Kamis, 21 Agustus 2025

Dari Ejekan Menjadi Kesempatan. Kisah Para Rasul 17:18–34

Oleh : Pdm. Fredrik Dandel, ST, STh, MAg, MTh

Pendahuluan

Ketika Paulus tiba di Atena, ia memasuki salah satu pusat filsafat dunia. Kota itu penuh patung dewa dan pusat diskusi publik. Di pasar dan ruang debat seperti Areopagus, para filsuf berkumpul untuk membicarakan ide-ide baru. Di tengah budaya yang bangga akan kebijaksanaan manusia, Paulus berdiri sebagai pemberita Injil Yesus Kristus. Kehadirannya segera mengundang reaksi keras, termasuk ejekan. Salah satunya, mereka menyebutnya “peleter” (ayat 18), sebuah hinaan yang merendahkan kredibilitasnya.

Kata “peleter” (spermologos) berarti “pengumpul remah-remah kata” atau “pengoceh yang tak berisi”. Mereka menganggap Paulus seperti burung yang memungut biji-bijian tanpa memahami nilainya. Bagi para filsuf, ajaran Paulus tentang kebangkitan adalah sesuatu yang aneh, bahkan bodoh. Namun, ejekan itu tidak mematahkan semangatnya. Sebaliknya, Paulus justru melihatnya sebagai pintu untuk membagikan kabar baik kepada mereka.

Dalam perjalanan hidup kita, sering kali hinaan atau penolakan bisa menjadi kesempatan untuk bersaksi. Rasul Petrus menulis, “Siap sedialah pada segala waktu untuk memberi pertanggungan jawab” (1 Petrus 3:15). Paulus mempraktekkan prinsip ini di Atena: ia tidak marah, tidak tersinggung, melainkan memanfaatkan momen itu untuk menyampaikan kebenaran Injil.

Poin 1 – Tetap Fokus di Tengah Ejekan (Kis. 17:18–21)

Ejekan bisa membuat orang kehilangan fokus. Namun, Paulus tidak terjebak untuk membalas hinaan mereka. Ia tidak sibuk membela diri, melainkan tetap pada inti misinya: memberitakan Yesus dan kebangkitan. Dalam ayat 18, meskipun disebut “peleter”, Paulus tidak mundur. Ini menunjukkan kerendahan hati dan keteguhan hati seorang pelayan Kristus.

Sikap ini selaras dengan 2 Timotius 2:24–25: “Seorang hamba Tuhan tidak boleh bertengkar, tetapi harus ramah kepada semua orang, pandai mengajar, sabar, dan dengan lemah lembut menuntun orang yang suka melawan.” Paulus memilih jalan sabar, bukan marah, dan itu membuatnya tetap memiliki peluang berbicara lebih jauh di Areopagus.

Dalam pelayanan atau kesaksian, kita akan menemui orang yang menolak bahkan menghina kita. Reaksi pertama yang harus kita pelajari dari Paulus adalah tetap fokus pada misi. Jangan biarkan ejekan mengalihkan perhatian dari tujuan utama: membawa orang kepada Kristus.

Poin 2 – Menggunakan Bahasa dan Budaya Mereka (Kis. 17:22–28)

Ketika Paulus berdiri di Areopagus, ia tidak langsung mengutip kitab Perjanjian Lama. Ia mulai dari apa yang dikenal oleh audiensnya: patung “Kepada Allah yang tidak dikenal” (ayat 23). Ia membangun jembatan komunikasi melalui sesuatu yang relevan dengan budaya mereka. Bahkan, ia mengutip penyair Yunani, “Sebab di dalam Dia kita hidup, kita bergerak, kita ada” (ayat 28), yang berasal dari karya-karya puisi lokal.

Pendekatan ini sejalan dengan 1 Korintus 9:22, “Bagi semua orang aku telah menjadi segala-galanya, supaya aku sedapat mungkin memenangkan beberapa orang dari antara mereka.” Paulus menyesuaikan bahasa dan cara penyampaiannya tanpa mengurangi kebenaran Injil.

Pelajaran bagi kita: untuk menjangkau hati orang, kita harus memahami latar belakang, bahasa, dan pola pikir mereka. Injil tidak berubah, tetapi cara kita mengemasnya harus bisa masuk ke konteks pendengar.

Poin 3 – Menyampaikan Kebenaran Secara Tegas (Kis. 17:29–34)

Setelah membangun jembatan dengan audiensnya, Paulus tidak berhenti di titik aman. Ia dengan tegas menyatakan bahwa Allah memanggil semua orang untuk bertobat (ayat 30) dan bahwa ada hari penghakiman yang pasti, di mana Yesus akan menjadi Hakim yang adil, dibuktikan dengan kebangkitan-Nya (ayat 31). Di sini, Paulus tidak kompromi: kebenaran Injil tetap disampaikan secara penuh.

Yohanes 8:32 berkata, “Kamu akan mengetahui kebenaran, dan kebenaran itu akan memerdekakan kamu.” Tetapi kebenaran itu juga sering menimbulkan perlawanan. Di Atena, sebagian mengejek, sebagian menunda, dan sebagian percaya (ayat 32–34). Reaksi itu wajar, karena Firman Allah selalu membagi respon manusia menjadi dua: menerima atau menolak.

Pelajaran yang kita dapatkan adalah, tugas kita bukan membuat semua orang setuju, tetapi setia menyampaikan kebenaran. Hasilnya ada di tangan Tuhan. Paulus menabur benih Injil, dan Tuhan yang memberi pertumbuhan (1 Korintus 3:6).

Kesimpulan

Perjalanan Paulus di Atena mengajarkan bahwa ejekan bukanlah akhir dari pelayanan, melainkan awal dari kesempatan. Ia tidak membiarkan hinaan “peleter” mematikan semangatnya. Ia tetap fokus, membangun jembatan budaya, dan akhirnya menyampaikan kebenaran Injil dengan tegas.

Dalam kehidupan kita, mungkin kita juga akan dicap “peleter”, “fanatik”, atau “aneh” karena iman kita. Namun, seperti Paulus, kita dipanggil untuk tetap berdiri teguh dan menjadikan setiap kesempatan sebagai sarana untuk memuliakan Kristus.

