologi ini malah lebih memacu semangat saya untuk melanjutkan ke jenjang S2. Masa-masa itu, Covid-19 melanda dunia, dan berimbas juga pada dunia pendidikan. 

Pembatasan untuk berkumpul, memungkinkan penyelenggaraan pendidikan melalui kuliah On Line, yang tentunya mengharuskan calon mahasiswa menguasai teknologi informasi yang sedang berkembang pesat. Saya memanfaatkan kesempatan emas ini dengan memilih Program Studi Magister Pastoral Konseling di Sekolah Tinggi Teologi Bethel Indonesia (STTBI) Jakarta. Pertimbangan saya dalam memilih Program Studi ini adalah disamping masih jarang diminati oleh mahasiswa, juga ilmunya dapat saya praktekan di tempat kerja.  Pada tahun 2023, saya lulus program Magister tersebut. Tanpa menunda waktu, saya langsung mendaftar program Doktor (S3) dalam bidang Doctor of Ministry setelah berkonsultasi dengan dosen pembimbing tesis saya di Prodi Magister Pastoral Konseling STTBI. Saat ini, saya telah memasuki semester lima, dan sedang mempersiapkan proposal disertasi.

Kadang saya termenung, merenungkan bagaimana Tuhan mengingat ucapan iman yang saya sendiri hampir lupakan. Dulu saya berkata dengan penuh keyakinan, di tengah keterbatasan, bahkan saat belum memiliki gelar apapun. Hari ini, saya melihat ucapan itu sedang digenapi Tuhan selangkah demi selangkah. Jika Tuhan mengizinkan, pada tahun depan (2026), saya akan menyelesaikan studi dan resmi menyandang gelar Doktor. Bukan untuk kesombongan, tapi sebagai kesaksian kepada anak cucu tentang kuasa Tuhan yang sanggup menggenapi janji-Nya dalam hidup siapa saja yang percaya dan tidak menyerah.

Penutup: Ucapan Iman Bukan Sia-sia

Apa yang saya pelajari dari perjalanan ini adalah bahwa tidak ada ucapan iman yang sia-sia di hadapan Tuhan. Meskipun orang lain menertawakan, bahkan kita sendiri mungkin sempat meragukannya, Tuhan tetap bekerja di balik layar hidup kita. Terkadang, jalan yang kita tempuh tidak lurus. Ada kegagalan, penundaan, dan keputusan yang tampaknya keliru. Tapi Tuhan bisa memakai semuanya untuk mengarahkan kita kembali kepada panggilan dan janji-Nya.

Hari ini saya bersaksi, bahwa Tuhan setia. Ia bukan hanya mendengar doa kita, tetapi juga mengingat janji-janji yang kita ucapkan dalam iman, meski itu sepatah kalimat yang kita sampaikan puluhan tahun sebelumnya. Bagi siapa pun yang sedang berjalan dalam proses, teruslah percaya. Jangan pernah meremehkan kekuatan iman, sekecil apa pun itu. Jika Tuhan bisa melakukannya dalam hidup saya, Dia juga sanggup melakukannya dalam hidup Anda.

Efesus 3:20 (TB)

"Bagi Dialah, yang dapat melakukan jauh lebih banyak daripada yang kita doakan atau pikirkan, seperti yang ternyata dari kuasa yang bekerja di dalam kita."

Kamis, 21 Agustus 2025

Dari Ejekan Menjadi Kesempatan. Kisah Para Rasul 17:18–34

Oleh : Pdm. Fredrik Dandel, ST, STh, MAg, MTh

Pendahuluan

Ketika Paulus tiba di Atena, ia memasuki salah satu pusat filsafat dunia. Kota itu penuh patung dewa dan pusat diskusi publik. Di pasar dan ruang debat seperti Areopagus, para filsuf berkumpul untuk membicarakan ide-ide baru. Di tengah budaya yang bangga akan kebijaksanaan manusia, Paulus berdiri sebagai pemberita Injil Yesus Kristus. Kehadirannya segera mengundang reaksi keras, termasuk ejekan. Salah satunya, mereka menyebutnya “peleter” (ayat 18), sebuah hinaan yang merendahkan kredibilitasnya.

Kata “peleter” (spermologos) berarti “pengumpul remah-remah kata” atau “pengoceh yang tak berisi”. Mereka menganggap Paulus seperti burung yang memungut biji-bijian tanpa memahami nilainya. Bagi para filsuf, ajaran Paulus tentang kebangkitan adalah sesuatu yang aneh, bahkan bodoh. Namun, ejekan itu tidak mematahkan semangatnya. Sebaliknya, Paulus justru melihatnya sebagai pintu untuk membagikan kabar baik kepada mereka.

Dalam perjalanan hidup kita, sering kali hinaan atau penolakan bisa menjadi kesempatan untuk bersaksi. Rasul Petrus menulis, “Siap sedialah pada segala waktu untuk memberi pertanggungan jawab” (1 Petrus 3:15). Paulus mempraktekkan prinsip ini di Atena: ia tidak marah, tidak tersinggung, melainkan memanfaatkan momen itu untuk menyampaikan kebenaran Injil.

Poin 1 – Tetap Fokus di Tengah Ejekan (Kis. 17:18–21)

Ejekan bisa membuat orang kehilangan fokus. Namun, Paulus tidak terjebak untuk membalas hinaan mereka. Ia tidak sibuk membela diri, melainkan tetap pada inti misinya: memberitakan Yesus dan kebangkitan. Dalam ayat 18, meskipun disebut “peleter”, Paulus tidak mundur. Ini menunjukkan kerendahan hati dan keteguhan hati seorang pelayan Kristus.

Sikap ini selaras dengan 2 Timotius 2:24–25: “Seorang hamba Tuhan tidak boleh bertengkar, tetapi harus ramah kepada semua orang, pandai mengajar, sabar, dan dengan lemah lembut menuntun orang yang suka melawan.” Paulus memilih jalan sabar, bukan marah, dan itu membuatnya tetap memiliki peluang berbicara lebih jauh di Areopagus.

Dalam pelayanan atau kesaksian, kita akan menemui orang yang menolak bahkan menghina kita. Reaksi pertama yang harus kita pelajari dari Paulus adalah tetap fokus pada misi. Jangan biarkan ejekan mengalihkan perhatian dari tujuan utama: membawa orang kepada Kristus.

Poin 2 – Menggunakan Bahasa dan Budaya Mereka (Kis. 17:22–28)

Ketika Paulus berdiri di Areopagus, ia tidak langsung mengutip kitab Perjanjian Lama. Ia mulai dari apa yang dikenal oleh audiensnya: patung “Kepada Allah yang tidak dikenal” (ayat 23). Ia membangun jembatan komunikasi melalui sesuatu yang relevan dengan budaya mereka. Bahkan, ia mengutip penyair Yunani, “Sebab di dalam Dia kita hidup, kita bergerak, kita ada” (ayat 28), yang berasal dari karya-karya puisi lokal.

Pendekatan ini sejalan dengan 1 Korintus 9:22, “Bagi semua orang aku telah menjadi segala-galanya, supaya aku sedapat mungkin memenangkan beberapa orang dari antara mereka.” Paulus menyesuaikan bahasa dan cara penyampaiannya tanpa mengurangi kebenaran Injil.

Pelajaran bagi kita: untuk menjangkau hati orang, kita harus memahami latar belakang, bahasa, dan pola pikir mereka. Injil tidak berubah, tetapi cara kita mengemasnya harus bisa masuk ke konteks pendengar.

Poin 3 – Menyampaikan Kebenaran Secara Tegas (Kis. 17:29–34)

Setelah membangun jembatan dengan audiensnya, Paulus tidak berhenti di titik aman. Ia dengan tegas menyatakan bahwa Allah memanggil semua orang untuk bertobat (ayat 30) dan bahwa ada hari penghakiman yang pasti, di mana Yesus akan menjadi Hakim yang adil, dibuktikan dengan kebangkitan-Nya (ayat 31). Di sini, Paulus tidak kompromi: kebenaran Injil tetap disampaikan secara penuh.

Yohanes 8:32 berkata, “Kamu akan mengetahui kebenaran, dan kebenaran itu akan memerdekakan kamu.” Tetapi kebenaran itu juga sering menimbulkan perlawanan. Di Atena, sebagian mengejek, sebagian menunda, dan sebagian percaya (ayat 32–34). Reaksi itu wajar, karena Firman Allah selalu membagi respon manusia menjadi dua: menerima atau menolak.

Pelajaran yang kita dapatkan adalah, tugas kita bukan membuat semua orang setuju, tetapi setia menyampaikan kebenaran. Hasilnya ada di tangan Tuhan. Paulus menabur benih Injil, dan Tuhan yang memberi pertumbuhan (1 Korintus 3:6).

Kesimpulan

Perjalanan Paulus di Atena mengajarkan bahwa ejekan bukanlah akhir dari pelayanan, melainkan awal dari kesempatan. Ia tidak membiarkan hinaan “peleter” mematikan semangatnya. Ia tetap fokus, membangun jembatan budaya, dan akhirnya menyampaikan kebenaran Injil dengan tegas.

Dalam kehidupan kita, mungkin kita juga akan dicap “peleter”, “fanatik”, atau “aneh” karena iman kita. Namun, seperti Paulus, kita dipanggil untuk tetap berdiri teguh dan menjadikan setiap kesempatan sebagai sarana untuk memuliakan Kristus.

Ejekan hanyalah suara sementara, tetapi Firman Tuhan adalah kebenaran yang kekal. Jika kita setia, Tuhan dapat mengubah momen yang tampak memalukan menjadi kesaksian yang menyentuh hati banyak orang. Dan siapa tahu, dari satu momen itu, ada Dionisius atau Damaris (ayat 34) yang akan percaya karena kesaksian kita.

Rabu, 20 Agustus 2025

Iman yang Tidak Bisa Dibungkam. Kisah Para Rasul 12:1-5

Oleh : Pdm. Fredrik Dandel, ST, STh, MAg, MTh.

Pendahuluan

Dalam sejarah gereja mula-mula, pertumbuhan iman sering kali berjalan seiring dengan tekanan dan penganiayaan. Ketika Injil diberitakan dengan berani, kekuatan dunia mencoba membungkamnya dengan kekerasan. Kisah Para Rasul 12 memperlihatkan salah satu titik gelap dalam sejarah pelayanan para rasul: kematian Yakobus dan penangkapan Petrus. Namun justru dari kegelapan inilah terang pengharapan bersinar, karena iman sejati tidak bisa dibungkam oleh ancaman manusia.

Peristiwa ini menunjukkan bahwa menjadi pengikut Kristus bukan berarti lepas dari penderitaan. Bahkan, dua dari murid terdekat Yesus: Yakobus dan Petrus menjadi sasaran kekuasaan politik yang jahat. Namun, kita akan melihat bagaimana Allah tetap memegang kendali dan bagaimana gereja merespons dengan doa, bukan dengan kepanikan. Kematian Yakobus bukanlah akhir dari berita Injil, tetapi bagian dari karya Allah yang lebih besar.

Melalui teks ini, kita akan belajar tiga pelajaran penting: (1) Kekuasaan dunia bisa menindas tubuh, tetapi tidak bisa membungkam Injil; (2) Kematian orang benar ada dalam kendali Allah; (3) Doa adalah kekuatan terbesar gereja dalam menghadapi ancaman. Mari kita renungkan bagian ini secara mendalam.

I. Kekuasaan Dunia Bisa Menindas Tubuh, Tapi Tidak Bisa Membungkam Injil (Ay. 1–2)

“Waktu itu raja Herodes mulai bertindak dengan keras terhadap beberapa orang dari jemaat. Ia menyuruh membunuh Yakobus, saudara Yohanes, dengan pedang.”

Herodes Agripa I adalah penguasa yang cerdik secara politik. Ia tahu bahwa untuk memenangkan hati orang Yahudi, ia harus memperlihatkan sikap anti-Kristen. Maka ia mulai menyerang jemaat, dan korbannya yang pertama adalah Rasul Yakobus. Pembunuhan Yakobus adalah bentuk penindasan terhadap gereja yang tidak hanya menyakitkan secara emosional, tetapi juga strategis secara politik. Namun tindakan ini justru menjadi bukti bahwa Injil tidak bisa dihentikan oleh kekuasaan dunia.

Yakobus, anak Zebedeus dan saudara Yohanes, adalah salah satu dari tiga murid terdekat Yesus. Ia menyaksikan kemuliaan Kristus di gunung transfigurasi dan berada di taman Getsemani bersama-Nya. Namun kini ia menjadi rasul pertama yang mati syahid. Dunia mungkin melihat ini sebagai kekalahan, tetapi bagi Allah, ini adalah pemenuhan nubuat Yesus: “Cawan-Ku akan kamu minum” (Markus 10:39). Yakobus telah menjalani panggilannya sampai akhir.

Kematian Yakobus tidak menyurutkan Injil. Justru sebaliknya, catatan sejarah menunjukkan bahwa semakin besar penindasan, semakin kuat pertumbuhan iman. Orang Kristen tidak hidup untuk mempertahankan nyawa, tetapi untuk menyelesaikan tugas dari Kristus. Inilah kekuatan Injil yang tidak bisa dibungkam oleh pedang, penjara, atau ancaman sekalipun (Roma 8:35–39).

II. Kematian Orang Benar Ada dalam Kendali Allah (Ay. 3–4)

“Ketika Herodes melihat, bahwa hal itu menyenangkan hati orang Yahudi, ia melanjutkan dengan menangkap Petrus juga... Lalu ia menyuruh menaruh Petrus dalam penjara.”

