Selasa, 12 Agustus 2025

Allah Orang Hidup : Jawaban Yesus Atas Penolakan Kebangkitan. Matius 22:23-33

Oleh : Pdm. Fredrik Dandel, ST, STh, MAg, MTh

Pendahuluan

Pada masa pelayanan Yesus, Ia sering berhadapan dengan berbagai kelompok keagamaan Yahudi yang memiliki pemahaman teologis yang berbeda-beda. Salah satunya adalah kelompok Saduki, sebuah kelompok elit, aristokrat, yang memegang kekuasaan di Bait Allah dan Sanhedrin. Kelompok ini terkenal karena menolak ajaran tentang kebangkitan, malaikat, dan kehidupan setelah kematian. Mereka lebih menekankan hukum Musa dan realitas kehidupan dunia ini.

Dalam Matius 22:23–33, kita menemukan orang-orang Saduki datang kepada Yesus, bukan dengan maksud mencari kebenaran, tetapi untuk menjebak dan mempermalukan-Nya. Mereka mengajukan pertanyaan tentang seorang perempuan yang menikah tujuh kali, dan bertanya siapa yang akan menjadi suaminya pada hari kebangkitan. Ini bukan pertanyaan tulus, melainkan sindiran yang ingin menunjukkan kebodohan doktrin kebangkitan.

Namun Yesus menjawab dengan hikmat yang ilahi dan membawa kita pada satu pengertian yang dalam: Allah adalah Allah orang hidup, bukan orang mati. Melalui jawaban-Nya, Yesus membungkam orang Saduki, mengungkap kesalahan mereka dalam menafsirkan Kitab Suci, dan menegaskan bahwa kebangkitan adalah realitas yang dijanjikan oleh Allah.

I. Orang Saduki Menolak Kebangkitan Karena Ketidaktahuan Akan Kitab Suci (ayat 23–28)

Orang Saduki datang dengan maksud untuk menjebak Yesus. Mereka mengajukan kasus hipotesis tentang seorang perempuan yang menikahi tujuh bersaudara secara berurutan, sesuai hukum levirat dari Ulangan 25:5–10. Maksud mereka adalah untuk memperolok doktrin kebangkitan yang diyakini oleh orang Farisi dan oleh Yesus. Dengan membesar-besarkan situasi ini, mereka ingin menunjukkan bahwa kebangkitan membuat hubungan pernikahan menjadi membingungkan dan tidak masuk akal.

Namun yang sebenarnya mereka tunjukkan adalah ketidaktahuan akan maksud rohani dari Kitab Suci. Mereka memperlakukan kebangkitan seperti kehidupan dunia ini, seolah-olah tatanan duniawi seperti pernikahan akan tetap berlaku di dunia yang akan datang. Ini mencerminkan pemahaman yang dangkal dan legalistik, bukan iman yang hidup akan kuasa Allah.

Banyak orang zaman sekarang juga seperti orang Saduki: mereka menolak hal-hal rohani atau supranatural karena tidak bisa dinalar secara logika manusia. Mereka lupa bahwa Firman Allah tidak hanya bicara tentang hukum, tetapi juga tentang kuasa-Nya yang kekal dan rencana-Nya yang melampaui kehidupan ini.

Bandingan: 1 Korintus 2:14 – “Tetapi manusia duniawi tidak menerima apa yang berasal dari Roh Allah…”

II. Kebangkitan Itu Nyata dan Tidak Sama Dengan Hidup Dunia Ini (ayat 29–30)

Yesus menegur mereka dengan tegas: "Kamu sesat, sebab kamu tidak mengerti Kitab Suci maupun kuasa Allah." Kata “sesat” di sini menunjukkan bahwa kesalahan mereka bukan hanya intelektual, tetapi rohani dan moral. Mereka tidak tahu isi Kitab Suci secara utuh, dan tidak percaya akan kuasa Allah yang mampu membangkitkan orang mati dan mengubah keadaan hidup.

Yesus kemudian menjelaskan bahwa dalam kebangkitan, orang tidak kawin atau dikawinkan, melainkan hidup seperti malaikat di surga. Ini bukan berarti kita menjadi malaikat, melainkan bahwa keadaan hidup di surga berbeda dengan di bumi. Hubungan seperti pernikahan tidak berlaku di sana karena kehidupan kekal adalah relasi yang sempurna dengan Allah.

Jawaban ini mengajarkan kita untuk tidak membawa pemahaman duniawi ke dalam hal-hal surgawi. Kebangkitan bukanlah kelanjutan dari hidup dunia dengan segala formatnya, melainkan transformasi hidup yang baru. Kita dipanggil untuk percaya, bukan mengandalkan logika semata.

Bandingan: Filipi 3:21 – “...yang akan mengubah tubuh kita yang hina ini, sehingga serupa dengan tubuh-Nya yang mulia...”

III. Allah Adalah Allah Orang Hidup (ayat 31–33)

Yesus lalu membawa mereka kembali kepada Taurat Musa, kitab yang mereka akui. Ia mengutip Keluaran 3:6, di mana Allah menyatakan diri sebagai: “Aku Allah Abraham, Allah Ishak, dan Allah Yakub.” Yesus menekankan bahwa Allah tidak mengatakan “Aku pernah menjadi Allah mereka,” tetapi “Aku adalah Allah mereka.” Artinya, Abraham, Ishak, dan Yakub masih hidup di hadapan Allah, meskipun secara jasmani mereka telah mati.

Inilah dasar pengharapan akan kebangkitan: Allah adalah Allah yang hidup, dan umat-Nya hidup di dalam Dia. Jika Allah adalah Allah orang hidup, maka semua orang percaya akan dibangkitkan dan menikmati hidup kekal bersama-Nya. Jawaban ini begitu kuat sehingga orang banyak pun takjub mendengar-Nya.

Kita pun harus hidup dengan pengharapan akan kebangkitan. Iman kepada Allah yang hidup mengubah cara kita menghadapi penderitaan, kematian, dan pengharapan akan masa depan. Kita tidak percaya kepada Allah yang mati, tetapi kepada Allah yang berkuasa memberi hidup yang kekal.

Bandingan: Yohanes 11:25 – “Akulah kebangkitan dan hidup; barangsiapa percaya kepada-Ku, ia akan hidup walaupun ia sudah mati.”

Penutup

Kisah ini bukan sekadar debat antara Yesus dan orang Saduki, tetapi pengajaran penting bagi kita semua tentang realitas kebangkitan dan kuasa Allah. Kita dipanggil untuk memahami Kitab Suci bukan hanya dengan akal, tetapi juga dengan iman yang percaya bahwa Allah sanggup melakukan perkara besar melebihi apa yang bisa kita bayangkan.

Yesus menegaskan bahwa kebangkitan itu nyata, dan dalam hidup yang akan datang, Allah menyatakan kemuliaan-Nya dengan cara yang tidak bisa dibandingkan dengan kehidupan dunia ini. Kita harus mempercayai janji ini dan mempersiapkan diri untuk kehidupan kekal yang dijanjikan kepada semua yang percaya kepada Kristus.

Kiranya kita tidak seperti orang Saduki yang sesat karena tidak mengenal Firman dan kuasa Allah. Sebaliknya, marilah kita hidup dalam pengharapan akan kebangkitan dan memuliakan Allah dengan hidup yang kudus dan beriman teguh kepada-Nya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar