Senin, 24 Februari 2025

SIKAP ORANG PERCAYA TERHADAP PEMERINTAH, PELAJARAN DARI JAWABAN YESUS. Lukas 20:20-26


Oleh : Pdm. Dr (C). Fredrik Dandel, ST, STh, M.Ag, M.Th.

Pendahuluan: 

Dalam Lukas 20:20-26, para pemuka agama mencoba menjebak Yesus dengan pertanyaan tentang membayar pajak kepada Kaisar. Mereka berharap jawaban-Nya akan menjebak-Nya dalam konflik politik, baik dengan rakyat Yahudi maupun dengan pemerintah Romawi. Namun, Yesus dengan hikmat-Nya memberikan jawaban yang penuh makna: "Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar, dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah." Kisah ini mengajarkan bahwa sebagai orang percaya, kita harus memahami dan menempatkan dengan benar kewajiban kita kepada pemerintah tanpa mengorbankan kesetiaan kita kepada Tuhan.

Dalam kehidupan sehari-hari, terutama pasca pemilu bahkan puncaknya saat pemerintah yang terpilih baru dilantik, masyarakat sering kali memiliki perasaan yang beragam terhadap kepemimpinan yang baru. Ada yang merasa puas dan mendukung penuh, sementara yang lain mungkin kecewa karena kandidat yang mereka pilih tidak menang. Dalam situasi seperti ini, penting bagi kita untuk bersikap bijak dan tetap menjalankan tanggung jawab sebagai warga negara yang baik dengan menghormati pemimpin yang telah terpilih. Selain itu, kita juga harus senantiasa mengingat bahwa kedaulatan Allah lebih tinggi dari sistem politik dunia, dan tujuan utama kita adalah menjalankan nilai-nilai Kerajaan Allah di tengah masyarakat.

Dengan memahami konteks ini, kita akan melihat tiga poin utama dari perikop ini. Pertama, kita akan melihat bagaimana orang yang menjadi "lawan" Yesus mencoba menjebak-Nya dalam perangkap politik. Kedua, kita akan belajar dari jawaban Yesus yang penuh hikmat dalam menghadapi pertanyaan yang sulit. Ketiga, kita akan menggali pelajaran rohani dari kisah ini yang relevan bagi kita, khususnya dalam konteks kehidupan pasca pemilu, kemudian setelah pemerintah baru dilantik. Dengan demikian, kita dapat hidup sebagai warga negara yang baik tanpa kehilangan fokus pada panggilan kita sebagai anak-anak Tuhan.

I. Perangkap yang Dipasang untuk Yesus (Lukas 20:20-22)

Ahli Taurat dan Imam-Iman Kepala Bangsa Yahudi tidak datang dengan niat baik, tetapi dengan maksud untuk menjerat-Nya dalam jebakan politik. Mereka mengutus mata-mata yang berpura-pura sebagai orang yang tulus untuk mengajukan pertanyaan tentang kewajiban membayar pajak kepada Kaisar. Mereka berharap jawaban Yesus akan membuat-Nya terjebak dalam kontroversi antara rakyat Yahudi yang membenci kekuasaan Romawi dan penguasa yang berhak menghukum mereka yang menolak membayar pajak. Dengan cara ini, mereka berusaha menghancurkan otoritas dan pengaruh Yesus di tengah masyarakat. Hal ini mengingatkan kita akan peringatan dalam Amsal 26:24-26, bahwa ada orang yang menyembunyikan kebencian dengan perkataan manis, tetapi hatinya penuh tipu daya.

Pertanyaan yang diajukan kepada Yesus adalah pertanyaan yang berbahaya. Jika Yesus mengatakan bahwa pajak harus dibayar, maka Ia akan dianggap berpihak kepada Roma dan kehilangan simpati orang-orang Yahudi. Sebaliknya, jika Ia mengatakan bahwa pajak tidak perlu dibayar, maka Ia bisa dituduh sebagai pemberontak yang menentang pemerintah Romawi. Para lawan-Nya berharap jawaban Yesus akan menimbulkan reaksi yang dapat digunakan sebagai dasar untuk menyingkirkan-Nya secara hukum atau sosial. Yesus sendiri telah memperingatkan murid-murid-Nya dalam Matius 10:16 untuk menjadi cerdik seperti ular dan tulus seperti merpati dalam menghadapi dunia yang penuh tipu muslihat.

Situasi ini mengingatkan kita akan berbagai strategi politik yang sering digunakan dalam dunia modern, terutama setelah pemerintah baru dilantik. Banyak pihak mencoba menggiring opini publik untuk kepentingan mereka sendiri, sering kali dengan cara yang licik dan manipulatif. Sebagai orang percaya, kita perlu berhati-hati dalam menghadapi provokasi politik dan tetap berpegang teguh pada nilai-nilai kebenaran serta keadilan yang diajarkan Tuhan.

II. Jawaban Yesus yang Bijaksana (Lukas 20:23-25)

Yesus tidak terpancing oleh jebakan yang dibuat oleh orang-orang yang membenci-Nya. Ia dengan tenang meminta mereka untuk menunjukkan sekeping dinar, mata uang yang digunakan untuk membayar pajak. Dengan bertanya tentang gambar dan tulisan yang ada pada koin tersebut, Yesus menegaskan bahwa uang itu milik Kaisar, sehingga logis jika diberikan kepada Kaisar sebagai bentuk tanggung jawab sipil. Dengan cara ini, Yesus tidak hanya menghindari jebakan mereka, tetapi juga mengajarkan prinsip penting tentang batas antara kewajiban kepada pemerintah dan kewajiban kepada Allah. Hal ini selaras dengan Roma 13:1, yang menyatakan bahwa setiap otoritas berasal dari Allah dan kita harus tunduk kepada pemerintah yang sah.

Jawaban Yesus menunjukkan keseimbangan yang luar biasa dalam memahami peran pemerintah dan peran iman dalam kehidupan orang percaya. Yesus tidak menolak sistem pemerintahan duniawi, tetapi juga tidak menjadikan pemerintah sebagai otoritas tertinggi dalam kehidupan rohani seseorang. Dengan mengatakan, "Berikanlah kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah," Yesus mengingatkan bahwa meskipun kita hidup dalam dunia yang memiliki sistem pemerintahan, ketaatan tertinggi kita tetap kepada Tuhan. Seperti yang dikatakan dalam Mazmur 24:1, seluruh bumi dan segala isinya adalah milik Tuhan.

Di era modern, khususnya setelah pemerintah baru dilantik, jawaban Yesus menjadi pedoman bagi kita dalam menjalani kehidupan sebagai warga negara dan orang percaya. Kita harus menjalankan kewajiban kita kepada pemerintah, seperti membayar pajak dan menaati hukum, tetapi pada saat yang sama, kita tidak boleh melupakan bahwa hidup kita sepenuhnya adalah milik Tuhan.

III. Pelajaran Rohani dari Kisah Ini dalam Konteks Pemerintahan yang Baru

Yesus mengajarkan bahwa kita harus menaati pemerintah dalam hal-hal yang menjadi tanggung jawabnya (1 Petrus 2:13-17). Pemimpin yang telah dilantik harus dihormati, bahkan jika pilihan mereka berbeda dengan pilihan kita. Kita diajak untuk tetap berpartisipasi aktif dalam kehidupan berbangsa dengan cara yang sehat dan konstruktif. Dalam konteks saat ini, ini berarti menerima kepemimpinan yang baru dengan sikap yang bijak, serta tidak menggunakan perbedaan pilihan politik sebagai alasan untuk membenci atau memecah belah.

Selain itu, kita harus mendoakan pemerintah dan mencari kesejahteraan bagi negeri kita sebagaimana diperintahkan dalam Yeremia 29:7. Sebagai orang percaya, kita memiliki peran penting dalam menjaga perdamaian dan kesejahteraan masyarakat.

Pada akhirnya, kita harus tetap berpegang pada fakta bahwa kewarganegaraan sejati kita adalah di dalam Kerajaan Allah (Filipi 3:20). Sistem politik dunia bisa berubah, tetapi kerajaan Allah kekal selamanya. Oleh karena itu, meskipun kita mungkin tidak memilih pemimpin yang sekarang berkuasa, kita harus tetap bersikap hormat, memberikan ucapan selamat dengan tulus, dan mendoakan mereka agar dapat memimpin dengan bijaksana sesuai dengan kehendak Tuhan.

Kesimpulan: 

Kisah ini mengajarkan bahwa sebagai orang percaya, kita memiliki tanggung jawab kepada pemerintah dan kepada Allah. Kita harus taat kepada hukum negara, tetapi yang lebih penting adalah memberikan hidup kita sepenuhnya kepada Tuhan. Setelah pemerintah dilantik, kita harus menghindari polarisasi dan tetap menjaga persatuan, dengan mengingat bahwa pemimpin manusia bersifat sementara, tetapi Allah tetap berdaulat selamanya. Marilah kita hidup sebagai warga negara yang baik di dunia ini, tetapi lebih dari itu, sebagai warga Kerajaan Allah yang sejati. Amin.

Jumat, 21 Februari 2025

Kloke : Jam Dinding Tempoe Doeloe

Oleh : Fredrik Dandel (Pemerhati Budaya Siau).

Tulisan ini merupakan pengembangan dari tulisan sebelumnya yang diupload pada Group FB Kecamatan Siau Barat Selatan, pada 9 September 2019.


Secara turun-temurun, masyarakat di Pulau Siau, Kab. Kepl. Siau Tagulandang Biaro menyebut jam dinding ini dengan nama "kloke." Mungkin nama tersebut diadopsi dari bahasa Inggris "clock" yang berarti jam. Sebagaimana juga bahasa Portugis yang mempengaruhi penggunaan kata "kadera" untuk menyebut kursi, begitu pula dengan penggunaan istilah "kloke" yang telah menjadi bagian dari kosa kata sehari-hari di banyak rumah tangga pada masyarakat Pulau Siau. Meskipun zaman terus berkembang, penggunaan kata tersebut tetap bertahan, menjadi warisan budaya yang mencerminkan sejarah panjang interaksi bahasa dan budaya di masyarakat kita.

Jam dinding jenis ini termasuk dalam kategori barang antik yang kini sudah sangat jarang ditemukan di rumah-rumah penduduk. Dulu, jam kloke merupakan salah satu barang yang hampir selalu ada di setiap rumah, sebagai penanda waktu yang praktis dan dapat diandalkan. Namun, seiring dengan kemajuan teknologi dan hadirnya jam bateray terlebih lagi jam digital, keberadaan jam kloke semakin langka. Bahkan, banyak keluarga yang mungkin tidak lagi mengenal atau menggunakan jam jenis ini.

Di rumah kami sendiri, kami memiliki sebuah kloke yang sudah sangat tua. Meskipun jam tersebut telah rusak dan tidak berfungsi dengan baik, saya selalu merasa tertarik untuk mengutak-atiknya. Dengan menggunakan kunci khusus yang merupakan kelengkapan jam tersebut, saya berusaha untuk memperbaikinya. Ketika berhasil, jam itu kembali berbunyi, mengingatkan saya akan kenangan masa lalu yang tidak bisa dilepaskan. Menariknya, jam ini tidak menggunakan baterai seperti jam modern pada umumnya. Sebagai gantinya, kloke ini menggunakan sistem pegas berbentuk spiral yang menjadi sumber tenaga utama yang menggerakkan mesin jam.

Salah satu keunikan dari kloke ini adalah bunyi dentang yang khas, yang selalu terdengar seiring dengan perubahan waktu. Dentangan tersebut menjadi semacam pengingat bagi seluruh penghuni rumah mengenai waktu yang terus berjalan. Jika jarum jam menunjukkan pukul 1, maka kloke akan berdentang satu kali. Begitu juga dengan pukul 12, baik siang maupun malam, jam ini akan berdentang sebanyak 12 kali. Dentangannya ini memiliki keunikan tersendiri yang tidak hanya menjadi penanda waktu, tetapi juga bagian dari suasana rumah yang menambah kehangatan dan kekhasan.

Namun, bagi mereka yang tidak familiar dengan bunyi ini, dentangan tersebut kadang bisa terdengar mengganggu. Beberapa orang bahkan merasa aneh atau takut terhadap suara dentang yang terus menerus menandakan waktu, terutama pada malam hari ketika rumah sepi dan sunyi. Bagi mereka yang terbiasa dengan jam digital yang lebih senyap, dentangan kloke yang keras dan teratur mungkin terdengar lebih seperti gangguan daripada sebuah pengingat waktu. Meski demikian, bagi yang sudah terbiasa, dentang kloke justru memberikan kenyamanan, menjadi bagian dari ritme kehidupan sehari-hari yang terasa lebih akrab dan penuh kenangan.

Meskipun kini jam kloke mulai tergeser oleh teknologi yang lebih praktis, banyak orang masih memiliki rasa nostalgia terhadap benda ini. Keunikan bentuk dan bunyi yang dihasilkan oleh jam kloke membuatnya menjadi lebih dari sekadar alat penunjuk waktu. Jam ini, dengan segala karakteristiknya yang khas, menyimpan banyak cerita dan kenangan, serta menjadi simbol dari sebuah era yang kini perlahan terlupakan. Bagi generasi yang tumbuh bersamanya, kloke bukan hanya sekadar barang antik, tetapi juga bagian dari identitas dan warisan budaya yang sangat berarti.

Lipang Mangangampa

Oleh : Fredrik Dandel (Pemerhati Budaya Siau)


Lipang Mangangampa, yang dalam Bahasa Indonesia dikenal sebagai Ketonggeng, juga memiliki julukan lain sebagai Kalajengking Cambuk. Nama ini merujuk pada ciri khasnya, yakni ekor yang memanjang dan melengkung menyerupai cambuk, memberi kesan menakutkan dan berbahaya. Keberadaannya sering kali membuat orang yang tidak hati-hati merasa terkejut dan cemas. Lipang Mangangampa termasuk dalam keluarga kalajengking, dan seperti halnya anggota keluarga lainnya, ia memiliki sengatan beracun yang sangat efektif dalam mempertahankan diri.

Cairan berwarna kuning yang dikeluarkan oleh Lipang Mangangampa memiliki bau yang sangat menyengat, mirip dengan aroma cuka yang kuat. Cairan ini bukan hanya mengganggu indra penciuman, tetapi juga dapat menimbulkan efek iritasi atau bahkan rasa perih jika mengenai kulit. Cairan tersebut dikeluarkan sebagai bentuk pertahanan diri, terutama ketika Lipang merasa terancam atau terpojok. Fenomena ini dapat terlihat ketika seseorang mencoba mendekatinya; Lipang Mangangampa akan terdiam sejenak, seolah-olah sedang mengamati situasi. Namun, saat ia merasa terancam, ia akan segera melepaskan cairan beracun tersebut, memberikan peringatan kepada siapa saja yang ingin mendekat lebih jauh.

Keberadaan Lipang Mangangampa seringkali menimbulkan rasa takut, terutama di kalangan anak-anak. Hal ini disebabkan oleh sengatan beracun yang dapat memberikan rasa sakit yang cukup mengganggu. Dalam beberapa budaya lokal, anak-anak diajarkan untuk menghindari hewan ini, mengingat bisa yang dikeluarkannya dapat berbahaya. Oleh karena itu, Lipang Mangangampa dikenal sebagai salah satu hewan yang harus diwaspadai dan dihindari, baik karena sengatannya yang berbisa maupun karena kemampuannya mengeluarkan cairan beracun.

Julukan Lipang Mangangampa yang disematkan padanya merujuk pada sifat dan perilakunya yang mirip dengan "lipang" atau kalajengking pada umumnya, yang memang dikenal memiliki sengatan berbahaya. Keberadaan Lipang Mangangampa dalam masyarakat juga mengingatkan kita pada pentingnya mengenali flora dan fauna di sekitar kita, serta bagaimana cara menghadapinya dengan bijak. Meskipun terlihat menakutkan, hewan ini juga memiliki peran ekologis dalam ekosistemnya, seperti mengendalikan populasi serangga lainnya.

Seiring dengan perkembangan waktu, banyak dari kita yang mulai mengenal lebih dalam tentang kehidupan hewan-hewan seperti Lipang Mangangampa ini, bukan hanya sebagai makhluk yang menakutkan, tetapi juga sebagai bagian dari keseimbangan alam yang harus dijaga dan dilestarikan.

LUBANG PELURU DI TALAWID TUA (BUKTI PERANG DUNIA II YANG MENJANGKAU HINGGA KE SIBARSEL)

Tulisan di bawah ini merupakan tulisan yang direvisi kembali dari Postingan Penulis di Group FB Kecamatan Siau Barat Selatan pada 4 Oktober 2019.

Oleh : Fredrik Dandel (Pemerhati Budaya Siau, Khususnya Siau Barat Selatan).




Bagi banyak orang yang pernah melewati jalan antara Talawid dan Mahuneni, khususnya mereka yang melintasi Bulude Pinoto menuju Talawid Tua atau sebaliknya, lubang peluru yang ada di kawasan tersebut tentu bukanlah hal yang asing. Lubang peluru yang terletak di tanah Talawid Tua ini memiliki diameter sekitar 2,5 cm dan kedalaman lebih dari 10 cm—kemungkinan lebih dalam lagi jika tidak tertutup oleh pasir dan kerikil yang terus menutupi lubang tersebut seiring berjalannya waktu. Dua lubang peluru ini bukan hanya menjadi jejak fisik, tetapi juga saksi bisu dari kekejaman Perang Dunia II yang menjangkau hingga ke wilayah Siau, lebih khususnya di Kecamatan Siau Barat Selatan (Sibarsel).

Lubang peluru ini menjadi simbol penting bagi generasi sekarang, mengingatkan kita pada peristiwa tragis yang pernah terjadi di masa lalu. Cerita dari para orang tua yang hidup pada masa tersebut, yang menjadi saksi langsung dari pendudukan Jepang, memberikan gambaran yang menggugah hati tentang betapa mencekamnya suasana pada waktu itu. Malam hari, terutama pada masa pendudukan Jepang, menjadi waktu yang penuh ketegangan. Tentara Dai Nipon yang menduduki wilayah ini dikenal sangat disiplin dan keras, dengan aturan yang sangat ketat terhadap setiap bentuk penerangan. Mereka tidak akan mentolerir sedikit pun cahaya, bahkan jika itu hanya setitik puntung rokok yang terlihat di kegelapan malam. Jika ditemukan ada cahaya, mereka akan segera memberondongkan senjatanya ke arah titik cahaya tersebut, tanpa ampun.

Penderitaan yang dialami oleh masyarakat saat itu sangatlah berat. Pendudukan Jepang di wilayah ini jauh lebih kejam dibandingkan dengan penjajahan Belanda sebelumnya. Dalam banyak kisah yang diceritakan secara turun-temurun oleh para tetua, tentara Jepang tidak segan-segan melakukan kekerasan terhadap penduduk lokal yang dianggap melanggar aturan. Mereka memaksa penduduk untuk bekerja di proyek-proyek mereka, seringkali dengan kondisi yang sangat buruk dan tanpa memberi perhatian pada keselamatan atau kesejahteraan pekerja.

Tidak hanya itu, kamp-kamp interniran dan penyiksaan terhadap para tahanan perang atau masyarakat yang dianggap berseberangan dengan kepentingan Jepang menjadi bagian dari kisah kelam pendudukan ini. Sejumlah besar masyarakat juga terpaksa mengungsi untuk menghindari aksi-aksi kejam yang dilakukan oleh tentara Jepang. Namun, meski dalam penderitaan, masyarakat lokal tetap menunjukkan keberanian dan semangat juang yang luar biasa untuk bertahan hidup di tengah penindasan yang begitu berat.

Hingga kini, keberadaan lubang peluru di Talawid Tua tetap menjadi pengingat abadi akan perjuangan dan penderitaan yang dialami oleh para pendahulu kita. Setiap orang yang melewati tempat tersebut kini tidak hanya melihatnya sebagai sebuah lubang di tanah, tetapi juga sebagai simbol dari keberanian dan ketahanan yang luar biasa dari masyarakat yang pernah hidup di bawah bayang-bayang kekejaman perang. Lubang peluru ini menjadi bagian dari warisan sejarah yang patut kita jaga dan ceritakan kepada generasi mendatang, agar mereka selalu ingat bahwa kemerdekaan dan kedamaian yang kita nikmati saat ini tidak datang dengan mudah.

Sebagai generasi penerus, kita memiliki tanggung jawab untuk mengenang dan menghargai setiap perjuangan yang telah dilakukan oleh para leluhur kita, serta untuk terus melestarikan ingatan tentang masa lalu ini agar tidak pernah terlupakan. Sebagaimana lubang peluru di Talawid Tua ini yang terus bertahan, kisah-kisah perjuangan tersebut harus tetap hidup dalam ingatan kita, menjadi pelajaran berharga dalam membangun masa depan yang lebih baik dan damai.

Profil Kampung Makoa, Kec. Siau Barat Selatan

Oleh : Fredrik Dandel, ST (Mantan Sekretaris Kecamatan Siau Barat Selatan)

Tulisan di bawah ini, merupakan tulisan pada group FB Kecamatan Siau Barat Selatan pada 18 Agustus 2020 saat penulis masih menjabat sebagai Sekretaris Kecamatan Siau Barat Selatan.

Kampung Makoa adalah salah satu dari tujuh kampung yang terletak di wilayah Kecamatan Siau Barat Selatan, Kabupaten Kepulauan Siau, Tagulandang, dan Biaro (Sitaro). Kampung ini berada pada ketinggian sekitar 265 meter di atas permukaan laut (dpl), memberikan pemandangan alam yang menawan dengan udara yang sejuk. Wilayah Kampung Makoa memiliki luas sekitar 3 hektar yang sebagian besar dikelilingi oleh alam yang asri dan gunung-gunung yang mempesona.

Secara geografis, Kampung Makoa diapit oleh beberapa gunung yang membentuk lanskap alam yang khas. Di sebelah selatan terdapat Gunung Totonbulho dan Gunung Katuntungan/Gumahe, sementara di sebelah utara menjulang Gunung Pangilorong, yang dikenal dengan pemandangan alamnya yang indah. Sementara itu, di sebelah timur, Kampung Makoa berbatasan dengan Lembah Kampung Sawang, dan di sebelah barat daya berbatasan dengan Lembah Kampung Laghaeng. Keunikan geografis ini menjadikan Kampung Makoa kaya akan potensi alam dan wisata.

Untuk mencapai Kampung Makoa, terdapat beberapa akses yang dapat digunakan. Dari arah Kecamatan Sitimsel, perjalanan dapat dilakukan menggunakan kendaraan roda dua maupun roda empat melalui pertigaan Pasar Sawang Bandil. Alternatif lain adalah melalui Kampung Laghaeng, meskipun jalannya hanya dapat dilalui dengan kendaraan roda dua. Namun, akses ini hanya disarankan bagi mereka yang memiliki keberanian serta kendaraan dengan kondisi yang layak dan memenuhi standar keselamatan, mengingat medan yang cukup menantang.

Kampung Makoa memiliki sejumlah prasarana yang mendukung kehidupan sosial dan ekonomi masyarakatnya. Di antaranya adalah Kantor Kampung yang menjadi pusat administrasi, serta Kantor MTK (Majelis Tertinggi Kampung) yang berfungsi untuk mendukung kegiatan pemerintahan dan adat. Tersedia juga Poskesdes (Pos Kesehatan Desa) yang memberikan pelayanan kesehatan dasar bagi masyarakat, serta SD GMIST Sinai yang menjadi sarana pendidikan bagi anak-anak. Selain itu, terdapat pula PAUD yang menyediakan pendidikan dini bagi generasi penerus.

Dalam hal keagamaan, Kampung Makoa memiliki empat gereja yang menjadi pusat ibadah bagi umat Kristiani di kampung ini. Gereja-gereja tersebut adalah KGPM Sidang Torsina, GMIST Bukit Karmel, GPRY Bukit Zaitun, dan GMIST Sinai. Kehadiran gereja-gereja ini juga mempererat tali persaudaraan antarwarga Kampung Makoa dalam menjalankan kehidupan spiritual mereka.

Fasilitas olahraga juga tersedia dengan adanya Lapangan Bola berukuran 45 meter x 35 meter yang digunakan untuk kegiatan olahraga dan rekreasi. Kampung Makoa juga dilengkapi dengan dua unit Pamsimas (Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat) yang menyediakan pasokan air bersih bagi masyarakat, serta Bumkam Sentosa Makoa yang tidak hanya mengelola air bersih tetapi juga memiliki satu unit mobil penumpang yang siap melayani masyarakat dalam berbagai kegiatan transportasi.

Sejak dipimpin oleh Bapak Husein Lerah yang saat ini menjabat sebagai Kapitalau, Kampung Makoa telah mengalami perkembangan pesat. Beliau telah memimpin kampung ini selama tiga periode berturut-turut, sekitar 13 tahun, dengan visi dan dedikasi yang tinggi untuk kemajuan kampung. Di bawah kepemimpinan beliau, berbagai infrastruktur dan fasilitas publik telah diperbaiki dan dikembangkan, memberikan manfaat langsung bagi masyarakat Makoa.

Geliat pembangunan yang terus berlanjut di Kampung Makoa telah membawa perubahan signifikan dalam berbagai sektor, mulai dari pendidikan, kesehatan, hingga infrastuktur dasar lainnya. Masyarakat Kampung Makoa kini semakin sadar akan pentingnya kerjasama untuk mencapai tujuan bersama, yang tercermin dalam semboyan kampung mereka, #Makoabersamasiibarsel. Dengan semangat kebersamaan dan kerja keras, Kampung Makoa yakin dapat mewujudkan visi Sitaro Hebat yang lebih maju dan sejahtera bagi seluruh masyarakatnya.

Foto di bawah ini menunjukkan gambaran Kampung Makoa yang diabadikan oleh penulis saat kunjungan perdana di Kampung Makoa, bersama Camat Siau Barat Selatan Ibu Meyske Gahagho, SH, Kapitalau Tanaki Bpk. Dikson Labang, Kapitalau Kapeta Bpk. Ronald Rentandatu, Kapitalau Talawid Bpk. Stendly Sambalai, Kapitalau Mahuneni Bpk. Terri Dandel serta Kapitalau Batusenggo Bp. Eldat Manoi dimaksud sebagai wujud kebersamaan dan simpati kepada Bapak Kapitalau Makao Husein Lerah yang beberapa waktu sebelumnya mengalami sakit.





























Kamis, 20 Februari 2025

Pelantikan Kepala Daerah Terpilih 2025-2030

Kamis, 20 Februari 2025. Hari ini menjadi momentum penting bagi perjalanan politik Indonesia, dengan pelantikan Kepala Daerah terpilih yang dilaksanakan secara serentak. Pelantikan tersebut dilaksanakan oleh Presiden Republik Indonesia, Yang Mulia Jenderal TNI (Purn.) H. Prabowo Subianto Djojohadikoesoemo, di Istana Negara, Jakarta. Acara bersejarah ini dihadiri oleh 961 Kepala Daerah yang terdiri dari 33 orang Gubernur, 33 orang Wakil Gubernur, 363 Bupati, 362 Wakil Bupati, 85 Walikota, dan 85 Wakil Walikota, yang secara simbolis melakukan Kirab dari Monas menuju Istana Presiden. Sebelumnya, pada hari Rabu, 19 Februari 2025, para Kepala Daerah ini telah mengikuti Gladi Bersih untuk memastikan kelancaran proses pelantikan.

Di antara para Kepala Daerah yang dilantik, hadir pula dua sosok penting yang akan memimpin Provinsi Sulawesi Utara selama lima tahun ke depan, yakni Gubernur Bapak Yulius Selvanus Komaling (YSK) dan Wakil Gubernur Victor Mailangkay. Keduanya akan menahkodai Provinsi Nyiur Melambai, yang dikenal dengan kekayaan budaya dan potensi alamnya, mulai tahun 2025 hingga 2030. Tidak kalah penting, hadir pula Bupati dan Wakil Bupati Kepulauan Siau Tagulandang Biaro, Ibu Chyntia Inggrid Kalangit, SKM, dan Bapak Heronimus Makainas, SE, MM, yang akan memimpin Negeri 47 Pulau ini untuk periode yang sama, 2025-2030. Mereka diharapkan dapat mengemban amanah dengan penuh dedikasi demi kemajuan daerah yang mereka pimpin.

Pelantikan secara serentak ini menjadi tonggak sejarah dalam perjalanan pemerintahan Indonesia. Baru pertama kali dalam hampir 80 tahun, seluruh Kepala Daerah di seluruh Indonesia dilantik pada hari yang sama, mencerminkan semangat persatuan dan kesatuan bangsa yang semakin solid, serta komitmen untuk mempercepat pembangunan di setiap daerah di Tanah Air.

Dalam arahannya seusai pelantikan, Presiden Republik Indonesia, Jenderal TNI (HOR) (Purn.) Datuk Seri H. Prabowo Subianto, mengingatkan para Kepala Daerah yang baru dilantik akan tanggung jawab besar yang kini mereka emban. “Saudara dipilih, Saudara adalah pelayan rakyat, Saudara adalah abdi rakyat. Saudara harus membelah kepentingan rakyat, Saudara harus menjaga kepentingan rakyat kita, Saudara harus berjuang untuk perbaikan hidup mereka. Itu adalah tugas kita, itu adalah tugas kita,” tegas Presiden dalam amanat singkatnya. Ia juga menambahkan bahwa meskipun para Kepala Daerah ini berasal dari latar belakang yang berbeda, baik dalam hal partai politik, agama, maupun suku, kita tetap satu dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

“Walaupun kita mungkin berasal dari partai yang berbeda-beda, dari agama yang berbeda-beda, dari suku yang berbeda-beda, tapi kita telah lahir dalam keluarga besar Nusantara, keluarga besar Republik Indonesia, keluarga besar Merah Putih, keluarga besar Bhineka Tunggal Ika, kita berbeda-beda tapi kita satu,” lanjut Prabowo, menegaskan pentingnya persatuan dalam keberagaman.

Sebagai penutup, Presiden mengajak seluruh Kepala Daerah untuk mengabdi dengan sepenuh hati kepada rakyat. "Marilah kita mengabdi kepada rakyat kita, berjuang yang terbaik untuk rakyat kita," ujarnya. Beliau juga mengingatkan bahwa dalam waktu dekat, para Kepala Daerah akan mengikuti Retreat yang akan diselenggarakan oleh Menteri Dalam Negeri di Magelang, sebagai sarana untuk memperkuat sinergi dan kerjasama antar pemimpin daerah.

Pelantikan ini bukan hanya sekadar seremoni, namun juga merupakan pengingat bagi semua yang terlibat untuk tetap berjuang keras demi mewujudkan kesejahteraan rakyat, mewujudkan pembangunan yang merata, dan memastikan bahwa setiap kebijakan yang diambil dapat memberikan manfaat nyata bagi masyarakat di seluruh pelosok Indonesia. (FD).






Rabu, 19 Februari 2025

Menjadi Pengikut Sejati Yesus (Bacaan : Lukas 14:25-35)


Oleh : Pdm. Dr. (C). Fredrik Dandel, ST, STh, M.Ag, M.Th.

Pendahuluan:

Saudara-saudari yang terkasih dalam Kristus, setiap orang yang menyatakan diri sebagai pengikut Yesus pasti ingin hidup sesuai dengan kehendak-Nya. Namun, apakah kita benar-benar siap untuk mengikuti Dia? Banyak orang mungkin merasa bahwa menjadi pengikut Kristus adalah perjalanan yang mudah, penuh dengan berkat dan kenyamanan. Tapi apakah itu yang Yesus ajarkan? Dalam Lukas 14:25-35, Yesus memberikan pengajaran yang sangat jelas dan menantang, yang mengungkapkan apa artinya menjadi murid-Nya sejati. Di sini, Yesus tidak hanya berbicara tentang kasih atau pengampunan, tetapi tentang pengorbanan, komitmen, dan perhitungan yang harus dilakukan sebelum kita memutuskan untuk mengikutinya.

Pada saat Yesus hidup dan mengajar di Israel, bangsa Israel berada di bawah pemerintahan Romawi. Mereka mengalami penindasan dan pembatasan kebebasan, serta merasa terpinggirkan dalam banyak aspek kehidupan mereka. Masyarakat Yahudi sangat menginginkan pembebasan dari penjajahan Romawi, dan banyak orang berharap bahwa Mesias yang dijanjikan akan datang untuk membebaskan mereka secara politik dan sosial. Harapan mereka adalah Mesias yang kuat, seperti raja yang memimpin mereka dalam perang melawan penjajah. Namun, Yesus datang dengan sebuah misi yang berbeda: bukan untuk membebaskan mereka dari penjajahan Romawi, melainkan untuk membawa pembebasan rohani, mengajarkan tentang kerajaan Allah yang tidak terikat pada kuasa duniawi. 

Di dunia yang semakin sibuk dan penuh dengan godaan ini, kita sering kali tergoda untuk mencari jalan yang lebih mudah, yang menawarkan kenyamanan dan kemudahan. Namun, Yesus mengingatkan kita bahwa hidup sebagai pengikut-Nya adalah perjalanan yang melibatkan pengorbanan pribadi, pengorbanan waktu, dan terkadang pengorbanan hubungan. Dalam khotbah ini, kita akan menggali lebih dalam apa yang Yesus maksud dengan menjadi pengikut-Nya yang sejati. Ini bukanlah panggilan yang harus kita ambil dengan ringan, tetapi sebuah panggilan untuk hidup sepenuhnya bagi-Nya, siap untuk melepaskan apa pun yang menghalangi kita untuk mengikutinya dengan sepenuh hati.

1. Menghitung Biaya Pengikut Sejati (Lukas 14:25-30)

Orang Yahudi pada zaman Yesus sangat menghargai kebijaksanaan dan pengertian tentang bagaimana bertindak dengan hati-hati sebelum membuat keputusan besar. Dalam budaya Yahudi, ada banyak ajaran yang menekankan pentingnya merencanakan dan menghitung biaya sebelum memulai suatu proyek besar. Yesus menggunakan perumpamaan tentang raja yang hendak berperang (Lukas 14:31) dan seorang yang hendak membangun menara (Lukas 14:28) untuk menggambarkan pentingnya menghitung biaya sebelum mengikuti-Nya. Ini adalah ajaran yang sangat relevan bagi orang-orang Yahudi yang telah terbiasa dengan perencanaan yang cermat dalam kehidupan mereka. Kedua perumpamaan ini juga mengingatkan kita bahwa mengikuti Yesus bukanlah keputusan yang bisa diambil secara sembarangan, melainkan keputusan yang harus didasarkan pada pemahaman penuh akan tantangan dan pengorbanan yang akan kita hadapi.

Dalam Matius 7:24-27, Yesus juga berbicara tentang dua jenis orang yang mendengar perkataan-Nya: yang satu membangun rumah di atas batu, dan yang lainnya membangun rumah di atas pasir. Yesus mengatakan bahwa orang yang membangun rumah di atas batu adalah orang yang mendengarkan dan melakukan perkataan-Nya. Hal ini mengajarkan bahwa membangun hidup kita di atas dasar yang kuat, yaitu iman kepada Yesus dan ketaatan kepada firman-Nya memerlukan perhitungan yang matang. Membangun hidup rohani yang kokoh tidak bisa dilakukan dengan sembarangan, tetapi memerlukan komitmen yang mendalam.

Selain itu, dalam Filipi 3:7-8, Paulus juga berbicara tentang perhitungan yang sama dalam hidupnya. Ia menyadari bahwa segala yang dianggapnya sebagai keuntungan sebelum mengenal Kristus, kini ia anggap sebagai kerugian karena Kristus. Paulus menghitung biaya dari mengikuti Yesus, yang berarti melepaskan segala hal yang dianggap berharga di dunia ini. Ia siap menanggung segala kerugian demi mendapatkan Kristus. Seperti Paulus, kita juga dipanggil untuk menghitung biaya mengikuti Yesus, untuk memahami bahwa itu mungkin memerlukan pengorbanan, baik dalam hal kedudukan, harta, ataupun bahkan hubungan kita dengan orang lain. Ini semua adalah bagian dari panggilan untuk menjadi pengikut Kristus yang sejati.