Tindakan Herodes menunjukkan motif politik yang kejam. Setelah Yakobus, ia menangkap Petrus, pemimpin utama jemaat. Niatnya jelas: menghabisi kepemimpinan gereja. Ia menyuruh empat regu prajurit menjaga Petrus, sebuah pengamanan berlebihan untuk seorang pemberita Injil yang tidak bersenjata. Tetapi kita tahu bahwa Herodes hanya bisa bertindak sejauh yang Allah izinkan. Tuhan mengizinkan Yakobus mati, tetapi Dia akan menyelamatkan Petrus, karena rencana-Nya belum selesai bagi Petrus.

Pertanyaannya: Mengapa Yakobus mati, tapi Petrus diselamatkan? Ini bukan soal favoritisme Allah, tetapi soal kedaulatan rencana-Nya. Tuhan punya waktu-Nya bagi setiap orang. Yakobus sudah menyelesaikan panggilannya; Petrus belum. Kita tidak bisa mengukur kasih Allah berdasarkan panjang umur atau keselamatan fisik. Yang pasti, kematian orang benar di tangan Tuhan adalah hal yang berharga (Mazmur 116:15).

Kita juga belajar bahwa musuh Injil bisa merencanakan banyak hal jahat, tetapi Allah tetap memegang kendali akhir. Apa yang tampak sebagai kemenangan musuh, seringkali adalah pintu masuk bagi campur tangan Allah yang luar biasa. Kita tidak perlu takut akan keputusan politik atau kekuatan militer, sebab Tuhan tetap berdaulat di atas segalanya (Amsal 21:1).

III. Doa Adalah Kekuatan Terbesar Gereja (Ay. 5)

“Demikianlah Petrus ditahan di dalam penjara. Tetapi jemaat dengan tekun mendoakannya kepada Allah.”

Respon gereja bukan dengan protes jalanan, bukan dengan kekerasan, tetapi dengan doa yang tekun. Doa adalah bentuk iman aktif yang percaya bahwa Tuhan bisa bertindak di luar batas logika dan rencana manusia. Mereka tidak pasrah, tetapi juga tidak membalas. Mereka memilih jalan rohani: berseru kepada Tuhan.

Kata “dengan tekun” menunjukkan intensitas dan kesinambungan. Jemaat tidak sekadar berdoa satu kali, melainkan terus-menerus. Ini mencerminkan bahwa doa bukanlah pelengkap, tetapi senjata utama gereja. Mungkin saat itu mereka tidak tahu bagaimana Tuhan akan menyelamatkan Petrus, tetapi mereka tahu siapa yang harus mereka panggil: Allah yang hidup.

Hasil dari doa itu akan terlihat dalam ayat-ayat berikutnya (Kis. 12:6–11), saat Allah mengutus malaikat dan melepaskan Petrus secara supranatural. Ini mengingatkan kita bahwa tidak ada rantai yang terlalu kuat bagi Tuhan, dan tidak ada pintu besi yang tidak bisa Dia buka. Tetapi sebelum kelepasan itu terjadi, doa adalah jembatannya. Inilah kekuatan gereja sejati — gereja yang berdoa, bukan yang panik.

Penutup

Kematian Yakobus dan penahanan Petrus mengajarkan kita bahwa mengikut Kristus bisa sangat mahal. Tetapi dalam setiap tantangan, Allah tetap memegang kendali. Dunia bisa mengambil tubuh kita, tapi tidak bisa memadamkan Injil. Kita dipanggil bukan untuk takut, melainkan untuk setia sampai akhir dan percaya bahwa kuasa doa lebih besar daripada kuasa manusia.

“Berbahagialah orang yang dianiaya oleh sebab kebenaran, karena mereka lah yang empunya Kerajaan Sorga.” (Matius 5:10)

Kamis, 14 Agustus 2025

“Dari Kegagalan Menjadi Berguna: Perjalanan Iman Yohanes Markus”. Kisah Para Rasul 13:5, 13 & 2 Timotius 4:11

Oleh : Pdm. Fredrik Dandel, ST, STh, MAg, MTh

Pendahuluan

Banyak orang berpikir bahwa sekali gagal dalam pelayanan, hidupnya tidak akan dipakai Tuhan lagi. Namun, Alkitab justru penuh dengan contoh orang-orang yang pernah jatuh, lalu dipulihkan, dan kemudian dipakai luar biasa. Salah satu kisah yang menguatkan kita adalah kisah Yohanes Markus. Ia memulai pelayanan dengan antusias, namun sempat mundur di tengah jalan. Meski demikian, akhir hidupnya menunjukkan bahwa Tuhan bisa memulihkan dan memakainya kembali.

Kisah Yohanes Markus tercatat dalam Kisah Para Rasul 13, di mana ia disebut sebagai pembantu Paulus dan Barnabas. Namun di ayat 13, Markus meninggalkan mereka dan kembali ke Yerusalem. Keputusan itu menimbulkan luka dalam hubungan pelayanannya dengan Paulus, bahkan menjadi alasan terjadinya perpisahan antara Paulus dan Barnabas (Kis. 15:36–39). Meski demikian, Markus tidak berhenti di situ. Tuhan membentuknya dan mengembalikannya pada jalur panggilan-Nya.

Hari ini kita akan belajar tiga hal dari perjalanan Yohanes Markus: (1) Memulai dengan kerelaan melayani, (2) Mengalami kegagalan di tengah jalan, dan (3) Dipulihkan untuk menjadi berguna. Semua ini mengajarkan bahwa masa lalu kita tidak harus menentukan masa depan pelayanan kita.

1. Memulai dengan Kerelaan Melayani

Kisah 13:5 – “Mereka mempunyai Yohanes sebagai pembantu mereka.”

Yohanes Markus adalah contoh anak muda yang dibesarkan dalam keluarga yang takut akan Tuhan. Ibunya, Maria, membuka rumahnya untuk pertemuan jemaat (Kis. 12:12). Dari kecil Markus sudah melihat iman yang hidup, dan itu membentuk hatinya untuk melayani. Ketika Paulus dan Barnabas berangkat dari Antiokhia, Markus siap ikut sebagai “pembantu” mereka. Kata “pembantu” di sini tidak merendahkan, justru menunjukkan kerelaan hati untuk melayani dalam hal apa pun yang dibutuhkan.

Sering kali kita berpikir melayani berarti langsung berada di depan, tetapi Markus mengajarkan bahwa pelayanan sejati dimulai dari kesediaan mengerjakan hal-hal sederhana. Yesus sendiri berkata, “Barangsiapa mau menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu” (Mat. 20:26). Markus tidak menuntut posisi, ia hanya mau ikut terlibat dan membantu pekerjaan Tuhan.

Pelajaran bagi kita: Kerelaan adalah pintu awal untuk dipakai Tuhan. Tuhan mencari hati yang mau berkata, “Ini aku, utuslah aku” (Yes. 6:8), bahkan jika tugas yang diberikan sederhana. Sebelum Tuhan mempercayakan hal-hal besar, Dia ingin melihat kesetiaan kita dalam hal-hal kecil (Luk. 16:10).

2. Mengalami Kegagalan di Tengah Jalan

Kisah 13:13 – “Yohanes meninggalkan mereka dan kembali ke Yerusalem.”

Sayangnya, perjalanan pelayanan Markus tidak berjalan mulus. Dalam Kisah 13:13, ia meninggalkan Paulus dan Barnabas di Perga, lalu pulang ke Yerusalem. Alkitab tidak menjelaskan alasannya secara pasti, tetapi kemungkinan faktor kelelahan, rasa takut, atau kaget melihat beratnya pelayanan di ladang misi. Apapun alasannya, Paulus menganggap itu sebagai bentuk ketidaksetiaan (Kis. 15:38).

Kegagalan ini berdampak besar. Ketika Paulus hendak melakukan perjalanan misi kedua, Barnabas ingin membawa Markus lagi, tetapi Paulus menolak keras. Perbedaan pandangan ini membuat mereka berpisah pelayanan. Ini adalah momen kelam bagi Markus. Ia harus menerima bahwa seorang rasul besar tidak lagi percaya kepadanya.

Pelajaran bagi kita: kegagalan dalam pelayanan bisa melukai, bahkan memutuskan hubungan dengan orang yang kita hormati. Namun kegagalan bukanlah akhir cerita. Tuhan bisa memakai kegagalan sebagai proses pendewasaan, supaya karakter kita ditempa dan iman kita dimurnikan.

3. Dipulihkan untuk Menjadi Berguna

2 Timotius 4:11 – “Ambillah Markus dan bawalah ia ke mari, karena pelayanannya berguna bagiku.”

Waktu berlalu, dan Markus tetap melayani. Ia tidak menyerah meskipun pernah gagal. Ia setia bersama Barnabas, kemudian melayani bersama Petrus, yang menyebutnya “anakku” (1 Ptr. 5:13). Kedekatan ini membentuk Markus menjadi pelayan Tuhan yang matang. Dari kesaksian Petrus inilah Markus menulis Injil Markus, yang menonjolkan Yesus sebagai Hamba yang setia.

Pemulihan hubungan dengan Paulus terjadi di akhir hidup Paulus. Dalam 2 Timotius 4:11, Paulus justru meminta Markus datang karena “pelayanannya berguna bagiku.” Ini adalah titik balik luar biasa,  orang yang dulu dianggap tidak layak, kini diakui berguna oleh rasul besar. Inilah bukti bahwa Tuhan mampu memulihkan reputasi, hubungan, dan panggilan seseorang.

Pelajaran bagi kita: Tidak ada kegagalan yang terlalu besar untuk ditebus oleh kasih karunia Allah. Yang penting adalah kita mau belajar, bertumbuh, dan tetap setia. Allah tidak melihat masa lalu kita sebagai penentu, tetapi hati kita hari ini sebagai penentu masa depan kita.

Penutup

Kisah Yohanes Markus mengajarkan bahwa perjalanan iman sering kali berliku: kita bisa memulai dengan baik, lalu jatuh, tetapi oleh kasih karunia Tuhan kita bisa dipulihkan. Markus pernah gagal, pernah diragukan, tetapi akhirnya menjadi penulis Injil dan pelayan yang berguna. Tuhan tidak mencari orang yang sempurna, tetapi orang yang mau dibentuk dan setia sampai akhir.

Kalau hari ini kita merasa pernah mengecewakan Tuhan atau gagal di dalam pelayanan, ingatlah kisah Markus. Jangan berhenti hanya karena pernah jatuh. Bangkitlah, izinkan Tuhan membentuk kita, dan teruslah melayani. Siapa tahu, suatu hari nanti, orang yang pernah meragukan kita justru akan berkata, “Pelayananmu berguna bagiku.”

Selasa, 12 Agustus 2025

Allah Orang Hidup : Jawaban Yesus Atas Penolakan Kebangkitan. Matius 22:23-33

Oleh : Pdm. Fredrik Dandel, ST, STh, MAg, MTh

Pendahuluan

Pada masa pelayanan Yesus, Ia sering berhadapan dengan berbagai kelompok keagamaan Yahudi yang memiliki pemahaman teologis yang berbeda-beda. Salah satunya adalah kelompok Saduki, sebuah kelompok elit, aristokrat, yang memegang kekuasaan di Bait Allah dan Sanhedrin. Kelompok ini terkenal karena menolak ajaran tentang kebangkitan, malaikat, dan kehidupan setelah kematian. Mereka lebih menekankan hukum Musa dan realitas kehidupan dunia ini.

Dalam Matius 22:23–33, kita menemukan orang-orang Saduki datang kepada Yesus, bukan dengan maksud mencari kebenaran, tetapi untuk menjebak dan mempermalukan-Nya. Mereka mengajukan pertanyaan tentang seorang perempuan yang menikah tujuh kali, dan bertanya siapa yang akan menjadi suaminya pada hari kebangkitan. Ini bukan pertanyaan tulus, melainkan sindiran yang ingin menunjukkan kebodohan doktrin kebangkitan.

Namun Yesus menjawab dengan hikmat yang ilahi dan membawa kita pada satu pengertian yang dalam: Allah adalah Allah orang hidup, bukan orang mati. Melalui jawaban-Nya, Yesus membungkam orang Saduki, mengungkap kesalahan mereka dalam menafsirkan Kitab Suci, dan menegaskan bahwa kebangkitan adalah realitas yang dijanjikan oleh Allah.

I. Orang Saduki Menolak Kebangkitan Karena Ketidaktahuan Akan Kitab Suci (ayat 23–28)

Orang Saduki datang dengan maksud untuk menjebak Yesus. Mereka mengajukan kasus hipotesis tentang seorang perempuan yang menikahi tujuh bersaudara secara berurutan, sesuai hukum levirat dari Ulangan 25:5–10. Maksud mereka adalah untuk memperolok doktrin kebangkitan yang diyakini oleh orang Farisi dan oleh Yesus. Dengan membesar-besarkan situasi ini, mereka ingin menunjukkan bahwa kebangkitan membuat hubungan pernikahan menjadi membingungkan dan tidak masuk akal.

Namun yang sebenarnya mereka tunjukkan adalah ketidaktahuan akan maksud rohani dari Kitab Suci. Mereka memperlakukan kebangkitan seperti kehidupan dunia ini, seolah-olah tatanan duniawi seperti pernikahan akan tetap berlaku di dunia yang akan datang. Ini mencerminkan pemahaman yang dangkal dan legalistik, bukan iman yang hidup akan kuasa Allah.

Banyak orang zaman sekarang juga seperti orang Saduki: mereka menolak hal-hal rohani atau supranatural karena tidak bisa dinalar secara logika manusia. Mereka lupa bahwa Firman Allah tidak hanya bicara tentang hukum, tetapi juga tentang kuasa-Nya yang kekal dan rencana-Nya yang melampaui kehidupan ini.