Ejekan hanyalah suara sementara, tetapi Firman Tuhan adalah kebenaran yang kekal. Jika kita setia, Tuhan dapat mengubah momen yang tampak memalukan menjadi kesaksian yang menyentuh hati banyak orang. Dan siapa tahu, dari satu momen itu, ada Dionisius atau Damaris (ayat 34) yang akan percaya karena kesaksian kita.

Rabu, 20 Agustus 2025

Iman yang Tidak Bisa Dibungkam. Kisah Para Rasul 12:1-5

Oleh : Pdm. Fredrik Dandel, ST, STh, MAg, MTh.

Pendahuluan

Dalam sejarah gereja mula-mula, pertumbuhan iman sering kali berjalan seiring dengan tekanan dan penganiayaan. Ketika Injil diberitakan dengan berani, kekuatan dunia mencoba membungkamnya dengan kekerasan. Kisah Para Rasul 12 memperlihatkan salah satu titik gelap dalam sejarah pelayanan para rasul: kematian Yakobus dan penangkapan Petrus. Namun justru dari kegelapan inilah terang pengharapan bersinar, karena iman sejati tidak bisa dibungkam oleh ancaman manusia.

Peristiwa ini menunjukkan bahwa menjadi pengikut Kristus bukan berarti lepas dari penderitaan. Bahkan, dua dari murid terdekat Yesus: Yakobus dan Petrus menjadi sasaran kekuasaan politik yang jahat. Namun, kita akan melihat bagaimana Allah tetap memegang kendali dan bagaimana gereja merespons dengan doa, bukan dengan kepanikan. Kematian Yakobus bukanlah akhir dari berita Injil, tetapi bagian dari karya Allah yang lebih besar.

Melalui teks ini, kita akan belajar tiga pelajaran penting: (1) Kekuasaan dunia bisa menindas tubuh, tetapi tidak bisa membungkam Injil; (2) Kematian orang benar ada dalam kendali Allah; (3) Doa adalah kekuatan terbesar gereja dalam menghadapi ancaman. Mari kita renungkan bagian ini secara mendalam.

I. Kekuasaan Dunia Bisa Menindas Tubuh, Tapi Tidak Bisa Membungkam Injil (Ay. 1–2)

“Waktu itu raja Herodes mulai bertindak dengan keras terhadap beberapa orang dari jemaat. Ia menyuruh membunuh Yakobus, saudara Yohanes, dengan pedang.”

Herodes Agripa I adalah penguasa yang cerdik secara politik. Ia tahu bahwa untuk memenangkan hati orang Yahudi, ia harus memperlihatkan sikap anti-Kristen. Maka ia mulai menyerang jemaat, dan korbannya yang pertama adalah Rasul Yakobus. Pembunuhan Yakobus adalah bentuk penindasan terhadap gereja yang tidak hanya menyakitkan secara emosional, tetapi juga strategis secara politik. Namun tindakan ini justru menjadi bukti bahwa Injil tidak bisa dihentikan oleh kekuasaan dunia.

Yakobus, anak Zebedeus dan saudara Yohanes, adalah salah satu dari tiga murid terdekat Yesus. Ia menyaksikan kemuliaan Kristus di gunung transfigurasi dan berada di taman Getsemani bersama-Nya. Namun kini ia menjadi rasul pertama yang mati syahid. Dunia mungkin melihat ini sebagai kekalahan, tetapi bagi Allah, ini adalah pemenuhan nubuat Yesus: “Cawan-Ku akan kamu minum” (Markus 10:39). Yakobus telah menjalani panggilannya sampai akhir.

Kematian Yakobus tidak menyurutkan Injil. Justru sebaliknya, catatan sejarah menunjukkan bahwa semakin besar penindasan, semakin kuat pertumbuhan iman. Orang Kristen tidak hidup untuk mempertahankan nyawa, tetapi untuk menyelesaikan tugas dari Kristus. Inilah kekuatan Injil yang tidak bisa dibungkam oleh pedang, penjara, atau ancaman sekalipun (Roma 8:35–39).

II. Kematian Orang Benar Ada dalam Kendali Allah (Ay. 3–4)

“Ketika Herodes melihat, bahwa hal itu menyenangkan hati orang Yahudi, ia melanjutkan dengan menangkap Petrus juga... Lalu ia menyuruh menaruh Petrus dalam penjara.”

Tindakan Herodes menunjukkan motif politik yang kejam. Setelah Yakobus, ia menangkap Petrus, pemimpin utama jemaat. Niatnya jelas: menghabisi kepemimpinan gereja. Ia menyuruh empat regu prajurit menjaga Petrus, sebuah pengamanan berlebihan untuk seorang pemberita Injil yang tidak bersenjata. Tetapi kita tahu bahwa Herodes hanya bisa bertindak sejauh yang Allah izinkan. Tuhan mengizinkan Yakobus mati, tetapi Dia akan menyelamatkan Petrus, karena rencana-Nya belum selesai bagi Petrus.

Pertanyaannya: Mengapa Yakobus mati, tapi Petrus diselamatkan? Ini bukan soal favoritisme Allah, tetapi soal kedaulatan rencana-Nya. Tuhan punya waktu-Nya bagi setiap orang. Yakobus sudah menyelesaikan panggilannya; Petrus belum. Kita tidak bisa mengukur kasih Allah berdasarkan panjang umur atau keselamatan fisik. Yang pasti, kematian orang benar di tangan Tuhan adalah hal yang berharga (Mazmur 116:15).

Kita juga belajar bahwa musuh Injil bisa merencanakan banyak hal jahat, tetapi Allah tetap memegang kendali akhir. Apa yang tampak sebagai kemenangan musuh, seringkali adalah pintu masuk bagi campur tangan Allah yang luar biasa. Kita tidak perlu takut akan keputusan politik atau kekuatan militer, sebab Tuhan tetap berdaulat di atas segalanya (Amsal 21:1).

III. Doa Adalah Kekuatan Terbesar Gereja (Ay. 5)

“Demikianlah Petrus ditahan di dalam penjara. Tetapi jemaat dengan tekun mendoakannya kepada Allah.”

Respon gereja bukan dengan protes jalanan, bukan dengan kekerasan, tetapi dengan doa yang tekun. Doa adalah bentuk iman aktif yang percaya bahwa Tuhan bisa bertindak di luar batas logika dan rencana manusia. Mereka tidak pasrah, tetapi juga tidak membalas. Mereka memilih jalan rohani: berseru kepada Tuhan.

Kata “dengan tekun” menunjukkan intensitas dan kesinambungan. Jemaat tidak sekadar berdoa satu kali, melainkan terus-menerus. Ini mencerminkan bahwa doa bukanlah pelengkap, tetapi senjata utama gereja. Mungkin saat itu mereka tidak tahu bagaimana Tuhan akan menyelamatkan Petrus, tetapi mereka tahu siapa yang harus mereka panggil: Allah yang hidup.

Hasil dari doa itu akan terlihat dalam ayat-ayat berikutnya (Kis. 12:6–11), saat Allah mengutus malaikat dan melepaskan Petrus secara supranatural. Ini mengingatkan kita bahwa tidak ada rantai yang terlalu kuat bagi Tuhan, dan tidak ada pintu besi yang tidak bisa Dia buka. Tetapi sebelum kelepasan itu terjadi, doa adalah jembatannya. Inilah kekuatan gereja sejati — gereja yang berdoa, bukan yang panik.

Penutup

Kematian Yakobus dan penahanan Petrus mengajarkan kita bahwa mengikut Kristus bisa sangat mahal. Tetapi dalam setiap tantangan, Allah tetap memegang kendali. Dunia bisa mengambil tubuh kita, tapi tidak bisa memadamkan Injil. Kita dipanggil bukan untuk takut, melainkan untuk setia sampai akhir dan percaya bahwa kuasa doa lebih besar daripada kuasa manusia.

“Berbahagialah orang yang dianiaya oleh sebab kebenaran, karena mereka lah yang empunya Kerajaan Sorga.” (Matius 5:10)

Kamis, 14 Agustus 2025

“Dari Kegagalan Menjadi Berguna: Perjalanan Iman Yohanes Markus”. Kisah Para Rasul 13:5, 13 & 2 Timotius 4:11

Oleh : Pdm. Fredrik Dandel, ST, STh, MAg, MTh

Pendahuluan

Banyak orang berpikir bahwa sekali gagal dalam pelayanan, hidupnya tidak akan dipakai Tuhan lagi. Namun, Alkitab justru penuh dengan contoh orang-orang yang pernah jatuh, lalu dipulihkan, dan kemudian dipakai luar biasa. Salah satu kisah yang menguatkan kita adalah kisah Yohanes Markus. Ia memulai pelayanan dengan antusias, namun sempat mundur di tengah jalan. Meski demikian, akhir hidupnya menunjukkan bahwa Tuhan bisa memulihkan dan memakainya kembali.

Kisah Yohanes Markus tercatat dalam Kisah Para Rasul 13, di mana ia disebut sebagai pembantu Paulus dan Barnabas. Namun di ayat 13, Markus meninggalkan mereka dan kembali ke Yerusalem. Keputusan itu menimbulkan luka dalam hubungan pelayanannya dengan Paulus, bahkan menjadi alasan terjadinya perpisahan antara Paulus dan Barnabas (Kis. 15:36–39). Meski demikian, Markus tidak berhenti di situ. Tuhan membentuknya dan mengembalikannya pada jalur panggilan-Nya.

Hari ini kita akan belajar tiga hal dari perjalanan Yohanes Markus: (1) Memulai dengan kerelaan melayani, (2) Mengalami kegagalan di tengah jalan, dan (3) Dipulihkan untuk menjadi berguna. Semua ini mengajarkan bahwa masa lalu kita tidak harus menentukan masa depan pelayanan kita.

1. Memulai dengan Kerelaan Melayani

Kisah 13:5 – “Mereka mempunyai Yohanes sebagai pembantu mereka.”

Yohanes Markus adalah contoh anak muda yang dibesarkan dalam keluarga yang takut akan Tuhan. Ibunya, Maria, membuka rumahnya untuk pertemuan jemaat (Kis. 12:12). Dari kecil Markus sudah melihat iman yang hidup, dan itu membentuk hatinya untuk melayani. Ketika Paulus dan Barnabas berangkat dari Antiokhia, Markus siap ikut sebagai “pembantu” mereka. Kata “pembantu” di sini tidak merendahkan, justru menunjukkan kerelaan hati untuk melayani dalam hal apa pun yang dibutuhkan.

Sering kali kita berpikir melayani berarti langsung berada di depan, tetapi Markus mengajarkan bahwa pelayanan sejati dimulai dari kesediaan mengerjakan hal-hal sederhana. Yesus sendiri berkata, “Barangsiapa mau menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu” (Mat. 20:26). Markus tidak menuntut posisi, ia hanya mau ikut terlibat dan membantu pekerjaan Tuhan.

Pelajaran bagi kita: Kerelaan adalah pintu awal untuk dipakai Tuhan. Tuhan mencari hati yang mau berkata, “Ini aku, utuslah aku” (Yes. 6:8), bahkan jika tugas yang diberikan sederhana. Sebelum Tuhan mempercayakan hal-hal besar, Dia ingin melihat kesetiaan kita dalam hal-hal kecil (Luk. 16:10).

2. Mengalami Kegagalan di Tengah Jalan

Kisah 13:13 – “Yohanes meninggalkan mereka dan kembali ke Yerusalem.”

Sayangnya, perjalanan pelayanan Markus tidak berjalan mulus. Dalam Kisah 13:13, ia meninggalkan Paulus dan Barnabas di Perga, lalu pulang ke Yerusalem. Alkitab tidak menjelaskan alasannya secara pasti, tetapi kemungkinan faktor kelelahan, rasa takut, atau kaget melihat beratnya pelayanan di ladang misi. Apapun alasannya, Paulus menganggap itu sebagai bentuk ketidaksetiaan (Kis. 15:38).