2. Menyadari Pengorbanan yang Diperlukan (Lukas 14:26-27)

Pada zaman Yesus, pengorbanan dan penderitaan adalah konsep yang sangat dikenal oleh orang Yahudi, khususnya dalam konteks pengorbanan hewan di Bait Allah untuk penebusan dosa. Namun, pengorbanan pribadi yang dimaksudkan oleh Yesus adalah sesuatu yang jauh lebih mendalam. Dia mengajarkan bahwa untuk mengikuti-Nya, seseorang harus siap untuk menanggung salib, yang mengandung makna penderitaan dan pengorbanan pribadi. Konsep ini bertentangan dengan harapan banyak orang Yahudi yang melihat Mesias sebagai sosok yang akan membebaskan mereka secara fisik dan memberikan mereka kekuasaan politik. Yesus, di sisi lain, mengingatkan mereka bahwa penderitaan dan pengorbanan adalah bagian dari panggilan untuk mengikut Dia

Yesus dengan tegas mengajarkan bahwa menjadi pengikut-Nya memerlukan pengorbanan yang besar. Dalam Lukas 14:26, Yesus berkata, "Jika seorang datang kepada-Ku dan tidak membenci bapanya, ibunya, isterinya, anak-anaknya, dan saudara-saudaranya, bahkan nyawanya sendiri, ia tidak dapat menjadi murid-Ku." Tentu saja, kata "membenci" di sini tidak berarti bahwa kita harus benar-benar membenci orang-orang yang kita cintai. Membenci dalam bacaan ini berasal dari kata Yunani "miseō" (μισέω) dapat diterjemahkan sebagai "membenci," tetapi dalam konteks ayat ini, lebih tepatnya mengandung pengertian "memilih untuk tidak mengutamakan" atau "menempatkan di bawah" sesuatu yang lain. Ini bukan berarti kita harus benar-benar membenci orang-orang yang kita cintai, tetapi lebih kepada penekanan pada pentingnya mengutamakan kasih kita kepada Yesus di atas segala hubungan atau komitmen lainnya.

Yesus mengajarkan bahwa kita harus siap untuk mengutamakan Dia di atas segala sesuatu, bahkan di atas keluarga dan diri kita sendiri. Pengorbanan ini adalah suatu panggilan untuk hidup dalam komitmen yang sepenuhnya kepada Kristus, dan ini berarti bahwa segala sesuatu yang kita cintai di dunia ini tidak boleh menghalangi kita untuk mengikutinya. Dalam konteks ini, Yesus mengingatkan kita bahwa mengikuti-Nya berarti siap untuk menghadapi tantangan besar, termasuk pengorbanan dalam hubungan dan aspek kehidupan kita.

Bacaan lain yang dapat menguatkan ajaran ini terdapat dalam Matius 10:37-39, di mana Yesus berkata, "Barangsiapa mengasihi bapanya atau ibunya lebih dari pada Aku, ia tidak layak bagi-Ku; dan barangsiapa mengasihi anaknya lebih dari pada Aku, ia tidak layak bagi-Ku." Yesus kembali mengingatkan kita bahwa kasih kita kepada-Nya harus mengatasi segala kasih yang ada di dunia ini. Pengorbanan yang dimaksudkan di sini bukan hanya tentang meninggalkan sesuatu, tetapi tentang penyerahan diri secara penuh kepada Tuhan, mengutamakan kehendak-Nya di atas segala keinginan kita.

Filipi 3:8 juga berbicara tentang pengorbanan yang diperlukan untuk mengikuti Kristus. Paulus menulis, "Aku menganggap semuanya itu rugi, karena pengenalan akan Kristus Yesus, Tuhanku, jauh lebih mulia daripada semuanya itu." Paulus menunjukkan bahwa pengorbanan terbesar yang bisa dilakukan adalah melepaskan segala hal yang kita anggap berharga untuk memperoleh Kristus. Ini adalah gambaran nyata dari pengorbanan yang dibutuhkan untuk mengikuti Yesus: melepaskan yang duniawi untuk mengejar apa yang kekal.

3. Menjadi Garam (Lukas 14:34-35)

Yesus mengakhiri bagian ini dengan sebuah peringatan yang sangat kuat tentang pentingnya menjadi garam yang baik. Dalam Lukas 14:34-35, Yesus berkata, "Garam adalah baik, tetapi jika garam itu menjadi tawar, dengan apakah ia diasinkan? Tidak berguna lagi, selain dibuang dan diinjak orang." Di sini, Yesus menggunakan garam sebagai simbol untuk menunjukkan peran pengikut-Nya di dunia ini. Garam pada zaman Yesus memiliki banyak kegunaan: sebagai pengawet, penambah rasa, dan pengawet makanan. Begitu juga, pengikut Kristus dipanggil untuk memberikan pengaruh yang positif dan berbeda di dunia ini.

Menjadi pengikut sejati Yesus berarti kita harus memiliki pengaruh yang nyata dalam masyarakat. Sebagai garam, kita tidak hanya dipanggil untuk hidup bagi diri kita sendiri, tetapi untuk memberi dampak yang baik bagi orang lain dan bagi dunia ini. Garam yang kehilangan rasa atau fungsinya tidak lagi berguna, demikian pula seorang pengikut Kristus yang kehilangan kesaksian atau tidak lagi hidup sesuai dengan ajaran-Nya akan kehilangan dampak positifnya. Tugas kita sebagai pengikut Kristus adalah menjadi terang di dunia yang gelap dan garam yang memberi rasa dan pengawetan bagi dunia yang rusak ini.