Bandingan: 1 Korintus 2:14 – “Tetapi manusia duniawi tidak menerima apa yang berasal dari Roh Allah…”

II. Kebangkitan Itu Nyata dan Tidak Sama Dengan Hidup Dunia Ini (ayat 29–30)

Yesus menegur mereka dengan tegas: "Kamu sesat, sebab kamu tidak mengerti Kitab Suci maupun kuasa Allah." Kata “sesat” di sini menunjukkan bahwa kesalahan mereka bukan hanya intelektual, tetapi rohani dan moral. Mereka tidak tahu isi Kitab Suci secara utuh, dan tidak percaya akan kuasa Allah yang mampu membangkitkan orang mati dan mengubah keadaan hidup.

Yesus kemudian menjelaskan bahwa dalam kebangkitan, orang tidak kawin atau dikawinkan, melainkan hidup seperti malaikat di surga. Ini bukan berarti kita menjadi malaikat, melainkan bahwa keadaan hidup di surga berbeda dengan di bumi. Hubungan seperti pernikahan tidak berlaku di sana karena kehidupan kekal adalah relasi yang sempurna dengan Allah.

Jawaban ini mengajarkan kita untuk tidak membawa pemahaman duniawi ke dalam hal-hal surgawi. Kebangkitan bukanlah kelanjutan dari hidup dunia dengan segala formatnya, melainkan transformasi hidup yang baru. Kita dipanggil untuk percaya, bukan mengandalkan logika semata.

Bandingan: Filipi 3:21 – “...yang akan mengubah tubuh kita yang hina ini, sehingga serupa dengan tubuh-Nya yang mulia...”

III. Allah Adalah Allah Orang Hidup (ayat 31–33)

Yesus lalu membawa mereka kembali kepada Taurat Musa, kitab yang mereka akui. Ia mengutip Keluaran 3:6, di mana Allah menyatakan diri sebagai: “Aku Allah Abraham, Allah Ishak, dan Allah Yakub.” Yesus menekankan bahwa Allah tidak mengatakan “Aku pernah menjadi Allah mereka,” tetapi “Aku adalah Allah mereka.” Artinya, Abraham, Ishak, dan Yakub masih hidup di hadapan Allah, meskipun secara jasmani mereka telah mati.

Inilah dasar pengharapan akan kebangkitan: Allah adalah Allah yang hidup, dan umat-Nya hidup di dalam Dia. Jika Allah adalah Allah orang hidup, maka semua orang percaya akan dibangkitkan dan menikmati hidup kekal bersama-Nya. Jawaban ini begitu kuat sehingga orang banyak pun takjub mendengar-Nya.

Kita pun harus hidup dengan pengharapan akan kebangkitan. Iman kepada Allah yang hidup mengubah cara kita menghadapi penderitaan, kematian, dan pengharapan akan masa depan. Kita tidak percaya kepada Allah yang mati, tetapi kepada Allah yang berkuasa memberi hidup yang kekal.

Bandingan: Yohanes 11:25 – “Akulah kebangkitan dan hidup; barangsiapa percaya kepada-Ku, ia akan hidup walaupun ia sudah mati.”

Penutup

Kisah ini bukan sekadar debat antara Yesus dan orang Saduki, tetapi pengajaran penting bagi kita semua tentang realitas kebangkitan dan kuasa Allah. Kita dipanggil untuk memahami Kitab Suci bukan hanya dengan akal, tetapi juga dengan iman yang percaya bahwa Allah sanggup melakukan perkara besar melebihi apa yang bisa kita bayangkan.

Yesus menegaskan bahwa kebangkitan itu nyata, dan dalam hidup yang akan datang, Allah menyatakan kemuliaan-Nya dengan cara yang tidak bisa dibandingkan dengan kehidupan dunia ini. Kita harus mempercayai janji ini dan mempersiapkan diri untuk kehidupan kekal yang dijanjikan kepada semua yang percaya kepada Kristus.

Kiranya kita tidak seperti orang Saduki yang sesat karena tidak mengenal Firman dan kuasa Allah. Sebaliknya, marilah kita hidup dalam pengharapan akan kebangkitan dan memuliakan Allah dengan hidup yang kudus dan beriman teguh kepada-Nya.

Kamis, 07 Agustus 2025

Waspadalah terhadap Tobia: Musuh dari Dalam yang Membungkus Diri sebagai Sahabat Teks Utama: Nehemia 2:10–6:19

Oleh : Pdm. Fredrik Dandel, ST, STh, MAg, MTh

Pendahuluan

Dalam setiap karya besar yang berasal dari kehendak Tuhan, selalu ada perlawanan. Tidak jarang, musuh-musuh tersebut bukan hanya datang dari luar, melainkan juga dari dalam, melalui orang-orang yang tampak dekat, memiliki relasi personal, bahkan terlibat dalam kegiatan keagamaan. Kitab Nehemia adalah salah satu catatan Alkitab yang memperlihatkan dengan jelas dinamika ini. Di tengah semangat pembangunan kembali tembok Yerusalem yang hancur, muncullah tokoh Tobia sebagai simbol dari musuh tersembunyi yang berusaha merusak pekerjaan Allah, bukan dengan senjata, tetapi dengan pengaruh, ejekan, dan tipu daya.

Tobia bukanlah seorang penyembah berhala yang terang-terangan menantang Allah seperti Firaun atau Goliat. Ia beroperasi secara halus, menyusup ke dalam komunitas umat Tuhan melalui hubungan keluarga, pengaruh sosial, dan relasi politik. Di mata manusia, ia tampak memiliki kedekatan dan kepedulian, tetapi di balik itu, ia menentang pemulihan Yerusalem dan berniat meruntuhkan semangat umat. Ini menjadi gambaran yang sangat relevan bagi gereja dan orang percaya di masa kini, di mana sering kali tantangan terberat bukan dari luar, melainkan dari dalam tubuh Kristus sendiri.

Kisah tentang Tobia mengajarkan kita untuk waspada dan peka terhadap segala bentuk pengaruh yang dapat menghentikan atau merusak pekerjaan Allah dalam hidup kita. Melalui khotbah ini, kita akan menelusuri siapa sebenarnya Tobia, bagaimana ia bekerja, dan pelajaran apa yang dapat kita tarik agar tetap setia dan teguh dalam menjalankan panggilan Tuhan. Sebab seperti Nehemia, kita dipanggil bukan hanya untuk membangun, tetapi juga untuk menjaga kemurnian dan keteguhan iman dalam menghadapi segala tipu muslihat musuh.

I. Tobia: Musuh yang Tersembunyi di Balik Relasi Sosial dan Kekerabatan. Nehemia 6:17–19; Nehemia 2:10

Tobia bukan hanya seorang lawan biasa. Ia adalah bagian dari jaringan sosial orang Yahudi melalui relasi pernikahan dan kekerabatan. Banyak orang Yehuda memiliki hubungan dengannya, bahkan imam besar Eliesyib memiliki menantu yang terhubung langsung dengan Tobia. Hal ini menjadikan Tobia sebagai musuh yang sulit dideteksi secara kasat mata, sebab ia masuk melalui hubungan kekeluargaan dan sosial.

Keberadaan Tobia dalam lingkaran orang Yehuda menunjukkan bahwa tidak semua yang dekat secara sosial benar-benar berpihak kepada kehendak Tuhan. Ini menjadi peringatan bahwa relasi pribadi tidak selalu menjamin kesatuan visi rohani. Dalam 2 Korintus 6:14, Paulus mengingatkan, "Janganlah kamu menjadi pasangan yang tidak seimbang dengan orang-orang yang tak percaya." Ini bukan hanya tentang pernikahan, tapi juga dalam persekutuan pelayanan dan kerja sama rohani.

Kita harus belajar membedakan antara kasih kepada sesama dan kompromi terhadap prinsip kebenaran. Jika kita tidak berhati-hati, seperti orang Yehuda waktu itu, kita bisa tertipu oleh seseorang yang tampak baik namun berpotensi menjadi alat penghancur dari dalam. Tobia mengajarkan bahwa iblis bisa menyusup lewat orang-orang yang memiliki akses pribadi kepada kita.

II. Tobia: Penghinaan dan Ejekan untuk Melemahkan Misi Allah. Nehemia 4:1–3; Mazmur 123:3–4

Tobia menggunakan strategi psikologis: ejekan dan penghinaan. Saat pembangunan tembok mulai berjalan, Tobia bersama Sanbalat menghina pekerjaan tersebut. Ia berkata, “Sekalipun seekor rubah naik ke atasnya, tembok batu mereka akan roboh” (Nehemia 4:3). Ejekan ini dimaksudkan untuk menjatuhkan semangat para pekerja dan meragukan misi yang mereka emban.

Strategi seperti ini masih sering terjadi dalam kehidupan pelayanan masa kini. Musuh sering kali tidak menyerang secara fisik lebih dulu, tetapi melalui kata-kata yang menjatuhkan, membuat kita ragu terhadap kemampuan diri dan panggilan Allah. Mazmur 123:3–4 menggambarkan doa orang yang dilecehkan, namun tetap berharap pada Tuhan. Kita diajar untuk tidak membalas ejekan dengan amarah, melainkan dengan penyerahan diri kepada Tuhan yang benar.

Nehemia tidak terpancing oleh ejekan itu. Ia berdoa dan terus bekerja (Nehemia 4:4–6). Ini menjadi teladan bagi kita: jangan biarkan suara-suara negatif memadamkan semangat kita dalam mengerjakan panggilan Tuhan. Ketika kita tetap fokus dan bersandar kepada Tuhan, ejekan musuh akan menjadi sia-sia.

III. Tobia: Konspirasi Jahat di Balik Surat dan Nabi Palsu. Nehemia 6:1–14

Tobia tak berhenti pada ejekan; ia terlibat dalam konspirasi serius. Ia bersama Sanbalat berupaya menjebak Nehemia dengan mengundangnya ke pertemuan palsu di Lembah Ono, yang sebenarnya adalah perangkap. Ketika gagal, mereka menyewa nabi palsu bernama Semaya untuk menakut-nakuti Nehemia agar ia bersembunyi di Bait Allah, sehingga bisa dituduh penakut dan tidak layak memimpin.

Musuh akan berusaha mengacaukan kita bukan hanya dengan serangan langsung, tapi juga melalui tipuan rohani. Tobia memanfaatkan seorang nabi yang tampak sah, namun sebenarnya dibayar untuk menyesatkan. Ini mengingatkan kita pada Matius 7:15, "Waspadalah terhadap nabi-nabi palsu yang datang kepadamu dengan menyamar seperti domba, tetapi sesungguhnya mereka adalah serigala yang buas."

Nehemia tidak tertipu. Ia peka terhadap suara Tuhan dan menolak untuk tunduk pada rasa takut. Ia berkata, “Orang seperti aku tidak akan lari!” (Nehemia 6:11). Kita harus melatih kepekaan rohani untuk membedakan mana suara dari Tuhan dan mana dari manusia. Dalam dunia pelayanan, integritas dan keberanian seperti Nehemia sangat dibutuhkan.

IV. Tobia: Simbol dari Musuh Rohani yang Menyusup ke Dalam Bait Allah. Nehemia 13:4–9

Setelah tembok selesai dan Nehemia sempat kembali ke Persia, Tobia justru diberi ruang di bait Allah oleh imam besar Eliesyib. Ia diberi kamar dalam pelataran rumah Allah, tempat yang seharusnya digunakan untuk perlengkapan ibadah. Ini adalah bentuk pencemaran rumah Tuhan yang sangat serius.

Ketika Nehemia kembali dan melihat hal itu, ia sangat marah. Ia mengusir Tobia dan barang-barangnya keluar dari kamar tersebut, lalu mentahirkan kembali tempat itu (Nehemia 13:8–9). Tindakan tegas ini menunjukkan bahwa rumah Tuhan tidak boleh dikotori oleh kompromi atau kehadiran orang fasik, betapapun kuatnya hubungan pribadi yang ada.

Secara simbolis, Tobia bisa melambangkan pikiran, sikap, atau pengaruh duniawi yang kita izinkan masuk ke dalam hidup rohani kita. 1 Korintus 3:16–17 menyebutkan bahwa kita adalah bait Allah dan Roh Allah diam dalam kita. Maka, kita harus menjaga kekudusan hidup kita dan menolak setiap bentuk kompromi yang mencemari panggilan ilahi.

Penutup: Waspadalah terhadap Tobia di Sekitarmu

Kisah Tobia bukan sekadar sejarah kuno, melainkan peringatan nyata tentang keberadaan musuh yang membungkus dirinya dalam rupa sahabat, pemimpin, bahkan figur religius. Kita dipanggil untuk memiliki hati seperti Nehemia, tegas, berdoa, tidak takut, dan setia menjaga integritas pelayanan.

Efesus 6:12: “Karena perjuangan kita bukanlah melawan darah dan daging, tetapi melawan pemerintah-pemerintah... roh-roh jahat di udara.”

Mari kita terus berjaga, mengenakan perlengkapan senjata Allah, dan menolak setiap pengaruh Tobia yang mencoba merusak pekerjaan Allah dalam hidup dan pelayanan kita.

Rabu, 06 Agustus 2025

SETRIKE

Oleh : Fredrik Dandel (Pemerhati Budaya Siau)


Setrike, atau dalam Bahasa Indonesia disebut setrika, adalah salah satu alat rumah tangga yang sangat umum digunakan hingga saat ini. Kehadirannya begitu penting dalam kehidupan sehari-hari, karena membantu kita merapikan pakaian yang kusut agar tampak rapi dan nyaman dipakai. Di era modern ini, kebanyakan orang sudah terbiasa menggunakan setrika listrik. Cukup mencolokkan kabel ke sumber listrik, menunggu beberapa menit, lalu alat ini siap digunakan untuk menyetrika pakaian dengan mudah dan cepat. Setrika listrik telah menjadi solusi praktis untuk aktivitas harian, baik saat bersiap ke sekolah, pergi ke kantor, menghadiri ibadah di gereja, maupun dalam berbagai kegiatan lainnya yang menuntut penampilan rapi dan bersih.