Kegagalan ini berdampak besar. Ketika Paulus hendak melakukan perjalanan misi kedua, Barnabas ingin membawa Markus lagi, tetapi Paulus menolak keras. Perbedaan pandangan ini membuat mereka berpisah pelayanan. Ini adalah momen kelam bagi Markus. Ia harus menerima bahwa seorang rasul besar tidak lagi percaya kepadanya.

Pelajaran bagi kita: kegagalan dalam pelayanan bisa melukai, bahkan memutuskan hubungan dengan orang yang kita hormati. Namun kegagalan bukanlah akhir cerita. Tuhan bisa memakai kegagalan sebagai proses pendewasaan, supaya karakter kita ditempa dan iman kita dimurnikan.

3. Dipulihkan untuk Menjadi Berguna

2 Timotius 4:11 – “Ambillah Markus dan bawalah ia ke mari, karena pelayanannya berguna bagiku.”

Waktu berlalu, dan Markus tetap melayani. Ia tidak menyerah meskipun pernah gagal. Ia setia bersama Barnabas, kemudian melayani bersama Petrus, yang menyebutnya “anakku” (1 Ptr. 5:13). Kedekatan ini membentuk Markus menjadi pelayan Tuhan yang matang. Dari kesaksian Petrus inilah Markus menulis Injil Markus, yang menonjolkan Yesus sebagai Hamba yang setia.

Pemulihan hubungan dengan Paulus terjadi di akhir hidup Paulus. Dalam 2 Timotius 4:11, Paulus justru meminta Markus datang karena “pelayanannya berguna bagiku.” Ini adalah titik balik luar biasa,  orang yang dulu dianggap tidak layak, kini diakui berguna oleh rasul besar. Inilah bukti bahwa Tuhan mampu memulihkan reputasi, hubungan, dan panggilan seseorang.

Pelajaran bagi kita: Tidak ada kegagalan yang terlalu besar untuk ditebus oleh kasih karunia Allah. Yang penting adalah kita mau belajar, bertumbuh, dan tetap setia. Allah tidak melihat masa lalu kita sebagai penentu, tetapi hati kita hari ini sebagai penentu masa depan kita.

Penutup

Kisah Yohanes Markus mengajarkan bahwa perjalanan iman sering kali berliku: kita bisa memulai dengan baik, lalu jatuh, tetapi oleh kasih karunia Tuhan kita bisa dipulihkan. Markus pernah gagal, pernah diragukan, tetapi akhirnya menjadi penulis Injil dan pelayan yang berguna. Tuhan tidak mencari orang yang sempurna, tetapi orang yang mau dibentuk dan setia sampai akhir.

Kalau hari ini kita merasa pernah mengecewakan Tuhan atau gagal di dalam pelayanan, ingatlah kisah Markus. Jangan berhenti hanya karena pernah jatuh. Bangkitlah, izinkan Tuhan membentuk kita, dan teruslah melayani. Siapa tahu, suatu hari nanti, orang yang pernah meragukan kita justru akan berkata, “Pelayananmu berguna bagiku.”

Selasa, 12 Agustus 2025

Allah Orang Hidup : Jawaban Yesus Atas Penolakan Kebangkitan. Matius 22:23-33

Oleh : Pdm. Fredrik Dandel, ST, STh, MAg, MTh

Pendahuluan

Pada masa pelayanan Yesus, Ia sering berhadapan dengan berbagai kelompok keagamaan Yahudi yang memiliki pemahaman teologis yang berbeda-beda. Salah satunya adalah kelompok Saduki, sebuah kelompok elit, aristokrat, yang memegang kekuasaan di Bait Allah dan Sanhedrin. Kelompok ini terkenal karena menolak ajaran tentang kebangkitan, malaikat, dan kehidupan setelah kematian. Mereka lebih menekankan hukum Musa dan realitas kehidupan dunia ini.

Dalam Matius 22:23–33, kita menemukan orang-orang Saduki datang kepada Yesus, bukan dengan maksud mencari kebenaran, tetapi untuk menjebak dan mempermalukan-Nya. Mereka mengajukan pertanyaan tentang seorang perempuan yang menikah tujuh kali, dan bertanya siapa yang akan menjadi suaminya pada hari kebangkitan. Ini bukan pertanyaan tulus, melainkan sindiran yang ingin menunjukkan kebodohan doktrin kebangkitan.

Namun Yesus menjawab dengan hikmat yang ilahi dan membawa kita pada satu pengertian yang dalam: Allah adalah Allah orang hidup, bukan orang mati. Melalui jawaban-Nya, Yesus membungkam orang Saduki, mengungkap kesalahan mereka dalam menafsirkan Kitab Suci, dan menegaskan bahwa kebangkitan adalah realitas yang dijanjikan oleh Allah.

I. Orang Saduki Menolak Kebangkitan Karena Ketidaktahuan Akan Kitab Suci (ayat 23–28)

Orang Saduki datang dengan maksud untuk menjebak Yesus. Mereka mengajukan kasus hipotesis tentang seorang perempuan yang menikahi tujuh bersaudara secara berurutan, sesuai hukum levirat dari Ulangan 25:5–10. Maksud mereka adalah untuk memperolok doktrin kebangkitan yang diyakini oleh orang Farisi dan oleh Yesus. Dengan membesar-besarkan situasi ini, mereka ingin menunjukkan bahwa kebangkitan membuat hubungan pernikahan menjadi membingungkan dan tidak masuk akal.

Namun yang sebenarnya mereka tunjukkan adalah ketidaktahuan akan maksud rohani dari Kitab Suci. Mereka memperlakukan kebangkitan seperti kehidupan dunia ini, seolah-olah tatanan duniawi seperti pernikahan akan tetap berlaku di dunia yang akan datang. Ini mencerminkan pemahaman yang dangkal dan legalistik, bukan iman yang hidup akan kuasa Allah.

Banyak orang zaman sekarang juga seperti orang Saduki: mereka menolak hal-hal rohani atau supranatural karena tidak bisa dinalar secara logika manusia. Mereka lupa bahwa Firman Allah tidak hanya bicara tentang hukum, tetapi juga tentang kuasa-Nya yang kekal dan rencana-Nya yang melampaui kehidupan ini.

