Rabu, 12 Juni 2013

MEMBEDAH SEJARAH TEMPOE DOELOE LEWAT LAGU TRADISIONAL MASYARAKAT SIAU (Khususnya Masyarakat di Kec. Siau Barat Selatan).


Oleh : Fredrik Dandel, ST.
Masyarakat Pulau Siau sejak jaman dahulu merupakan masyarakat yang berbudaya. Hal ini dibuktikan bukan hanya karena pulau Siau dan sekitarnya pada lebih dari 500 tahun yang lalu telah menjadi sebuah negeri yang berdaulat dengan bentuk Kerajaan Siau. Tetapi juga dapat ditemukan dari cerita tempoe doeloe yang dikisahkan secara lisan dari satu generasi ke generasi lainnya.

Kisah yang diceritakan secara lisan seringkali diabadikan lewat syair-syair lagu. Umumnya syair lagu tersebut syarat dengan makna sejarah atau peristiwa yang dialami oleh masyarakat waktu itu. Seperti halnya syair dalam lagu berikut :

Nakataku si kami lima
Nikarusang u pamo
Palhiangheng e napapedi
Senggo e naghaghede

Pundalhe simbua nailang
Pundalhe simbua nailang
Pundalhe simbua nailang
Nikerea su Sawang u patung.

Lirik lagu diatas, menceritakan tentang suatu peristiwa yang menimpa lima orang yang pastinya berasal dari P. Siau. Dalam suatu perjalanan pelayaran mereka mengalami kerusakan Pamo (salah satu alat transportasi tradisional). Kerusakan tersebut rupanya amatlah hebat, sebab yang mungkin terjadi adalah karena terjangan ombak angin barat yang terkenal ganas, sehingga menyebabkan rusaknya .................................... (paliahenge napapedi), layar robek (Senggo e naghaghede) serta kehilangan dayung (pundalhe simbua nailang).
Dapat dibayangkan, ketika 3 (tiga) hal yang sangat dibutuhkan dalam pelayaran ini semuanya tak lagi berfungsi. Tentunya suatu hal yang sangat menghantui pikiran mereka, bahwa kematian akan segera menjemput, dan inilah yang sangat menakutkan mereka (Nakataku si kami lima).
Kelima orang tersebut, entah siapa dan berasal dari kampung mana ? sulitlah dipastikan identitasnya. Sekalipun ada orang tua yang mengatakan bahwa peristiwa ini terjadi di dekat Tonggeng Singkaha yang terkenal sangat berbahaya. Hal ini dapatlah dipertegas dengan syair lagu berikut ini :

Batuwulang, Niambangeng,
Kiawang, Hiung, Kinali,
Lehi, Pehe, Ondong, Paniki,
Paseng, Peling, Laghaeng,

Batusenggo, Eneraha,
Talawide, Mahuneni,
Tonggeng Singkaha berbahaya,
Tonggeng Bahu Sirungang.

Dari syairnya, dapat dipastikan bahwa pencipta lagu tersebut adalah warga masyarakat Kampung Talawid / Kamp. Mahuneni Kec. Siau Barat Selatan. Penggubah lagu mengetahui benar bahwa Tonggeng Singkaha adalah sebuah tanjung yang berbahaya. Mengapa berbahaya ? Berdasarkan penuturan beberapa orang tua yang saya tanyakan, disamping peristiwa yang menimpa 5 (lima) orang dalam Pamo seperti dikisahkan di atas, umumnya mereka juga mengaminkan bahwa tonggeng singkaha itu telah menelan banyak korban, terutama di seputar daerah Batu Derendung. Terungkaplah sebuah kisah tentang satu keluarga yang sempat hilang tak tahu rimbanya tatkala mereka melewati Tonggeng Singkaha ini dalam perjalanan pengembaraan mereka. Sampai sekarang cerita / mitos ini sangat membekas di hati masyarakat Kampung Talawid dan Kampung Mahuneni, sekalipun tidak diabadikan dalam syair lagu.

Ada pula syair lagu tradisional lainnya yang berbunyi seperti demikian :

Bulude Lisung
Bongkong Baliang
Tonggene Bahu
Bawa Singkaha

I Sire Epa
Nipunialang
Mahuneni
Soang Tamawala

Dalam lagu ini, penyair yang dapat dipastikan adalah masyarakat Kampung Mahuneni Kec. Siau Barat Selatan mencoba mengutarakan kecintaannya kepada Kampung halaman dengan mengabadikan empat lokasi sebagai penanda Kampung Mahuneni yakni : 1. Bulude Lisung, 2. Bongkong Baliang, 3. Tonggeng Bahu, serta 4. Tonggeng Singkaha.

Bersambung ................................

Tidak ada komentar:

Posting Komentar