Namun, pernahkah Anda membayangkan bagaimana orang-orang menyetrika pakaian sebelum adanya teknologi setrika listrik? Sebelum tahun 1990-an, terutama di banyak wilayah pedesaan, termasuk di wilayah Kecamatan Siau Barat Selatan, atupun Pulau Siau pada umumnya masih mengandalkan setrika arang sebagai alat utama untuk merapikan pakaian. Setrika arang tidak hanya berbeda dari segi bentuk dan berat, tetapi juga dari segi proses penggunaannya yang jauh lebih rumit dan memerlukan waktu serta tenaga ekstra. Ini adalah bagian dari sejarah kehidupan rumah tangga yang kini mulai terlupakan, padahal memiliki cerita dan nilai tersendiri.

Proses menggunakan setrika arang dimulai dengan menyiapkan bahan bakar berupa tempurung kelapa atau potongan kayu yang dibakar hingga menjadi bara. Setelah bara menyala sempurna, barulah arang tersebut dimasukkan ke dalam ruang pembakaran di dalam setrika. Panas dari bara inilah yang kemudian menghantarkan suhu ke permukaan logam bagian bawah setrika, sehingga pakaian dapat disetrika. Butuh waktu sekitar 30 menit sejak proses pembakaran hingga setrika benar-benar siap digunakan. Tidak hanya itu, selama proses menyetrika, pengguna harus memantau bara arang secara berkala. Bila nyala bara mulai meredup, arang baru bisa ditambahkan, lalu ditiup perlahan agar bara kembali menyala dan panas kembali stabil.

Salah satu ciri khas dari setrika arang ini adalah adanya ornamen atau pegangan berbentuk ayam di bagian atas atau ujung setrika. Ayam ini bukan hanya sekadar hiasan, tetapi memiliki fungsi praktis sebagai tuas pembuka dan penutup setrika. Tuas ini digunakan saat kita ingin memasukkan arang ke dalam setrika atau mengeluarkannya kembali setelah pekerjaan menyetrika selesai. Bentuk dan desain setrika arang memang mencerminkan kreativitas lokal pada masanya, dengan sentuhan artistik yang membuat setiap unitnya memiliki keunikan tersendiri. Meski terlihat sederhana dan tradisional, cara kerja serta efektivitasnya cukup luar biasa pada zamannya.

Kini, setrika arang mungkin sudah tidak ditemukan dan digunakan, tergeser oleh kepraktisan setrika listrik bahkan setrika uap modern. Namun demikian, alat ini menyimpan nilai sejarah dan budaya yang tinggi, menjadi saksi bisu dari perjuangan dan ketekunan generasi terdahulu dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Mengenang setrika arang bukan sekadar nostalgia, tetapi juga bentuk apresiasi terhadap cara hidup masa lalu yang penuh dengan kesederhanaan, kerja keras, dan kreativitas. Dalam dunia yang serba cepat dan instan seperti sekarang, mengenang alat seperti setrika arang bisa menjadi pengingat bahwa segala kemudahan hari ini berdiri di atas proses panjang yang telah dilalui oleh generasi sebelumnya.

Senin, 04 Agustus 2025

Hidup Kudus sebagai Tanggapan atas Anugerah. 1 Petrus 1:13–16

Oleh : Pdm. Fredrik Dandel, ST, STh, MAg, MTh

Pendahuluan

Hidup dalam dunia yang tidak bersahabat dengan iman seringkali menimbulkan kelelahan rohani. Orang-orang percaya pada zaman Rasul Petrus sedang mengalami penganiayaan dan tekanan dari lingkungan sekitar mereka. Sebagai pendatang dan perantau di tengah dunia yang gelap, mereka bergumul untuk tetap setia. Dalam situasi seperti ini, mudah bagi seseorang untuk menyerah, kehilangan arah, atau bahkan tergoda kembali kepada kehidupan lama yang lebih nyaman secara lahiriah. Surat 1 Petrus ditulis untuk menguatkan mereka agar tetap berdiri teguh dalam kasih karunia Tuhan.

Dalam bagian sebelumnya (ayat 1–12), Petrus mengingatkan bahwa mereka telah menerima keselamatan yang besar dan mulia, sesuatu yang bahkan para nabi dan malaikat ingin menyelidiki. Keselamatan itu bukan hanya janji masa depan, tetapi juga kekuatan untuk menjalani hidup saat ini. Maka, bagian yang kita renungkan hari ini (ayat 13–16) adalah ajakan untuk merespons anugerah keselamatan itu dengan cara hidup yang sesuai: hidup dalam kekudusan. Kekudusan bukanlah tuntutan yang dingin, tetapi panggilan yang lahir dari relasi kasih dengan Allah yang telah memilih dan menebus kita.

Seruan untuk hidup kudus dalam teks ini sangat relevan bagi orang percaya masa kini. Kita pun hidup di tengah dunia yang tidak sejalan dengan nilai-nilai Kristus. Godaan untuk bersikap kompromi, untuk menyerah kepada keinginan daging, atau untuk mencampuradukkan kekristenan dengan standar dunia, terus menerus mengintai. Tetapi melalui firman ini, Tuhan memanggil kita untuk menyiapkan akal budi, hidup waspada, dan mengarahkan pengharapan kita kepada kasih karunia-Nya. Hidup kudus bukan hanya mungkin, tetapi mutlak perlu sebagai tanda bahwa kita adalah anak-anak Allah.

I. Siapkan Akal Budimu dan Arahkan Harapanmu (ayat 13)

Petrus berkata, “Karena itu, siapkanlah akal budimu, waspadalah dan letakkanlah pengharapanmu seluruhnya atas kasih karunia yang dianugerahkan kepadamu pada waktu Yesus Kristus menyatakan diri-Nya.” Seruan ini mengandung tiga langkah rohani: (1) menyiapkan akal budi; (2) hidup waspada; dan (3) mengarahkan pengharapan kepada Kristus. Pikiran yang siap artinya berpikir jernih dan fokus secara rohani, tidak hanyut oleh pengaruh dunia atau ketakutan akan penderitaan.

Sikap waspada yang dimaksud Petrus adalah kesadaran terus-menerus bahwa kita hidup dalam masa penantian. Dunia ini bukan rumah kita yang kekal; kita sedang menantikan kedatangan Kristus. Itulah sebabnya kita harus hidup dengan kesadaran rohani penuh, tidak tidur secara rohani (bandingkan dengan 1 Tesalonika 5:6–8).

Dan dasar dari semua itu adalah kasih karunia, bukan usaha manusia. Petrus menegaskan bahwa pengharapan kita harus "seluruhnya" tertuju pada anugerah Kristus, bukan sebagian. Seorang Kristen sejati tidak hanya berharap pada Tuhan untuk masa kekekalan, tetapi juga menjadikan pengharapan itu kekuatan untuk hidup benar setiap hari.

II. Hiduplah Sebagai Anak-anak yang Taat (ayat 14)

Ayat 14 berkata, "Hiduplah sebagai anak-anak yang taat dan jangan turuti hawa nafsu yang menguasai kamu pada waktu kebodohanmu." Identitas sebagai anak Tuhan seharusnya tercermin dalam gaya hidup yang baru. Kita tidak lagi diperintah oleh nafsu seperti dahulu, ketika kita belum mengenal Allah. Ada perubahan nyata yang harus tampak dalam cara kita berpikir, berbicara, dan bertindak.

Ketaatan bukan sekadar menghindari dosa besar, tetapi juga mencerminkan relasi yang benar dengan Tuhan. Anak yang taat mengerti kehendak Bapa dan melakukannya bukan karena takut dihukum, melainkan karena kasih. Bandingkan dengan Yohanes 14:15, “Jikalau kamu mengasihi Aku, kamu akan menuruti segala perintah-Ku.”

Perubahan hidup ini adalah hasil dari kelahiran baru, bukan usaha moral semata. Kita tidak lagi hidup dalam kebodohan, yaitu hidup tanpa pengenalan akan Allah. Sekarang, sebagai anak-anak terang (Efesus 5:8), kita hidup berbeda, bukan mengikuti arus dunia, melainkan taat kepada Kristus.

III. Jadilah Kudus dalam Segala Hal (ayat 15–16)

Petrus menegaskan, “Tetapi hendaklah kamu menjadi kudus di dalam seluruh hidupmu sama seperti Dia yang kudus, yang telah memanggil kamu.” Kekudusan bukan hanya untuk hari Minggu atau kegiatan gereja. Kekudusan harus meresap dalam seluruh hidup: pekerjaan, keluarga, pikiran, dan tindakan sehari-hari. Ini adalah panggilan yang radikal—untuk menjadi seperti Allah dalam karakter dan tujuan hidup.

Ayat 16 mengutip Imamat 11:44-45: “Kuduslah kamu, sebab Aku kudus.” Ini menunjukkan bahwa kekudusan bukanlah ide baru, tetapi sudah menjadi standar Allah sejak Perjanjian Lama. Kekudusan adalah tanda hubungan yang hidup dengan Tuhan. Kita dipanggil untuk menjadi berbeda dari dunia, bukan agar merasa lebih baik, tetapi agar memuliakan Tuhan yang kudus.

Hidup kudus bukan hidup sempurna tanpa salah, tetapi hidup yang terpisah dari dosa dan terus dibentuk oleh Roh Kudus. 2 Korintus 7:1 berkata, “Karena kita memiliki janji-janji itu... marilah kita menyucikan diri kita dari semua pencemaran tubuh dan roh, dan dengan demikian menyempurnakan kekudusan kita dalam takut akan Allah.” Kekudusan bukan pilihan, tetapi perintah yang menunjukkan bahwa kita adalah milik Allah.

Penutup

Hidup dalam kekudusan bukanlah beban, melainkan kehormatan. Kita dipanggil bukan hanya untuk menerima keselamatan, tetapi untuk mencerminkan kekudusan Allah dalam hidup sehari-hari. Dalam dunia yang penuh kompromi, Allah memanggil umat-Nya untuk hidup berbeda, siap secara rohani, taat, dan kudus. Kiranya setiap kita menyambut panggilan ini dengan sukacita dan tekad, sambil menantikan kedatangan Kristus dalam kemuliaan.

Kamis, 31 Juli 2025

Rela Tinggal di Yerusalem – Komitmen di Tempat yang Tidak Nyaman. Nehemia 11:1–2

Oleh : Pdm. Fredrik Dandel, ST, STh, MAg, MTh

Pendahuluan

Setelah tembok Yerusalem selesai dibangun, ternyata pekerjaan pemulihan belum selesai. Kota itu masih sepi, dan hanya sedikit orang yang mau tinggal di sana. Maka Nehemia dan para pemimpin menggunakan sistem undian untuk menentukan siapa yang harus tinggal di Yerusalem. Tidak semua orang dipaksa. Sebagian ada yang dipilih, sebagian lagi datang dengan sukarela.

Yerusalem adalah kota yang disebut “kota kudus,” tetapi pada saat itu, kondisi fisiknya belum ideal. Banyak reruntuhan, situasi keamanan belum stabil, dan kebutuhan hidup masih sulit. Wajar jika kebanyakan orang lebih memilih tinggal di kampung halaman mereka sendiri yang sudah tertata. Namun, Allah memanggil sebagian umat-Nya untuk kembali membangun pusat ibadah dan kehidupan umat.

Kisah ini mengandung pelajaran rohani penting bagi kita hari ini. Kadang Tuhan juga menempatkan kita di tempat atau situasi yang tidak ideal. Tapi justru di sanalah kita dipanggil untuk menunjukkan iman, ketaatan, dan komitmen kita kepada Tuhan.

1. Yerusalem: Kota Kudus yang Butuh Keberanian untuk Ditinggali

“...untuk membawa satu dari sepuluh orang untuk tinggal di Yerusalem, kota kudus itu...” (Nehemia 11:1)

Yerusalem disebut sebagai "kota kudus", bukan karena kondisinya sempurna, tetapi karena peran pentingnya dalam rencana Allah. Kota ini adalah pusat ibadah, tempat Bait Allah berdiri. Meski demikian, setelah masa pembuangan, kota ini masih perlu banyak pembenahan. Tinggal di Yerusalem berarti siap menghadapi kesulitan, bekerja keras, dan hidup dalam ketidakpastian.

Orang-orang yang tinggal di sana harus rela meninggalkan zona nyaman mereka. Bayangkan saja, mereka harus memulai dari awal: membangun rumah, membentuk komunitas baru, dan menata kehidupan dalam kota yang pernah runtuh. Tapi justru itulah tempat di mana Tuhan ingin kembali memulihkan umat-Nya secara rohani dan sosial. Tuhan mencari orang yang bersedia menjadi bagian dari pemulihan itu.

Hal ini mengingatkan kita pada Ibrani 13:14 – “Sebab di sini kita tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap; kita mencari kota yang akan datang.” Hidup kita di dunia ini juga tidak selalu nyaman. Tapi ketika Tuhan memanggil kita ke “Yerusalem” – ke tempat pelayanan, tanggung jawab, atau komunitas yang membutuhkan – apakah kita siap?

2. Undian: Cara Allah Menata Umat-Nya Secara Adil

“Tetapi orang-orang lain mengundi untuk membawa satu dari sepuluh orang untuk tinggal di Yerusalem...” (Nehemia 11:1)

Pengundian bukan hal asing dalam Alkitab. Dalam Perjanjian Lama, mengundi sering digunakan untuk mengetahui kehendak Tuhan dalam pembagian tanah (Yosua 18:10) atau penentuan imam besar (Imamat 16:8). Bahkan dalam Kisah Para Rasul 1:26, murid-murid Yesus mengundi untuk memilih pengganti Yudas. Ini menunjukkan bahwa pengundian bisa menjadi cara rohani untuk mengambil keputusan dengan adil.