Bandingan: 1 Korintus 2:14 – “Tetapi manusia duniawi tidak menerima apa yang berasal dari Roh Allah…”

II. Kebangkitan Itu Nyata dan Tidak Sama Dengan Hidup Dunia Ini (ayat 29–30)

Yesus menegur mereka dengan tegas: "Kamu sesat, sebab kamu tidak mengerti Kitab Suci maupun kuasa Allah." Kata “sesat” di sini menunjukkan bahwa kesalahan mereka bukan hanya intelektual, tetapi rohani dan moral. Mereka tidak tahu isi Kitab Suci secara utuh, dan tidak percaya akan kuasa Allah yang mampu membangkitkan orang mati dan mengubah keadaan hidup.

Yesus kemudian menjelaskan bahwa dalam kebangkitan, orang tidak kawin atau dikawinkan, melainkan hidup seperti malaikat di surga. Ini bukan berarti kita menjadi malaikat, melainkan bahwa keadaan hidup di surga berbeda dengan di bumi. Hubungan seperti pernikahan tidak berlaku di sana karena kehidupan kekal adalah relasi yang sempurna dengan Allah.

Jawaban ini mengajarkan kita untuk tidak membawa pemahaman duniawi ke dalam hal-hal surgawi. Kebangkitan bukanlah kelanjutan dari hidup dunia dengan segala formatnya, melainkan transformasi hidup yang baru. Kita dipanggil untuk percaya, bukan mengandalkan logika semata.

Bandingan: Filipi 3:21 – “...yang akan mengubah tubuh kita yang hina ini, sehingga serupa dengan tubuh-Nya yang mulia...”

III. Allah Adalah Allah Orang Hidup (ayat 31–33)

Yesus lalu membawa mereka kembali kepada Taurat Musa, kitab yang mereka akui. Ia mengutip Keluaran 3:6, di mana Allah menyatakan diri sebagai: “Aku Allah Abraham, Allah Ishak, dan Allah Yakub.” Yesus menekankan bahwa Allah tidak mengatakan “Aku pernah menjadi Allah mereka,” tetapi “Aku adalah Allah mereka.” Artinya, Abraham, Ishak, dan Yakub masih hidup di hadapan Allah, meskipun secara jasmani mereka telah mati.

Inilah dasar pengharapan akan kebangkitan: Allah adalah Allah yang hidup, dan umat-Nya hidup di dalam Dia. Jika Allah adalah Allah orang hidup, maka semua orang percaya akan dibangkitkan dan menikmati hidup kekal bersama-Nya. Jawaban ini begitu kuat sehingga orang banyak pun takjub mendengar-Nya.

Kita pun harus hidup dengan pengharapan akan kebangkitan. Iman kepada Allah yang hidup mengubah cara kita menghadapi penderitaan, kematian, dan pengharapan akan masa depan. Kita tidak percaya kepada Allah yang mati, tetapi kepada Allah yang berkuasa memberi hidup yang kekal.

Bandingan: Yohanes 11:25 – “Akulah kebangkitan dan hidup; barangsiapa percaya kepada-Ku, ia akan hidup walaupun ia sudah mati.”

Penutup

Kisah ini bukan sekadar debat antara Yesus dan orang Saduki, tetapi pengajaran penting bagi kita semua tentang realitas kebangkitan dan kuasa Allah. Kita dipanggil untuk memahami Kitab Suci bukan hanya dengan akal, tetapi juga dengan iman yang percaya bahwa Allah sanggup melakukan perkara besar melebihi apa yang bisa kita bayangkan.

Yesus menegaskan bahwa kebangkitan itu nyata, dan dalam hidup yang akan datang, Allah menyatakan kemuliaan-Nya dengan cara yang tidak bisa dibandingkan dengan kehidupan dunia ini. Kita harus mempercayai janji ini dan mempersiapkan diri untuk kehidupan kekal yang dijanjikan kepada semua yang percaya kepada Kristus.

Kiranya kita tidak seperti orang Saduki yang sesat karena tidak mengenal Firman dan kuasa Allah. Sebaliknya, marilah kita hidup dalam pengharapan akan kebangkitan dan memuliakan Allah dengan hidup yang kudus dan beriman teguh kepada-Nya.

Kamis, 07 Agustus 2025

Waspadalah terhadap Tobia: Musuh dari Dalam yang Membungkus Diri sebagai Sahabat Teks Utama: Nehemia 2:10–6:19

Oleh : Pdm. Fredrik Dandel, ST, STh, MAg, MTh

Pendahuluan

Dalam setiap karya besar yang berasal dari kehendak Tuhan, selalu ada perlawanan. Tidak jarang, musuh-musuh tersebut bukan hanya datang dari luar, melainkan juga dari dalam, melalui orang-orang yang tampak dekat, memiliki relasi personal, bahkan terlibat dalam kegiatan keagamaan. Kitab Nehemia adalah salah satu catatan Alkitab yang memperlihatkan dengan jelas dinamika ini. Di tengah semangat pembangunan kembali tembok Yerusalem yang hancur, muncullah tokoh Tobia sebagai simbol dari musuh tersembunyi yang berusaha merusak pekerjaan Allah, bukan dengan senjata, tetapi dengan pengaruh, ejekan, dan tipu daya.

Tobia bukanlah seorang penyembah berhala yang terang-terangan menantang Allah seperti Firaun atau Goliat. Ia beroperasi secara halus, menyusup ke dalam komunitas umat Tuhan melalui hubungan keluarga, pengaruh sosial, dan relasi politik. Di mata manusia, ia tampak memiliki kedekatan dan kepedulian, tetapi di balik itu, ia menentang pemulihan Yerusalem dan berniat meruntuhkan semangat umat. Ini menjadi gambaran yang sangat relevan bagi gereja dan orang percaya di masa kini, di mana sering kali tantangan terberat bukan dari luar, melainkan dari dalam tubuh Kristus sendiri.