Dalam konteks Nehemia, pengundian menunjukkan bahwa semua orang bertanggung jawab secara kolektif untuk memulihkan kota Tuhan. Tidak hanya para pemimpin, tetapi seluruh umat harus ambil bagian. Tidak ada yang kebal atau bebas dari tanggung jawab rohani, bahkan jika itu terasa berat. Undian menjadi simbol keadilan, keterlibatan bersama, dan kedaulatan Tuhan dalam memilih siapa yang harus melayani di mana.

Ini sejalan dengan 1 Korintus 12:18 – “Tetapi Allah telah memberikan kepada anggota, masing-masing secara khusus, suatu tempat pada tubuh, seperti yang dikehendaki-Nya.” Dalam tubuh Kristus, setiap kita punya tempat dan tanggung jawab. Kadang kita tidak memilih tempat itu, tapi Tuhan yang menaruh kita di sana. Yang penting adalah kesediaan kita untuk taat.

3. Dihormati Karena Rela Berkorban demi Kota Allah

“Orang-orang memuji semua orang yang rela untuk tinggal di Yerusalem.” (Nehemia 11:2)

Meskipun ada yang dipilih lewat undian, ada juga orang-orang yang dengan sukarela memilih tinggal di Yerusalem. Mereka tidak menunggu dipilih. Mereka tahu ini berat, tapi mereka memilih untuk melayani Tuhan di tengah tantangan. Mereka adalah teladan bagi umat, karena tidak semua orang mau mengorbankan kenyamanan demi kebaikan bersama.

Alkitab mencatat bahwa orang-orang ini dipuji, bukan karena mereka hebat secara duniawi, tapi karena kerelaan hati mereka untuk taat dan melayani. Mereka tidak mencari pujian, tapi justru mendapatkan hormat dari umat karena kesediaan mereka. Ini menunjukkan bahwa dalam kerajaan Allah, kerelaan dan pengorbanan lebih berharga daripada status atau posisi.

Rasul Paulus berkata dalam Roma 12:1 – “Karena itu, saudara-saudara, demi kemurahan Allah aku menasihatkan kamu, supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup...” Pelayanan sejati bukan soal siapa yang paling mampu, tetapi siapa yang paling rela. Tuhan menghargai kerelaan hati lebih dari sekadar kemampuan teknis.

Penutup: Menjadi Orang yang Rela Dipakai Tuhan

Tinggal di Yerusalem bukan sekadar soal tempat tinggal, tapi soal komitmen. Tuhan memanggil sebagian umat untuk meninggalkan kenyamanan, membangun kota yang runtuh, dan menjadi bagian dari karya pemulihan-Nya. Sebagian harus diundi, sebagian datang dengan rela. Tapi semuanya dipanggil untuk taat.

Hari ini, Yerusalem kita mungkin adalah tempat pelayanan yang sepi, ladang penginjilan yang sulit, atau keluarga yang belum percaya. Tuhan mungkin menempatkan kita di sana, bukan karena itu mudah, tetapi karena itu penting. Yang Dia cari bukan orang paling kuat, tapi yang paling taat dan paling rela.

Mari kita menjadi orang-orang yang seperti dalam Yesaya 6:8 – “Ini aku, utuslah aku!” Tidak menunggu ditunjuk, tapi melangkah maju karena tahu bahwa pelayanan kepada Tuhan adalah kehormatan, bukan beban.

Tuhan Memulihkan Umat-Nya Lewat Banyak Saluran: Belajar dari Tokoh-Tokoh Pasca-Pembuangan. (Ezra – Nehemia – Hagai – Zakharia)

Oleh : Pdm. Fredrik Dandel, ST, STh, MAg, MTh

Pendahuluan:

Pemulihan umat Allah setelah pembuangan di Babel tidak terjadi dalam sekejap, dan tidak melalui satu orang saja. Tuhan memakai berbagai tokoh, pada waktu yang berbeda, dengan fungsi dan peran yang beragam, untuk membangun kembali bangsa-Nya secara rohani, sosial, dan struktural. Dari Zerubabel hingga Nehemia, dari imam Yesua hingga nabi-nabi, kita melihat bagaimana tangan Tuhan bekerja lewat manusia.

Setiap tokoh yang datang ke Yerusalem setelah pembuangan membawa beban dan tugas masing-masing. Mereka datang dalam tiga gelombang utama pemulangan: pertama, di bawah Zerubabel (538 SM); kedua, di bawah Ezra (458 SM); dan ketiga, di bawah Nehemia (445 SM). Pemulihan itu membutuhkan waktu puluhan tahun, karena pekerjaan Tuhan bukan hanya soal bangunan fisik, tapi juga transformasi hati.

Mari kita menyimak lebih dekat peran mereka, waktu kedatangan mereka ke Yerusalem, dan apa yang Tuhan lakukan melalui mereka, agar kita juga setia dalam bagian kita masing-masing hari ini.

1. Zerubabel dan Imam Besar Yesua (538 SM): Pemulihan Mezbah dan Pondasi Rumah Tuhan. (Ezra 3:2–3; Hagai 1:12–14; Zakharia 4:6–9)

Zerubabel adalah pemimpin pertama yang memimpin umat pulang dari Babel ke Yerusalem sekitar tahun 538 SM, setelah dikeluarkannya dekrit oleh Raja Koresy dari Persia (Ezra 1:1–3). Ia adalah keturunan Daud dan diangkat sebagai gubernur Yehuda (Hagai 1:1). Bersamanya ada imam besar Yesua bin Yozadak, yang berperan dalam memimpin umat secara rohani. Prioritas pertama mereka bukan membangun tembok, tetapi memulihkan mezbah dan mempersembahkan korban kepada Tuhan (Ezra 3:2–3).

Setelah membangun pondasi Bait Suci, pekerjaan mereka sempat terhenti karena tekanan musuh dan kelesuan semangat umat (Ezra 4:24). Tuhan lalu mengutus nabi Hagai dan Zakharia untuk membangkitkan kembali keberanian dan visi mereka. Pesan Zakharia 4:6 sangat kuat: “Bukan dengan keperkasaan dan bukan dengan kekuatan, melainkan dengan Roh-Ku, firman TUHAN semesta alam.”

Zerubabel dan Yesua mengajarkan bahwa pemulihan dimulai dari penyembahan. Di zaman ini, kita pun dipanggil untuk memprioritaskan mezbah rohani dalam keluarga dan gereja sebelum kita mengejar pembangunan yang kelihatan. Tanpa mezbah, rumah Tuhan hanyalah bangunan kosong.

2. Ezra (458 SM): Pemulihan Hukum Tuhan dan Pembentukan Karakter Rohani. (Ezra 7:6–10; Ezra 9:6–15; Nehemia 8:1–12)

Ezra datang ke Yerusalem sekitar tahun 458 SM, 80 tahun setelah Zerubabel. Ia adalah seorang imam dan ahli Taurat, keturunan Harun (Ezra 7:1–6). Ia datang dengan misi untuk mengajarkan hukum Allah kepada umat, memperkuat identitas rohani mereka, dan memimpin pertobatan nasional. Ezra 7:10 mencatat bahwa ia “bertekad untuk meneliti Taurat TUHAN, melakukannya dan mengajarkan ketetapan dan peraturan di antara orang Israel.”

Ezra sangat terpukul ketika melihat bahwa umat yang sudah kembali justru hidup dalam kompromi, bahkan para pemimpin kawin campur dengan bangsa asing (Ezra 9:2–3). Ia merendahkan diri, berdoa dan memimpin pertobatan yang menyeluruh. Melalui Ezra, Tuhan membentuk kembali kepekaan umat terhadap Firman dan memulihkan rasa takut akan Tuhan.

Dalam Nehemia 8, Ezra berperan besar saat membacakan Taurat kepada seluruh umat, hingga mereka menangis dan bertobat. Firman Tuhan membangkitkan kembali semangat, pengertian, dan komitmen umat. Gereja hari ini sangat membutuhkan pelayanan seperti Ezra, orang-orang yang bukan hanya pintar Alkitab, tapi yang hidup di dalamnya.

3. Nehemia (445 SM): Pemulihan Perlindungan, Martabat, dan Keadilan Sosial. (Nehemia 1:1–4; 2:17–20; 4:6–20; 5:6–13)

Nehemia adalah tokoh ketiga yang datang ke Yerusalem sekitar tahun 445 SM, 13 tahun setelah Ezra. Ia adalah juru minuman Raja Artahsasta dan menjadi pejabat penting di istana Persia (Neh. 1:11). Ketika mendengar bahwa tembok Yerusalem masih runtuh dan umat dalam kehinaan, hatinya hancur dan ia berdoa dengan sungguh (Neh. 1:3–4). Tuhan menaruh beban di hatinya untuk membangun tembok Yerusalem sebagai lambang keamanan dan harga diri bangsa.

Dalam waktu singkat, hanya 52 hari, Nehemia berhasil membangun kembali tembok itu (Neh. 6:15). Ia memimpin dengan strategi, doa, dan ketegasan, menghadapi berbagai intimidasi dan pengkhianatan (Neh. 4:7–9). Namun kehebatannya bukan hanya di bidang pembangunan fisik, melainkan juga menegakkan keadilan sosial, seperti saat ia menegur para bangsawan yang menindas orang miskin (Neh. 5:6–13).

Nehemia adalah gambaran pemimpin yang rohani, tangguh, adil, dan mengabdi bagi rakyat. Ia membuktikan bahwa pelayanan bukan hanya di mimbar, tapi juga di lapangan — memimpin, menegur, melindungi, dan memulihkan martabat umat Tuhan.

4. Hagai dan Zakharia (520 SM): Pemulihan Semangat dan Pandangan Profetik. (Hagai 1:2–8; Zakharia 4:1–10; 9:9–10)

Nabi Hagai dan Zakharia melayani pada tahun 520 SM, di masa kepemimpinan Zerubabel dan Yesua. Mereka diutus untuk membangkitkan semangat umat yang mulai suam dalam membangun rumah Tuhan. Hagai menegur umat karena lebih sibuk membangun rumah sendiri daripada rumah Allah (Hagai 1:4–9), dan berkata, “Perhatikanlah keadaanmu!” Pesannya jelas: berkat Tuhan tidak terlepas dari ketaatan kita.

Zakharia menyampaikan penglihatan profetik dan dorongan rohani untuk memberi umat pengharapan masa depan. Ia menyatakan bahwa Tuhan tetap menyertai umat-Nya, dan bahwa Sang Mesias akan datang dengan damai (Zak. 9:9). Ia juga memberi semangat kepada Zerubabel: “Tangan Zerubabel telah meletakkan dasar rumah ini, dan tangannya juga akan menyelesaikannya” (Zakharia 4:9).

Kedua nabi ini menunjukkan bahwa kebangunan rohani butuh suara kenabian yang menegur dan menghibur. Di zaman sekarang, Tuhan juga memanggil kita untuk menjadi suara yang membangkitkan, bukan yang membiarkan umat tenggelam dalam kenyamanan rohani.

Kesimpulan: Satu Tubuh, Banyak Peran. (1 Korintus 12:4–6; Roma 12:4–8)

Dari keempat tokoh besar ini, Zerubabel, Ezra, Nehemia, dan para nabi, kita belajar bahwa Tuhan bekerja lewat berbagai orang, dengan latar belakang, panggilan, dan waktu yang berbeda. Tidak ada satu tokoh yang bisa memulihkan umat sendirian. Pemulihan total terjadi ketika semua peran berjalan dalam ketaatan.

Gereja dan umat Tuhan di masa kini juga memerlukan berbagai jenis pemimpin: yang membangun dasar ibadah, yang menanamkan Firman, yang menegakkan keadilan, dan yang memberi penglihatan rohani. Kita semua adalah bagian dari tubuh Kristus, dan tidak ada satu pun pelayanan yang lebih penting dari yang lain (1 Kor. 12:21–25).

Apakah Anda dipanggil menjadi Ezra yang mengajarkan Firman? Atau seperti Nehemia yang membela umat dan menyusun strategi? Atau seperti Hagai yang menegur dengan kasih? Temukan peran Anda dan jalani dengan setia, karena pemulihan besar selalu dimulai dari ketaatan pribadi.

Dari Budak Menjadi Ahli Waris. Nehemia 7:46–60

Oleh : Pdm. Fredrik Dandel, ST, STh, MAg, MTh

Pendahuluan:

Dalam kitab Nehemia 7, kita menemukan daftar panjang nama-nama orang yang kembali dari pembuangan. Di antara mereka, terdapat kelompok yang disebut Netinim (budak-budak Bait Allah) dan hamba-hamba Salomo. Mereka bukan imam, bukan raja, bukan nabi. Mereka hanyalah pelayan bait Allah yang secara sosial dianggap kecil, tetapi mendapat tempat dalam catatan kekal Firman Tuhan. Dari sinilah kita belajar bahwa Tuhan tidak memandang rendah orang yang setia melayani, walau tidak dikenal manusia.

I. Allah Menghargai Mereka yang Tidak Dihargai Manusia. Nehemia 7:46–56; Lukas 1:52; 1 Korintus 1:27–29

Kelompok Netinim terdiri dari keturunan budak yang ditetapkan untuk melayani di rumah Tuhan, melakukan pekerjaan-pekerjaan kasar seperti menimba air, memotong kayu, dan membantu pelayanan para imam. Meskipun peran mereka dianggap kecil oleh masyarakat, Alkitab menyebut mereka secara spesifik satu per satu menunjukkan bahwa Allah tidak pernah melupakan mereka yang setia, walaupun dunia tidak menghargainya. Daftar ini mencerminkan bahwa kesetiaan dalam pelayanan lebih penting daripada posisi atau pengakuan manusia.