Kisah tentang Tobia mengajarkan kita untuk waspada dan peka terhadap segala bentuk pengaruh yang dapat menghentikan atau merusak pekerjaan Allah dalam hidup kita. Melalui khotbah ini, kita akan menelusuri siapa sebenarnya Tobia, bagaimana ia bekerja, dan pelajaran apa yang dapat kita tarik agar tetap setia dan teguh dalam menjalankan panggilan Tuhan. Sebab seperti Nehemia, kita dipanggil bukan hanya untuk membangun, tetapi juga untuk menjaga kemurnian dan keteguhan iman dalam menghadapi segala tipu muslihat musuh.

I. Tobia: Musuh yang Tersembunyi di Balik Relasi Sosial dan Kekerabatan. Nehemia 6:17–19; Nehemia 2:10

Tobia bukan hanya seorang lawan biasa. Ia adalah bagian dari jaringan sosial orang Yahudi melalui relasi pernikahan dan kekerabatan. Banyak orang Yehuda memiliki hubungan dengannya, bahkan imam besar Eliesyib memiliki menantu yang terhubung langsung dengan Tobia. Hal ini menjadikan Tobia sebagai musuh yang sulit dideteksi secara kasat mata, sebab ia masuk melalui hubungan kekeluargaan dan sosial.

Keberadaan Tobia dalam lingkaran orang Yehuda menunjukkan bahwa tidak semua yang dekat secara sosial benar-benar berpihak kepada kehendak Tuhan. Ini menjadi peringatan bahwa relasi pribadi tidak selalu menjamin kesatuan visi rohani. Dalam 2 Korintus 6:14, Paulus mengingatkan, "Janganlah kamu menjadi pasangan yang tidak seimbang dengan orang-orang yang tak percaya." Ini bukan hanya tentang pernikahan, tapi juga dalam persekutuan pelayanan dan kerja sama rohani.

Kita harus belajar membedakan antara kasih kepada sesama dan kompromi terhadap prinsip kebenaran. Jika kita tidak berhati-hati, seperti orang Yehuda waktu itu, kita bisa tertipu oleh seseorang yang tampak baik namun berpotensi menjadi alat penghancur dari dalam. Tobia mengajarkan bahwa iblis bisa menyusup lewat orang-orang yang memiliki akses pribadi kepada kita.

II. Tobia: Penghinaan dan Ejekan untuk Melemahkan Misi Allah. Nehemia 4:1–3; Mazmur 123:3–4

Tobia menggunakan strategi psikologis: ejekan dan penghinaan. Saat pembangunan tembok mulai berjalan, Tobia bersama Sanbalat menghina pekerjaan tersebut. Ia berkata, “Sekalipun seekor rubah naik ke atasnya, tembok batu mereka akan roboh” (Nehemia 4:3). Ejekan ini dimaksudkan untuk menjatuhkan semangat para pekerja dan meragukan misi yang mereka emban.

Strategi seperti ini masih sering terjadi dalam kehidupan pelayanan masa kini. Musuh sering kali tidak menyerang secara fisik lebih dulu, tetapi melalui kata-kata yang menjatuhkan, membuat kita ragu terhadap kemampuan diri dan panggilan Allah. Mazmur 123:3–4 menggambarkan doa orang yang dilecehkan, namun tetap berharap pada Tuhan. Kita diajar untuk tidak membalas ejekan dengan amarah, melainkan dengan penyerahan diri kepada Tuhan yang benar.

Nehemia tidak terpancing oleh ejekan itu. Ia berdoa dan terus bekerja (Nehemia 4:4–6). Ini menjadi teladan bagi kita: jangan biarkan suara-suara negatif memadamkan semangat kita dalam mengerjakan panggilan Tuhan. Ketika kita tetap fokus dan bersandar kepada Tuhan, ejekan musuh akan menjadi sia-sia.

III. Tobia: Konspirasi Jahat di Balik Surat dan Nabi Palsu. Nehemia 6:1–14

Tobia tak berhenti pada ejekan; ia terlibat dalam konspirasi serius. Ia bersama Sanbalat berupaya menjebak Nehemia dengan mengundangnya ke pertemuan palsu di Lembah Ono, yang sebenarnya adalah perangkap. Ketika gagal, mereka menyewa nabi palsu bernama Semaya untuk menakut-nakuti Nehemia agar ia bersembunyi di Bait Allah, sehingga bisa dituduh penakut dan tidak layak memimpin.

Musuh akan berusaha mengacaukan kita bukan hanya dengan serangan langsung, tapi juga melalui tipuan rohani. Tobia memanfaatkan seorang nabi yang tampak sah, namun sebenarnya dibayar untuk menyesatkan. Ini mengingatkan kita pada Matius 7:15, "Waspadalah terhadap nabi-nabi palsu yang datang kepadamu dengan menyamar seperti domba, tetapi sesungguhnya mereka adalah serigala yang buas."

Nehemia tidak tertipu. Ia peka terhadap suara Tuhan dan menolak untuk tunduk pada rasa takut. Ia berkata, “Orang seperti aku tidak akan lari!” (Nehemia 6:11). Kita harus melatih kepekaan rohani untuk membedakan mana suara dari Tuhan dan mana dari manusia. Dalam dunia pelayanan, integritas dan keberanian seperti Nehemia sangat dibutuhkan.

IV. Tobia: Simbol dari Musuh Rohani yang Menyusup ke Dalam Bait Allah. Nehemia 13:4–9

Setelah tembok selesai dan Nehemia sempat kembali ke Persia, Tobia justru diberi ruang di bait Allah oleh imam besar Eliesyib. Ia diberi kamar dalam pelataran rumah Allah, tempat yang seharusnya digunakan untuk perlengkapan ibadah. Ini adalah bentuk pencemaran rumah Tuhan yang sangat serius.

Ketika Nehemia kembali dan melihat hal itu, ia sangat marah. Ia mengusir Tobia dan barang-barangnya keluar dari kamar tersebut, lalu mentahirkan kembali tempat itu (Nehemia 13:8–9). Tindakan tegas ini menunjukkan bahwa rumah Tuhan tidak boleh dikotori oleh kompromi atau kehadiran orang fasik, betapapun kuatnya hubungan pribadi yang ada.

Secara simbolis, Tobia bisa melambangkan pikiran, sikap, atau pengaruh duniawi yang kita izinkan masuk ke dalam hidup rohani kita. 1 Korintus 3:16–17 menyebutkan bahwa kita adalah bait Allah dan Roh Allah diam dalam kita. Maka, kita harus menjaga kekudusan hidup kita dan menolak setiap bentuk kompromi yang mencemari panggilan ilahi.

Penutup: Waspadalah terhadap Tobia di Sekitarmu

Kisah Tobia bukan sekadar sejarah kuno, melainkan peringatan nyata tentang keberadaan musuh yang membungkus dirinya dalam rupa sahabat, pemimpin, bahkan figur religius. Kita dipanggil untuk memiliki hati seperti Nehemia, tegas, berdoa, tidak takut, dan setia menjaga integritas pelayanan.

Efesus 6:12: “Karena perjuangan kita bukanlah melawan darah dan daging, tetapi melawan pemerintah-pemerintah... roh-roh jahat di udara.”

Mari kita terus berjaga, mengenakan perlengkapan senjata Allah, dan menolak setiap pengaruh Tobia yang mencoba merusak pekerjaan Allah dalam hidup dan pelayanan kita.

Rabu, 06 Agustus 2025

SETRIKE

Oleh : Fredrik Dandel (Pemerhati Budaya Siau)


Setrike, atau dalam Bahasa Indonesia disebut setrika, adalah salah satu alat rumah tangga yang sangat umum digunakan hingga saat ini. Kehadirannya begitu penting dalam kehidupan sehari-hari, karena membantu kita merapikan pakaian yang kusut agar tampak rapi dan nyaman dipakai. Di era modern ini, kebanyakan orang sudah terbiasa menggunakan setrika listrik. Cukup mencolokkan kabel ke sumber listrik, menunggu beberapa menit, lalu alat ini siap digunakan untuk menyetrika pakaian dengan mudah dan cepat. Setrika listrik telah menjadi solusi praktis untuk aktivitas harian, baik saat bersiap ke sekolah, pergi ke kantor, menghadiri ibadah di gereja, maupun dalam berbagai kegiatan lainnya yang menuntut penampilan rapi dan bersih.

Namun, pernahkah Anda membayangkan bagaimana orang-orang menyetrika pakaian sebelum adanya teknologi setrika listrik? Sebelum tahun 1990-an, terutama di banyak wilayah pedesaan, termasuk di wilayah Kecamatan Siau Barat Selatan, atupun Pulau Siau pada umumnya masih mengandalkan setrika arang sebagai alat utama untuk merapikan pakaian. Setrika arang tidak hanya berbeda dari segi bentuk dan berat, tetapi juga dari segi proses penggunaannya yang jauh lebih rumit dan memerlukan waktu serta tenaga ekstra. Ini adalah bagian dari sejarah kehidupan rumah tangga yang kini mulai terlupakan, padahal memiliki cerita dan nilai tersendiri.

Proses menggunakan setrika arang dimulai dengan menyiapkan bahan bakar berupa tempurung kelapa atau potongan kayu yang dibakar hingga menjadi bara. Setelah bara menyala sempurna, barulah arang tersebut dimasukkan ke dalam ruang pembakaran di dalam setrika. Panas dari bara inilah yang kemudian menghantarkan suhu ke permukaan logam bagian bawah setrika, sehingga pakaian dapat disetrika. Butuh waktu sekitar 30 menit sejak proses pembakaran hingga setrika benar-benar siap digunakan. Tidak hanya itu, selama proses menyetrika, pengguna harus memantau bara arang secara berkala. Bila nyala bara mulai meredup, arang baru bisa ditambahkan, lalu ditiup perlahan agar bara kembali menyala dan panas kembali stabil.

Salah satu ciri khas dari setrika arang ini adalah adanya ornamen atau pegangan berbentuk ayam di bagian atas atau ujung setrika. Ayam ini bukan hanya sekadar hiasan, tetapi memiliki fungsi praktis sebagai tuas pembuka dan penutup setrika. Tuas ini digunakan saat kita ingin memasukkan arang ke dalam setrika atau mengeluarkannya kembali setelah pekerjaan menyetrika selesai. Bentuk dan desain setrika arang memang mencerminkan kreativitas lokal pada masanya, dengan sentuhan artistik yang membuat setiap unitnya memiliki keunikan tersendiri. Meski terlihat sederhana dan tradisional, cara kerja serta efektivitasnya cukup luar biasa pada zamannya.

Kini, setrika arang mungkin sudah tidak ditemukan dan digunakan, tergeser oleh kepraktisan setrika listrik bahkan setrika uap modern. Namun demikian, alat ini menyimpan nilai sejarah dan budaya yang tinggi, menjadi saksi bisu dari perjuangan dan ketekunan generasi terdahulu dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Mengenang setrika arang bukan sekadar nostalgia, tetapi juga bentuk apresiasi terhadap cara hidup masa lalu yang penuh dengan kesederhanaan, kerja keras, dan kreativitas. Dalam dunia yang serba cepat dan instan seperti sekarang, mengenang alat seperti setrika arang bisa menjadi pengingat bahwa segala kemudahan hari ini berdiri di atas proses panjang yang telah dilalui oleh generasi sebelumnya.

Senin, 04 Agustus 2025

Hidup Kudus sebagai Tanggapan atas Anugerah. 1 Petrus 1:13–16

Oleh : Pdm. Fredrik Dandel, ST, STh, MAg, MTh

Pendahuluan

Hidup dalam dunia yang tidak bersahabat dengan iman seringkali menimbulkan kelelahan rohani. Orang-orang percaya pada zaman Rasul Petrus sedang mengalami penganiayaan dan tekanan dari lingkungan sekitar mereka. Sebagai pendatang dan perantau di tengah dunia yang gelap, mereka bergumul untuk tetap setia. Dalam situasi seperti ini, mudah bagi seseorang untuk menyerah, kehilangan arah, atau bahkan tergoda kembali kepada kehidupan lama yang lebih nyaman secara lahiriah. Surat 1 Petrus ditulis untuk menguatkan mereka agar tetap berdiri teguh dalam kasih karunia Tuhan.