Dalam Lukas 1:52, Maria memuji Allah dengan berkata: “Ia menurunkan orang-orang yang berkuasa dari takhtanya dan meninggikan orang-orang yang rendah.” Ini adalah prinsip Allah: Dia memperhatikan dan meninggikan mereka yang dianggap rendah, selama mereka hidup dalam takut akan Tuhan. Seperti halnya Netinim, banyak dari kita mungkin merasa seperti "orang kecil" dalam gereja atau masyarakat, tapi jika kita tetap setia, Tuhan akan mengangkat kita dalam waktu-Nya.

Paulus menegaskan hal ini dalam 1 Korintus 1:27–29, bahwa Allah memilih yang lemah dan hina menurut dunia untuk memalukan yang kuat dan tinggi. Pelayanan kita, sekecil apa pun, bukan tidak berarti jika dilakukan untuk Tuhan. Bahkan, mungkin justru pelayanan-pelayanan tersembunyi itulah yang mendapat upah besar di surga. Tuhan memanggil kita bukan karena siapa kita, tapi karena Dia tahu kita mau dipakai untuk kemuliaan-Nya.

II. Status Sosial Tidak Menghalangi Pelayanan Kudus. Nehemia 7:57–60; 1 Raja-raja 9:20–21; Kisah Para Rasul 10:34–35

Hamba-hamba Salomo adalah keturunan bangsa asing yang diperbudak pada masa pemerintahan Raja Salomo. Mereka berasal dari sisa-sisa bangsa Kanaan yang tidak dimusnahkan (1 Raja-raja 9:20–21), tetapi dijadikan pekerja wajib. Dalam masyarakat Israel, mereka menempati posisi bawah. Namun luar biasanya, mereka tetap ikut kembali dari pembuangan dan tetap melayani dalam rumah Allah. Ini menunjukkan bahwa pelayanan bukan soal asal-usul, tetapi soal ketaatan.

Allah tidak menutup pelayanan hanya bagi mereka yang berdarah Israel, tetapi membuka pintu bagi siapa pun yang mau taat dan hidup kudus. Hal ini ditegaskan dalam Kisah Para Rasul 10:34–35, ketika Petrus berkata, “Sesungguhnya aku telah mengerti, bahwa Allah tidak membedakan orang. Setiap orang dari bangsa mana pun yang takut akan Dia dan mengamalkan kebenaran, berkenan kepada-Nya.” Inilah kekayaan rahmat Tuhan yang melampaui garis keturunan dan latar belakang sosial.

Status kita di dunia tidak menentukan nilai kita di mata Tuhan. Banyak orang menolak pelayanan karena merasa tidak layak, tapi Tuhan berkata bahwa Dia memanggil bukan yang sempurna, tetapi yang bersedia. Hamba-hamba Salomo mengingatkan kita bahwa Tuhan dapat memakai siapa saja, bahkan keturunan budak, untuk menjadi alat kemuliaan-Nya, asalkan kita berserah kepada-Nya sepenuh hati.

III. Nama-Nama Kecil di Mata Dunia, Tetapi Besar di Hadapan Allah. Nehemia 7:46–60; Lukas 10:20; Maleakhi 3:16

Nehemia mencatat dengan rinci nama-nama setiap keluarga dari para Netinim dan hamba Salomo. Mungkin nama-nama itu sulit dibaca, dan bahkan tidak dikenal di sejarah besar Israel. Namun, justru karena mereka disebut satu per satu, kita tahu bahwa Allah mencatat nama mereka secara pribadi, bukan sekadar angka. Di mata dunia, mereka tak penting. Tapi di mata Allah, mereka berarti. Nama mereka terukir dalam sejarah suci.

Yesus pernah berkata kepada murid-murid-Nya dalam Lukas 10:20: “Bersukacitalah karena namamu ada terdaftar di surga.” Ini adalah jaminan yang luar biasa bahwa Tuhan mencatat dan menghargai setiap orang yang melayani-Nya dengan setia, meskipun dunia tidak mengenalnya. Nama kita mungkin tidak tercatat dalam sejarah manusia, tetapi jika kita setia kepada Kristus, nama kita tercatat di kitab kehidupan.

Dalam Maleakhi 3:16, tertulis bahwa Tuhan menulis "kitab peringatan" untuk orang-orang yang takut akan Dia dan menghormati nama-Nya. Ini menjadi penghiburan bagi semua pelayan Tuhan yang setia di tempat tersembunyi. Sama seperti para Netinim dan hamba Salomo, nama kita pun akan disebut oleh Tuhan sendiri, bukan karena besar di dunia, tetapi karena setia dalam pelayanan-Nya.

IV. Pelayanan Kecil yang Menghasilkan Warisan Kekal. Nehemia 7:60; Kolose 3:23–24; Galatia 6:9

Ayat terakhir dari bagian ini menyatakan jumlah total para Netinim dan hamba Salomo: 392 orang. Mereka hanyalah sebagian kecil dari ribuan yang kembali ke Yerusalem. Tapi kelompok kecil inilah yang dipercayakan untuk memelihara pelayanan bait Allah, pusat penyembahan umat Israel. Tuhan memakai jumlah kecil untuk pekerjaan besar. Ini menunjukkan bahwa kesetiaan lebih penting daripada jumlah.

Dalam Kolose 3:23–24, Paulus menasihati: “Apapun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia. Kamu tahu bahwa dari Tuhanlah kamu akan menerima bagian yang ditentukan bagimu sebagai upah.” Ayat ini menyatakan bahwa setiap pelayanan sekecil apapun punya nilai kekal jika dilakukan untuk Tuhan.

Jangan lelah melayani dalam hal yang tampaknya sepele. Seperti kata Paulus dalam Galatia 6:9: “Janganlah kita jemu-jemu berbuat baik, karena pada waktu yang tepat kita akan menuai, jika kita tidak menjadi lemah.” Para Netinim mungkin tak pernah membayangkan bahwa nama mereka akan dicatat dalam Kitab Suci, tapi kesetiaan mereka menjadikan mereka bagian dari warisan kekal bangsa pilihan Tuhan.

Penutup:

Kita hidup di dunia yang mengagungkan yang besar, populer, dan berpengaruh. Tapi Tuhan bekerja berbeda. Dia memperhatikan yang kecil, yang rendah, yang setia. Dari budak Bait Allah dan hamba Salomo, kita belajar bahwa Tuhan melihat hati, bukan status. Melalui Kristus, bahkan orang yang hina di dunia bisa diangkat menjadi anak dan ahli waris Kerajaan Allah (Galatia 4:7). Jangan menyerah dalam pelayanan. Mungkin Anda tidak dikenal dunia, tapi Tuhan mencatat nama Anda dalam Kitab Kehidupan.

“Bertumbuh dalam Firman, Teguh Melawan Kesesatan”. Efesus 4:11–16

Oleh : Pdm. Fredrik Dandel, ST, STh, MAg, MTh

Pendahuluan:

Kita hidup di masa ketika ajaran-ajaran sesat menyusup dengan halus ke dalam kehidupan orang percaya, bahkan melalui mimbar, media sosial, dan komunitas rohani. Banyak yang tampak rohani, tetapi justru menjauhkan umat dari kebenaran Injil. Dalam Efesus 4, Rasul Paulus mengingatkan bahwa Tuhan telah memberikan gereja-Nya perangkat penting agar tidak terseret arus kesesatan: yaitu pengajaran Alkitab yang benar. Kita akan membahas empat poin penting dari teks ini tentang bagaimana pengajaran Alkitab menjadi perlindungan rohani yang kuat bagi jemaat.

1. Pengajaran Alkitab adalah Karunia Kristus untuk Memperlengkapi Jemaat. (Efesus 4:11–12)

Tuhan Yesus, sebagai Kepala Gereja, memberikan kepada tubuh Kristus peran-peran yang berfungsi untuk membangun dan memperlengkapi umat-Nya. Peran seperti rasul, nabi, penginjil, gembala, dan pengajar bukan hanya jabatan rohani, melainkan karunia strategis untuk menanamkan pengajaran yang sehat di tengah jemaat. Tujuannya jelas: supaya jemaat dapat bertumbuh, melayani, dan menjadi dewasa secara rohani.

Tanpa kehadiran pengajaran yang kuat dan terarah, gereja akan mengalami kekosongan dalam pertumbuhan rohani. Jemaat bisa aktif dalam pelayanan dan kegiatan, namun tanpa fondasi doktrinal yang benar, mereka tetap rentan terhadap kesalahan pengajaran. Oleh karena itu, pengajaran Alkitab harus menjadi pusat pembinaan gereja, bukan sekadar pelengkap ibadah.

Sebagaimana Paulus menuliskan dalam 2 Timotius 3:16–17, bahwa "Segala tulisan yang diilhamkan Allah... berguna untuk mengajar, menyatakan kesalahan, memperbaiki kelakuan, dan mendidik orang dalam kebenaran," maka kita dapat memahami bahwa Allah memberikan Firman-Nya bukan untuk dibaca sesekali, melainkan untuk dijadikan dasar kehidupan. Pengajaran itu menjadi alat Tuhan untuk membentuk karakter Kristus dalam jemaat-Nya.

2. Tujuan Pengajaran adalah Kedewasaan Iman dan Kesatuan dalam Kristus. (Efesus 4:13)

Pengajaran Alkitab tidak sekadar untuk mengisi pikiran, tetapi untuk membawa umat kepada kesatuan iman dan kedewasaan rohani. Tujuan akhirnya adalah supaya jemaat semakin mengenal Kristus dan serupa dengan Dia. Gereja yang mengutamakan pengajaran akan menghasilkan orang percaya yang tidak hanya cerdas secara teologis, tetapi juga dewasa dalam karakter dan kasih.

Kesatuan dalam iman muncul ketika jemaat sama-sama dibentuk oleh kebenaran yang sama. Doktrin yang sehat menyatukan umat dalam arah yang benar, sementara pengajaran yang menyimpang menciptakan perpecahan dan kebingungan. Maka dari itu, pendidikan rohani yang terencana dan berkelanjutan sangat penting agar gereja memiliki dasar yang sama dalam mengikut Kristus.

Hal ini ditegaskan juga dalam Kolose 2:6–7, "Kamu telah menerima Kristus Yesus, Tuhan kita. Karena itu hendaklah hidupmu tetap di dalam Dia. Hendaklah kamu berakar di dalam Dia dan dibangun di atas Dia..." Akar yang dalam dalam Firman Tuhan menjadikan hidup rohani kita stabil. Tanpa pengajaran yang benar, iman jemaat akan rapuh dan mudah digoyahkan oleh kesesatan.

3. Tanpa Pengajaran, Jemaat Mudah Disesatkan. (Efesus 4:14)

Rasul Paulus memperingatkan bahwa tanpa pengajaran yang kokoh, jemaat akan seperti anak-anak—mudah dipengaruhi, tidak stabil, dan gampang terbawa arus pengajaran palsu. Ini gambaran jemaat yang tidak memiliki dasar iman yang kuat, sehingga tidak bisa membedakan antara kebenaran dan kepalsuan. Mereka mudah percaya karena tidak terbiasa menguji pengajaran berdasarkan Firman Tuhan.

Banyak ajaran sesat hari ini datang bukan dengan terang-terangan menyangkal Kristus, tapi dengan membelokkan sebagian kebenaran. Mereka menggunakan bahasa rohani, ayat-ayat terpotong, dan retorika yang menggoda. Inilah sebabnya pengajaran Alkitab harus dilakukan secara sistematis dan utuh, agar jemaat tidak hanya tahu “sebagian” kebenaran, tetapi memahami keseluruhan konteksnya.

Yesus sendiri memperingatkan dalam *Matius 24:24*, "Sebab Mesias-mesias palsu dan nabi-nabi palsu akan muncul dan mengadakan tanda-tanda yang dahsyat dan mujizat-mujizat sehingga sekiranya mungkin, mereka menyesatkan orang-orang pilihan juga." Ini menjadi pengingat serius bahwa tidak cukup hanya menjadi pengikut Kristus, kita juga harus mengakar dalam Firman agar tidak mudah ditipu oleh tanda-tanda yang menyesatkan.

4. Firman Tuhan Menumbuhkan Jemaat dalam Kasih dan Kebenaran. (Efesus 4:15–16)

Solusi untuk menghadapi ajaran palsu bukan hanya dengan menolaknya, tapi dengan membangun jemaat dalam kasih dan kebenaran. Paulus mengatakan bahwa kita harus "berpegang kepada kebenaran di dalam kasih" artinya, kebenaran Alkitab harus disampaikan dan dijalani dalam kasih, bukan dalam kebencian atau arogansi rohani. Jemaat yang dibangun dalam kasih dan kebenaran akan saling memperkuat dan saling menumbuhkan.

Firman Tuhan tidak hanya membentuk individu, tapi juga membentuk komunitas. Gereja yang dibina melalui pengajaran Alkitab akan menjadi tubuh Kristus yang sehat, harmonis, dan efektif dalam pelayanan. Jemaat seperti ini mampu menghadapi tekanan dunia luar dengan kesatuan yang kuat dan kasih yang tulus.

Dalam *Mazmur 1:2–3*, digambarkan orang yang hidupnya berakar dalam Firman Tuhan akan "seperti pohon yang ditanam di tepi aliran air," yang daunnya tidak layu dan menghasilkan buah pada waktunya. Begitu pula gereja yang dibangun dalam Firman, akan kuat menghadapi musim apa pun, tidak kering secara rohani, dan tetap menghasilkan buah bagi kemuliaan Tuhan.

Penutup:

Saudara-saudari yang terkasih, ajaran sesat bukan hanya masalah doktrin, tetapi masalah ketahanan iman. Jemaat yang tidak berakar dalam Firman akan mudah tumbang. Namun, jemaat yang dilatih dan dibina dalam pengajaran Alkitab yang benar akan berdiri kokoh, dewasa, dan bersinar sebagai terang di dunia yang gelap ini. Mari kita kembali menempatkan Firman Tuhan sebagai pusat dari kehidupan rohani dan komunitas gereja kita.

📖 “Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah...” (Roma 12:2)

"Teguh di Tengah Tekanan: Membangun Tembok, Membangun Iman". Nehemia 4:1–23

Oleh : Pdm. Dr. (C) Fredrik Dandel, ST, STh, MAg, MTh.

Pendahuluan:

Setiap pekerjaan Allah tidak pernah lepas dari tantangan. Bahkan saat umat Allah sedang melakukan kehendak-Nya, tidak jarang justru tekanan datang dari luar maupun dalam. Inilah yang dialami oleh Nehemia dan umat Israel ketika mereka membangun kembali tembok Yerusalem. Tugas mereka bukan hanya pekerjaan fisik, tetapi juga peperangan rohani. Nehemia 4 mengajarkan kepada kita bagaimana menghadapi intimidasi, celaan, ancaman, dan rasa lelah dalam melayani Tuhan.

Kitab Nehemia menunjukkan bahwa membangun kembali Yerusalem adalah lebih dari sekadar proyek rekonstruksi; itu adalah panggilan untuk memulihkan identitas umat Allah. Dalam pasal ini, kita melihat bahwa ketaatan kepada Tuhan seringkali mengundang pertentangan dari dunia. Namun Nehemia menunjukkan teladan bagaimana memimpin dengan doa, hikmat, dan ketegasan di tengah tekanan.

Melalui eksposisi ini, kita akan belajar tiga pelajaran penting dari Nehemia 4: 1. Jangan gentar oleh ejekan musuh. 2. Hadapi ancaman dengan doa dan tindakan iman. 3. Terus bekerja sambil berjaga-jaga.

I. Jangan Gentar oleh Ejekan Musuh (Nehemia 4:1–6)

Ketika Sanbalat mendengar bahwa tembok Yerusalem mulai dibangun kembali, ia menjadi sangat marah dan mencemooh orang Yahudi (ay. 1). Ejekannya di hadapan para pemimpin bangsa-bangsa lain dimaksudkan untuk merendahkan dan mematahkan semangat. Ia berkata, “Apakah mereka akan menyelesaikannya dalam sehari?” bahkan menyindir bahwa tembok mereka akan runtuh jika seekor rubah naik ke atasnya (ay. 3). Ini adalah bentuk intimidasi mental yang seringkali menjadi senjata musuh terhadap umat Allah.

Respons Nehemia sangat berbeda dari apa yang mungkin dilakukan manusia biasa. Ia tidak membalas dengan kemarahan atau berdebat, tetapi justru berdoa (ay. 4–5). Doanya menggambarkan kejujuran dan ketergantungan penuh kepada Allah. Ia menyerahkan ejekan itu kepada Tuhan dan percaya bahwa Tuhan akan membela umat-Nya. Nehemia memahami bahwa musuh mereka sesungguhnya bukan manusia, tetapi kuasa kegelapan yang ingin menghentikan pekerjaan Allah (bdk. Efesus 6:12).

Nehemia dan rakyat tidak membiarkan ejekan itu menghentikan mereka. “Kami terus membangun tembok itu... sebab bangsa itu bekerja dengan segenap hati” (ay. 6). Ini adalah contoh iman yang bekerja. Mereka tidak membiarkan kata-kata menyakitkan menghentikan mereka, tetapi mereka fokus pada tujuan dan memercayakan segala perlawanan kepada Allah. Seperti Rasul Paulus berkata dalam 1 Korintus 15:58, “Kerjakanlah pekerjaan Tuhan dengan tekun, sebab jerih payahmu tidak sia-sia di dalam Tuhan.”

II. Hadapi Ancaman dengan Doa dan Tindakan Iman (Nehemia 4:7–14)

Setelah ejekan gagal menggoyahkan semangat umat Allah, Sanbalat dan teman-temannya beralih pada ancaman kekerasan (ay. 7–8). Mereka bersekongkol untuk menyerang Yerusalem secara langsung agar pembangunan itu gagal. Ini menunjukkan bagaimana iblis akan meningkatkan tekanannya jika cara halus tidak berhasil. Kita belajar bahwa ketika kita melangkah lebih dalam dalam kehendak Tuhan, perlawanan bisa meningkat.

Namun Nehemia kembali menunjukkan kepemimpinan yang penuh hikmat. Ia menanggapi ancaman itu dengan dua tindakan: berdoa dan berjaga-jaga (ay. 9). Ia tidak hanya bersandar pada doa, tapi juga bertindak secara bijaksana. Ini mengajarkan kita pentingnya iman yang praktis—percaya kepada Tuhan, tetapi juga menggunakan akal sehat dan strategi. Seperti kata Tuhan Yesus dalam Matius 10:16, “Hendaklah kamu cerdik seperti ular dan tulus seperti merpati.”

Ketika umat mulai merasa lelah dan takut (ay. 10–12), Nehemia menyemangati mereka dengan mengingatkan bahwa Tuhan yang besar dan dahsyat akan berperang bagi mereka (ay. 14). Inilah inti dari keberanian sejati: bukan karena tidak ada ketakutan, tetapi karena kita percaya bahwa Allah menyertai kita. Seperti Daud berkata dalam Mazmur 27:1, “Tuhan adalah terangku dan keselamatanku, kepada siapa aku harus takut?”

III. Terus Bekerja sambil Berjaga-jaga (Nehemia 4:15–23)

Setelah rencana musuh terungkap, umat Allah tidak menghentikan pekerjaan mereka. Mereka justru mengatur sistem pertahanan sambil terus membangun (ay. 15–18). Separuh dari orang-orang bekerja, dan separuh lainnya berjaga-jaga dengan senjata. Bahkan para tukang bangunan membawa senjata di pinggang mereka saat bekerja. Ini menggambarkan betapa seriusnya mereka dalam menjaga pekerjaan Tuhan.

Nehemia juga membuat sistem komunikasi yang efisien dan memusatkan koordinasi di satu tempat (ay. 19–20). Ia berkata bahwa bila mereka mendengar suara sangkakala, maka seluruh umat harus berkumpul karena Tuhan sendiri akan berperang bagi mereka. Ini mengajarkan kita pentingnya persatuan dan kesiapsiagaan dalam pekerjaan rohani. Kita tidak bisa berjalan sendiri; kita membutuhkan tubuh Kristus untuk saling menguatkan dan menjaga.

Akhir pasal ini menunjukkan dedikasi yang luar biasa (ay. 21–23). Mereka bekerja dari pagi hingga malam, dan bahkan tidak pulang untuk berganti pakaian. Ini bukan hanya menunjukkan semangat kerja keras, tapi juga komitmen penuh untuk pekerjaan Tuhan. Kita diingatkan akan kata-kata Tuhan Yesus dalam Yohanes 9:4, “Kita harus mengerjakan pekerjaan Dia yang mengutus Aku, selama masih siang; akan datang malam, di mana tidak ada seorang pun yang dapat bekerja.”

Penutup:

Nehemia 4 mengajarkan bahwa ketika kita melakukan kehendak Tuhan, kita pasti akan menghadapi tantangan. Ejekan, ancaman, dan kelelahan tidak boleh menghentikan kita. Kita perlu berdoa, bertindak, dan berjaga-jaga, dengan iman kepada Allah yang menyertai dan membela kita.

Seperti Nehemia, marilah kita menjadi pemimpin dan umat yang tidak mudah goyah. Dalam pelayanan, dalam keluarga, dalam pekerjaan, bahkan ketika membangun kembali bagian hidup yang hancur—Tuhan memanggil kita untuk setia dan berani. Sebab Dia yang memanggil kita adalah setia, dan tidak ada pekerjaan dalam Tuhan yang sia-sia.

Kaya di Hadapan Allah (Lukas 12:13–21)

Oleh : Pdm. Fredrik Dandel, ST, STh, MAg, MTh

Pendahuluan:

Saudara-saudara yang dikasihi Tuhan, dalam kehidupan ini kita semua tentu pernah memikirkan tentang masa depan, tentang tabungan, pensiun, rumah, pendidikan anak-anak, bahkan warisan. Tidak ada yang salah dengan semua itu. Kita memang dipanggil untuk menjadi pengelola yang bijak atas berkat Tuhan. Tapi sering kali, tanpa kita sadari, perencanaan dan kepemilikan itu berubah arah, bukan lagi menjadi sarana untuk memuliakan Tuhan, melainkan menjadi tujuan hidup itu sendiri. Ketika harta menjadi pusat perhatian kita, maka pelan-pelan Tuhan digeser keluar dari takhta hati kita.

Hari ini, kita akan merenungkan sebuah kisah yang disampaikan Yesus, berawal dari permintaan yang tampaknya sederhana: seseorang ingin warisannya dibagi secara adil. Tapi respons Yesus sangat mengejutkan. Ia tidak menjawab sesuai harapan orang itu, melainkan langsung menyingkapkan masalah hati yang tersembunyi: keserakahan. Yesus tahu bahwa bukan soal warisan yang jadi masalah, melainkan prioritas dan kehausan jiwa manusia akan hal-hal duniawi.

Dalam Lukas 12:13–21, kita akan belajar bahwa ukuran keberhasilan di mata Tuhan bukanlah banyaknya yang kita kumpulkan, tapi apakah kita menjadi kaya di hadapan Allah. Kekayaan sejati bukan diukur dari seberapa penuh lumbung kita, melainkan dari seberapa dalam kasih kita kepada Tuhan dan sesama. Mari buka hati dan biarkan Firman Tuhan menata kembali fokus hidup kita dari harta dunia menuju harta kekal.

I. Hati yang Terikat pada Warisan Dunia (Lukas 12:13)

Saudara-saudara yang terkasih, perhatikan bagaimana khotbah ini dimulai. Di tengah ajaran rohani Yesus yang dalam, tiba-tiba seseorang menyela dengan permintaan yang sangat duniawi: “Guru, katakanlah kepada saudaraku supaya ia membagi warisan dengan aku.” Ini bukan pertanyaan tentang kehidupan kekal, bukan permohonan untuk pengampunan, tetapi tentang pembagian harta. Ini memperlihatkan bahwa sekalipun kita berada di tengah Firman Tuhan, hati kita bisa saja tetap tertambat pada hal-hal duniawi. Permintaan ini bukan hanya soal hak, tapi memperlihatkan fokus hati orang tersebut.

Yesus tidak langsung menghakimi permintaan itu sebagai salah secara hukum. Namun Ia mengungkap motivasi di baliknya—keserakahan. Kita juga bisa datang ke gereja, menyimak kotbah, tapi hati dan pikiran kita justru dipenuhi rencana mencari keuntungan pribadi. Bahkan kita bisa memakai Tuhan sebagai alat untuk memenuhi keinginan kita. Dalam Yeremia 17:9 dikatakan, “Betapa liciknya hati, lebih licik dari pada segala sesuatu, hatinya sudah membatu: siapakah yang dapat mengetahuinya?” Maka kita perlu bertanya kepada diri sendiri: Apa motivasi saya datang kepada Tuhan?

Saudara, tidak ada yang salah dengan harta benda, tetapi ada yang sangat salah jika harta menjadi pusat hidup kita. Ketika hati tertambat pada warisan duniawi, kita bisa kehilangan warisan surgawi. Dalam Kolose 3:2, Rasul Paulus mengingatkan, “Pikirkanlah perkara yang di atas, bukan yang di bumi.” Itulah panggilan bagi orang percaya, fokus kita harus diubahkan, dari keinginan duniawi menuju kerinduan akan Kerajaan Allah.

II. Waspadai Ketamakan yang Menghancurkan Jiwa (Lukas 12:14–15)

Yesus tidak hanya menolak peran sebagai hakim dalam perkara duniawi itu, tetapi Ia langsung mengarahkan perhatian kepada akar masalahnya: “Berjaga-jagalah dan waspadalah terhadap segala ketamakan.” Ini peringatan serius. Ketamakan bukan hanya soal ingin memiliki banyak, tapi soal hati yang tidak pernah cukup. Apapun yang Tuhan beri, selalu terasa kurang. Ketamakan adalah kehausan rohani yang keliru arah. Semakin diberi, semakin lapar.

Yesus menambahkan alasan penting: “Hidup seseorang tidak tergantung dari kekayaannya.” Dunia mengajarkan sebaliknya: bahwa nilai seseorang ditentukan dari jumlah hartanya, rumahnya, gelarnya. Tetapi Yesus memutar balik pandangan itu. Dalam 1 Timotius 6:6–8 Paulus berkata, “Memang ibadah itu kalau disertai rasa cukup, memberi keuntungan besar. Sebab kita tidak membawa sesuatu ke dalam dunia dan kita pun tidak dapat membawa apa-apa ke luar.” Ketamakan membutakan mata kita terhadap kebenaran ini.

Saudara, banyak orang terjebak dalam perlombaan tanpa garis akhir: semakin banyak memiliki, semakin takut kehilangan. Akhirnya hidup dipenuhi kecemasan, bukannya damai. Yesus memanggil kita untuk waspada dan berjaga-jaga, karena ketamakan bisa menggerogoti iman dan merusak hubungan dengan Tuhan dan sesama. Ingatlah Amsal 23:4–5: “Jangan bersusah payah untuk menjadi kaya, tinggalkan niatmu ini. Apakah engkau mau mengarahkan pandanganmu kepada yang tidak ada?” Harta bisa lenyap sekejap, tetapi kehidupan dalam Tuhan kekal adanya.

III. Kebodohan Orang Kaya yang Tidak Mengenal Allah (Lukas 12:16–20)

Dalam respons-Nya, Yesus menceritakan sebuah perumpamaan yang sangat tajam. Seorang kaya memperoleh hasil luar biasa, dan rencananya tampak bijaksana secara duniawi: memperbesar lumbung, menyimpan kekayaan, dan menikmati hidup. Ia berkata pada dirinya sendiri, “Tenanglah, makanlah, minumlah dan bersenang-senanglah.” Tapi yang tidak ia perhitungkan adalah Tuhan. Hidupnya berputar hanya seputar “aku” dan “milikku.” Ia pandai mengatur masa depan finansial, tapi lupa pada masa depan kekal.

Tuhan menyebutnya “orang bodoh.” Bukan karena ia sukses, tapi karena ia tidak melibatkan Allah dalam hidupnya. Ia hidup seakan-akan waktu miliknya, seolah-olah umur bisa direncanakan. Tapi Tuhan berkata, “Pada malam ini juga jiwamu akan diambil daripadamu.” Dalam Yakobus 4:13–15 dikatakan, “Kamu tidak tahu apa yang akan terjadi besok... Sebaliknya, kamu harus berkata: Jika Tuhan menghendakinya, kami akan hidup dan berbuat ini dan itu.” Tanpa Tuhan, semua perencanaan sehebat apapun adalah sia-sia.

Saudara, ada orang yang sangat teliti mengatur keuangan, asuransi, tabungan, bahkan warisan, tapi lalai mempersiapkan jiwa dan iman. Ingat, hidup kita bukan ditentukan oleh jumlah harta, melainkan oleh hubungan kita dengan Tuhan. Seperti yang dikatakan Mazmur 49:17–18, “Sebab pada waktu matinya ia tidak akan membawa sesuatu pun, kemuliaannya tidak akan turun mengikuti dia.” Satu-satunya hal yang abadi adalah apa yang kita serahkan bagi Tuhan.

IV. Kaya di Hadapan Allah: Harta yang Tak Akan Binasa (Lukas 12:21)

Yesus mengakhiri pengajaran ini dengan pernyataan yang menggetarkan: “Demikianlah jadinya dengan orang yang mengumpulkan harta bagi dirinya sendiri, jikalau ia tidak kaya di hadapan Allah.” Ini bukan hanya nasihat, tapi juga peringatan. Ada dua jenis kekayaan: kekayaan duniawi yang fana, dan kekayaan rohani yang kekal. Menjadi kaya di hadapan Allah artinya memiliki hati yang berkenan, hidup dalam kasih, iman, dan ketaatan.

Bagaimana cara menjadi kaya di hadapan Allah? Yesus memberikan jawabannya dalam Matius 6:19–21: “Janganlah kamu mengumpulkan harta di bumi… tetapi kumpulkanlah bagimu harta di surga... Karena di mana hartamu berada, di situ juga hatimu berada.” Artinya, hidup kita diarahkan untuk memberi, melayani, dan mempercayakan segala sesuatu kepada Tuhan. Orang yang murah hati, yang peduli pada sesama, yang hidup dalam persekutuan dengan Allah, itulah yang benar-benar kaya di hadapan-Nya.

Saudara, marilah kita berhenti sejenak dan menilai kembali di mana harta kita yang sejati berada. Apakah semua upaya kita selama ini hanya untuk “lumbung besar” yang akhirnya akan kita tinggalkan? Ataukah kita sedang membangun tabungan kekal di surga melalui iman, kasih, dan kesetiaan kepada Kristus? Seperti dikatakan dalam Amsal 11:28, “Siapa mempercayakan diri kepada kekayaannya akan jatuh; tetapi orang benar akan tumbuh seperti daun muda.” Itulah warisan yang tidak pernah akan hilang.

Penutup:

Saudara, jangan sampai kita menjadi seperti orang kaya yang bodoh itu, berhasil secara dunia, tapi gagal di hadapan Allah. Hidup kita adalah anugerah, dan waktu kita terbatas. Mari gunakan hidup ini untuk menjadi kaya di hadapan Allah: hidup dalam iman, rela memberi, rendah hati, dan bergantung penuh pada Tuhan. Karena suatu saat kelak, saat kita berdiri di hadapan Tuhan, bukan jumlah saldo kita yang ditanya, tetapi apakah kita telah mengasihi Dia dengan segenap hati, jiwa, dan kekuatan.

Melayani dengan Setia di Tengah Kerapuhan. Nats Utama: 2 Korintus 4:1–15

Oleh : Pdm. Fredrik Dandel, ST, STh, MAg, MTh

Pendahuluan

Saudara-saudara yang terkasih dalam Kristus,

hidup sebagai orang percaya, terlebih sebagai pelayan Tuhan, bukanlah perjalanan yang selalu mulus. Sering kali, kita merasa lelah, diragukan, ditolak, bahkan disalahpahami oleh orang-orang yang justru kita layani. Mungkin kita pernah bertanya dalam hati: “Apakah semua ini tidak sia-sia?” Atau bahkan lebih jauh, “Jika benar saya sedang mengerjakan kehendak Tuhan, mengapa penderitaan dan tekanan ini terus datang?”

Pertanyaan-pertanyaan semacam ini bukanlah hal baru. Rasul Paulus, hamba Tuhan yang luar biasa itu, juga menghadapi realita serupa. Ia ditolak, difitnah, disakiti, dan dianggap gagal karena tubuhnya lemah dan pelayanannya tidak gemerlap. Namun, justru dalam tekanan itulah, Paulus menyingkapkan rahasia kekuatan rohani yang sejati—bahwa pelayanan yang benar bukanlah soal kemegahan luar, melainkan kesetiaan dalam kelemahan, karena kuasa Allah nyata dalam bejana tanah liat.

Hari ini, melalui 2 Korintus 4:1–15, kita akan menyelami bagaimana Paulus melihat dirinya, pelayanannya, dan Allah yang bekerja dalam hidupnya. Kiranya Firman Tuhan ini menguatkan kita semua—baik kita yang sedang lelah dalam pelayanan, maupun yang sedang mempertanyakan makna penderitaan dalam hidup Kristen. Mari kita belajar melayani dengan setia di tengah kerapuhan, karena kita punya Allah yang tidak pernah meninggalkan bejana tanah liat-Nya.

I. Melayani dengan Ketulusan, Bukan Kepura-puraan (2 Korintus 4:1–2)

Paulus membuka bagian ini dengan menyatakan bahwa ia tidak tawar hati dalam pelayanannya karena ia menyadari bahwa pelayanannya adalah hasil belas kasihan Allah, bukan hasil kemampuannya sendiri. Ini menunjukkan bahwa pelayanan Kristen bukan soal prestasi pribadi, melainkan respons terhadap kasih karunia Allah. Paulus tahu bahwa tugas memberitakan Injil tidaklah ringan, tetapi karena ia diutus oleh Allah sendiri, ia tetap setia dalam panggilannya.

Ia menolak cara-cara yang tidak jujur dalam pelayanan, seperti manipulasi atau pengaburan kebenaran. Di tengah dunia yang penuh tipu daya, Paulus justru menekankan bahwa pelayan Tuhan harus berjalan dalam terang, memperlakukan Firman Tuhan dengan hormat, dan menyampaikan kebenaran secara terbuka di hadapan Allah. Ini adalah pesan penting bagi gereja masa kini, di mana sering kali kebenaran dikompromikan demi popularitas atau keuntungan pribadi.

Yesus sendiri berkata bahwa mereka yang menyembah Allah harus menyembah dalam roh dan kebenaran (Yohanes 4:24). Selain itu, Mazmur 15:2–3 menekankan bahwa orang yang layak tinggal dalam hadirat Tuhan adalah orang yang "berjalan dengan tulus, melakukan apa yang adil, dan berkata benar dari hatinya." Pelayanan yang sejati dimulai dari hati yang bersih dan integritas yang tidak tergoyahkan.

II. Injil adalah Terang di Tengah Dunia yang Buta Rohani (2 Korintus 4:3–6)

Paulus mengakui bahwa tidak semua orang menerima Injil. Bagi mereka yang hatinya tertutup dan pikirannya dibutakan oleh ilah zaman ini (yaitu Iblis), Injil tetap tersembunyi. Mereka tidak dapat melihat kemuliaan Kristus karena hidup mereka ada dalam kegelapan rohani. Ini menjelaskan mengapa banyak orang menolak berita Injil bukan karena kekurangannya, tetapi karena kondisi rohani mereka yang mati.

Namun, penolakan orang lain tidak membuat Paulus berhenti memberitakan Injil. Ia menyatakan bahwa yang diberitakannya bukanlah dirinya sendiri, melainkan Yesus Kristus sebagai Tuhan. Paulus adalah hamba yang rendah hati, yang hanya ingin agar Kristus dikenal dan ditinggikan. Sama seperti Allah berfirman “Jadilah terang” pada penciptaan, Allah juga dapat menciptakan terang di dalam hati manusia untuk mengenal kemuliaan Kristus.

Yohanes 1:5 berkata, “Terang itu bercahaya di dalam kegelapan dan kegelapan itu tidak menguasainya.” Ini sejalan dengan Yesaya 60:1, “Bangkitlah, menjadi teranglah, sebab terangmu datang, dan kemuliaan TUHAN terbit atasmu.” Injil adalah satu-satunya harapan bagi dunia yang gelap, dan setiap kita yang percaya dipanggil untuk membawa terang itu ke mana pun Tuhan utus.

III. Harta dalam Bejana Tanah Liat: Kuasa Allah dalam Kelemahan Manusia (2 Korintus 4:7–12)

Paulus menggambarkan dirinya dan para pelayan Injil sebagai bejana tanah liat yang rapuh. Gambaran ini menunjukkan betapa lemahnya manusia secara fisik dan emosional. Namun dalam kelemahan itu, Allah menaruh "harta", yaitu Injil dan kuasa-Nya yang besar. Dengan cara ini, kemuliaan pelayanan tidak tertuju kepada manusia, tetapi kepada Allah yang bekerja di dalam dan melalui kelemahan kita.

Pengalaman Paulus penuh dengan penderitaan: tertekan dari segala arah, bingung, dianiaya, dan dijatuhkan. Namun, ia menegaskan bahwa ia tidak hancur. Dalam setiap penderitaan, ia mengalami pemeliharaan Allah yang membuatnya tetap berdiri. Ia menyadari bahwa penderitaan bukanlah kegagalan, melainkan sarana di mana kuasa kebangkitan Kristus nyata dalam dirinya. Bahkan, melalui penderitaan itu, hidup Kristus dapat dialirkan kepada orang lain.

Petrus berkata dalam 1 Petrus 1:6–7 bahwa berbagai pencobaan menguji iman kita, dan iman yang tahan uji itu akan menghasilkan pujian, kemuliaan, dan kehormatan pada saat Yesus Kristus menyatakan diri-Nya. Yesus sendiri menyatakan dalam Yohanes 12:24 bahwa "jika biji gandum tidak jatuh ke tanah dan mati, ia tetap satu biji saja; tetapi jika ia mati, ia akan menghasilkan banyak buah." Pelayanan yang sejati sering kali berbuah melalui pengorbanan dan penderitaan.

IV. Iman dan Harapan yang Membawa Syukur dan Kemuliaan bagi Allah (2 Korintus 4:13–15)

Paulus menyatakan bahwa karena ia memiliki "roh iman" yang sama seperti pemazmur (Mazmur 116:10), maka ia percaya dan oleh karena itu ia berbicara. Iman yang sejati tidak membuat seseorang diam, tetapi mendorong seseorang untuk bersaksi. Meskipun Paulus dianiaya dan menderita, ia tetap memiliki keyakinan kuat bahwa apa yang ia lakukan tidak sia-sia karena ia mempercayai kuasa Allah.

Imannya didasarkan pada keyakinan bahwa Allah yang telah membangkitkan Yesus akan membangkitkan dia juga bersama jemaat. Pandangannya tertuju pada kebangkitan, bukan sekadar pada penderitaan sekarang. Inilah kekuatan pelayanan Paulus: pengharapan akan kehidupan kekal. Kesulitan dunia ini hanya sementara, tetapi kemuliaan yang kekal akan datang dari Allah bagi setiap orang yang setia.

Roma 8:18 menyatakan, “Penderitaan zaman sekarang ini tidak dapat dibandingkan dengan kemuliaan yang akan dinyatakan kepada kita.” Dan Filipi 1:29 mengatakan bahwa kepada kita bukan saja dikaruniakan untuk percaya kepada Kristus, tetapi juga untuk menderita bagi Dia. Melalui penderitaan yang dijalani dengan iman, semakin banyak orang menerima Injil dan menaikkan syukur kepada Allah. Maka nama Tuhan dipermuliakan dan Kerajaan-Nya diperluas.

Penutup

Saudara-saudara, pelayanan Kristen bukanlah jalan yang mudah, tetapi adalah jalan yang penuh makna. Kita melayani bukan karena kita kuat, melainkan karena kuasa Allah bekerja melalui kelemahan kita. Injil tetap harus diberitakan meskipun banyak yang menolak, karena terang Allah sanggup menerobos kegelapan. Kita adalah bejana tanah liat, tetapi di dalam kita ada harta yang kekal.

Tetaplah setia. Jangan tawar hati. Jangan fokus pada penderitaan, tetapi arahkan pandangan kepada kebangkitan dan kemuliaan Allah. Pelayanan yang lahir dari kasih karunia, dijalani dengan iman, dan dibentuk oleh penderitaan akan menghasilkan buah kekal dan membawa kemuliaan bagi Allah.