Dalam bagian sebelumnya (ayat 1–12), Petrus mengingatkan bahwa mereka telah menerima keselamatan yang besar dan mulia, sesuatu yang bahkan para nabi dan malaikat ingin menyelidiki. Keselamatan itu bukan hanya janji masa depan, tetapi juga kekuatan untuk menjalani hidup saat ini. Maka, bagian yang kita renungkan hari ini (ayat 13–16) adalah ajakan untuk merespons anugerah keselamatan itu dengan cara hidup yang sesuai: hidup dalam kekudusan. Kekudusan bukanlah tuntutan yang dingin, tetapi panggilan yang lahir dari relasi kasih dengan Allah yang telah memilih dan menebus kita.

Seruan untuk hidup kudus dalam teks ini sangat relevan bagi orang percaya masa kini. Kita pun hidup di tengah dunia yang tidak sejalan dengan nilai-nilai Kristus. Godaan untuk bersikap kompromi, untuk menyerah kepada keinginan daging, atau untuk mencampuradukkan kekristenan dengan standar dunia, terus menerus mengintai. Tetapi melalui firman ini, Tuhan memanggil kita untuk menyiapkan akal budi, hidup waspada, dan mengarahkan pengharapan kita kepada kasih karunia-Nya. Hidup kudus bukan hanya mungkin, tetapi mutlak perlu sebagai tanda bahwa kita adalah anak-anak Allah.

I. Siapkan Akal Budimu dan Arahkan Harapanmu (ayat 13)

Petrus berkata, “Karena itu, siapkanlah akal budimu, waspadalah dan letakkanlah pengharapanmu seluruhnya atas kasih karunia yang dianugerahkan kepadamu pada waktu Yesus Kristus menyatakan diri-Nya.” Seruan ini mengandung tiga langkah rohani: (1) menyiapkan akal budi; (2) hidup waspada; dan (3) mengarahkan pengharapan kepada Kristus. Pikiran yang siap artinya berpikir jernih dan fokus secara rohani, tidak hanyut oleh pengaruh dunia atau ketakutan akan penderitaan.

Sikap waspada yang dimaksud Petrus adalah kesadaran terus-menerus bahwa kita hidup dalam masa penantian. Dunia ini bukan rumah kita yang kekal; kita sedang menantikan kedatangan Kristus. Itulah sebabnya kita harus hidup dengan kesadaran rohani penuh, tidak tidur secara rohani (bandingkan dengan 1 Tesalonika 5:6–8).

Dan dasar dari semua itu adalah kasih karunia, bukan usaha manusia. Petrus menegaskan bahwa pengharapan kita harus "seluruhnya" tertuju pada anugerah Kristus, bukan sebagian. Seorang Kristen sejati tidak hanya berharap pada Tuhan untuk masa kekekalan, tetapi juga menjadikan pengharapan itu kekuatan untuk hidup benar setiap hari.

II. Hiduplah Sebagai Anak-anak yang Taat (ayat 14)

Ayat 14 berkata, "Hiduplah sebagai anak-anak yang taat dan jangan turuti hawa nafsu yang menguasai kamu pada waktu kebodohanmu." Identitas sebagai anak Tuhan seharusnya tercermin dalam gaya hidup yang baru. Kita tidak lagi diperintah oleh nafsu seperti dahulu, ketika kita belum mengenal Allah. Ada perubahan nyata yang harus tampak dalam cara kita berpikir, berbicara, dan bertindak.

Ketaatan bukan sekadar menghindari dosa besar, tetapi juga mencerminkan relasi yang benar dengan Tuhan. Anak yang taat mengerti kehendak Bapa dan melakukannya bukan karena takut dihukum, melainkan karena kasih. Bandingkan dengan Yohanes 14:15, “Jikalau kamu mengasihi Aku, kamu akan menuruti segala perintah-Ku.”

Perubahan hidup ini adalah hasil dari kelahiran baru, bukan usaha moral semata. Kita tidak lagi hidup dalam kebodohan, yaitu hidup tanpa pengenalan akan Allah. Sekarang, sebagai anak-anak terang (Efesus 5:8), kita hidup berbeda, bukan mengikuti arus dunia, melainkan taat kepada Kristus.

III. Jadilah Kudus dalam Segala Hal (ayat 15–16)

Petrus menegaskan, “Tetapi hendaklah kamu menjadi kudus di dalam seluruh hidupmu sama seperti Dia yang kudus, yang telah memanggil kamu.” Kekudusan bukan hanya untuk hari Minggu atau kegiatan gereja. Kekudusan harus meresap dalam seluruh hidup: pekerjaan, keluarga, pikiran, dan tindakan sehari-hari. Ini adalah panggilan yang radikal—untuk menjadi seperti Allah dalam karakter dan tujuan hidup.

Ayat 16 mengutip Imamat 11:44-45: “Kuduslah kamu, sebab Aku kudus.” Ini menunjukkan bahwa kekudusan bukanlah ide baru, tetapi sudah menjadi standar Allah sejak Perjanjian Lama. Kekudusan adalah tanda hubungan yang hidup dengan Tuhan. Kita dipanggil untuk menjadi berbeda dari dunia, bukan agar merasa lebih baik, tetapi agar memuliakan Tuhan yang kudus.

Hidup kudus bukan hidup sempurna tanpa salah, tetapi hidup yang terpisah dari dosa dan terus dibentuk oleh Roh Kudus. 2 Korintus 7:1 berkata, “Karena kita memiliki janji-janji itu... marilah kita menyucikan diri kita dari semua pencemaran tubuh dan roh, dan dengan demikian menyempurnakan kekudusan kita dalam takut akan Allah.” Kekudusan bukan pilihan, tetapi perintah yang menunjukkan bahwa kita adalah milik Allah.

Penutup

Hidup dalam kekudusan bukanlah beban, melainkan kehormatan. Kita dipanggil bukan hanya untuk menerima keselamatan, tetapi untuk mencerminkan kekudusan Allah dalam hidup sehari-hari. Dalam dunia yang penuh kompromi, Allah memanggil umat-Nya untuk hidup berbeda, siap secara rohani, taat, dan kudus. Kiranya setiap kita menyambut panggilan ini dengan sukacita dan tekad, sambil menantikan kedatangan Kristus dalam kemuliaan.