Bacaan lain yang sangat relevan dengan pengajaran ini terdapat dalam Matius 5:13-16, di mana Yesus mengatakan, "Kamu adalah garam dunia. Tetapi jika garam itu menjadi tawar, dengan apakah ia diasinkan? Tidak berguna lagi selain dibuang dan diinjak orang. Kamu adalah terang dunia. Kota yang terletak di atas gunung tidak mungkin tersembunyi." Yesus menyatakan dengan jelas bahwa pengikut-Nya adalah garam dan terang bagi dunia. Pengikut Kristus dipanggil untuk membawa perubahan, menjadi pengaruh yang positif di tengah masyarakat, serta menyinari kegelapan dunia dengan hidup yang bercahaya melalui perbuatan baik dan kesaksian iman.

Kolose 4:5-6 juga memberi penekanan pada pentingnya kehidupan yang memberikan dampak positif: "Hiduplah dengan penuh hikmat terhadap orang-orang luar, pergunakanlah waktu yang ada. Hendaklah perkataanmu selalu penuh kasih, sehingga dengan bijaksana kamu dapat mengetahui bagaimana seharusnya kamu memberi jawaban kepada tiap-tiap orang." Ini adalah panggilan untuk hidup bijaksana dan memberi dampak positif melalui perkataan dan perbuatan kita, agar hidup kita menjadi saksi yang nyata dari kasih dan kebenaran Kristus.

Kesimpulan:

Saudara-saudari yang terkasih, pengajaran Yesus dalam Lukas 14:25-35 mengingatkan kita bahwa menjadi pengikut Kristus sejati tidaklah mudah dan memerlukan komitmen yang mendalam. Mengikuti Yesus bukan sekadar tentang menerima berkat-Nya, tetapi juga tentang menghitung biaya yang harus dibayar, siap untuk mengorbankan apa pun yang menghalangi kita untuk hidup sepenuhnya bagi-Nya. Yesus mengajarkan kita untuk memprioritaskan kasih kita kepada-Nya di atas segala sesuatu, bahkan hubungan kita dengan keluarga dan diri kita sendiri.

Yesus juga menantang kita untuk menjadi pengikut yang siap menanggung salib, yaitu siap menghadapi kesulitan dan penderitaan sebagai bagian dari panggilan kita. Mengikut Kristus berarti siap untuk mengorbankan, namun juga siap menerima berkat yang jauh lebih besar dari segala hal yang kita lepaskan untuk-Nya. Seperti yang ditulis oleh Paulus dalam Filipi 3:8, "Aku menganggap semuanya itu rugi, karena pengenalan akan Kristus Yesus, Tuhanku, jauh lebih mulia daripada semuanya itu."

Akhirnya, Yesus mengingatkan kita bahwa sebagai pengikut-Nya, kita dipanggil untuk menjadi garam dan terang di dunia ini. Kita harus hidup dengan dampak positif, memberikan pengaruh yang membawa perubahan baik di sekitar kita. Kita dipanggil untuk menunjukkan perbedaan melalui hidup kita, baik dalam perkataan maupun perbuatan. Sebagai garam, kita memberi rasa dan pengaruh, dan sebagai terang, kita menyinari kegelapan dunia dengan kasih dan kebenaran Kristus.

Marilah kita menghitung biaya, mengerti pengorbanan yang diperlukan, dan berkomitmen untuk hidup sebagai pengikut Kristus yang sejati—menjadi garam dan terang bagi dunia ini. Semoga hidup kita selalu memuliakan Tuhan, memberikan dampak yang baik, dan menjadi saksi yang hidup akan kasih-Nya.

Doa: 

Tuhan Yesus, terima kasih untuk panggilan-Mu yang mulia. Kami menyadari bahwa menjadi pengikut-Mu membutuhkan komitmen dan pengorbanan. Tolong kami untuk menghitung biaya dan memberikan hidup kami sepenuhnya untuk-Mu. Berikan kami keberanian untuk mengikuti-Mu meskipun dalam kesulitan dan tantangan. Biarlah hidup kami menjadi garam yang baik, memberi pengaruh positif bagi dunia ini. Dalam nama Yesus, kami berdoa. Amin.

Gurita Talise : Legenda Laut yang Terlupakan


Oleh : Fredrik Dandel (Pemerhati Budaya Siau)
Ditulis kembali dari Postingan Penulis di Group FB Kecamatan Siau Barat Selatan pada 13 Mei 2020.

Jaman kami masih terlalu polos untuk menyimak sebuah kisah, diawal dasawarsa 80-an. Orang tua atau orang dewasa yang sering bepergian dari Pulau Siau ke Kota Manado ataupun Kota Bitung acapkali membawa ole-ole cerita tentang Gurita Talise. Sebuah cerita yang menakutkan sekaligus penuh misteri, yang hingga kini masih membekas dalam ingatan kami, meskipun seiring berjalannya waktu kisah itu semakin memudar.

Tersebutlah bahwa Gurita Talise bukanlah gurita biasa. Ia adalah seekor Gurita Raksasa dengan ukuran yang hampir setara dengan sebuah rumah tinggal. Telinga kami dulu sering terbakar oleh deskripsi mengerikan tentang makhluk ini: tubuhnya yang besar dan melingkar seperti gulungan awan gelap, dengan jari-jari (hamene) yang begitu panjang dan kuat. Awalnya Gurita ini memiliki lima jari, namun seiring waktu dan banyaknya pertempuran dengan musuhnya, jumlah jari-jarinya semakin berkurang.

Konon Gurita Talise seringkali berduel sengit dengan seekor Ikan Hiu besar atau Kembolleng. Kembolleng yang juga memiliki ukuran yang besar, hampir sebesar 2 x ukuranb perahu nelayan ini, sering menjumpai Gurita Talise di seputaran perairan Pulau Talise. Namun, meskipun pertempuran antara keduanya berlangsung begitu dahsyat, tak ada yang tahu pasti siapa yang keluar sebagai pemenang. Ada yang mengatakan bahwa Gurita Talise berhasil mematahkan rahang Hiu itu dalam salah satu duel sengitnya, namun ada pula yang meyakini bahwa Kembolleng lah yang menjadi pemenang, menjadikan Gurita itu kehilangan jari demi jari.

Jari Gurita Talise pertama hilang dalam pertarungan brutal di bawah laut yang gelap, di mana kedua makhluk tersebut saling berputar, menyerang dengan tenaga dan kecepatan luar biasa. Kemudian, jari kedua hilang setelah pertempuran berlanjut ke perairan lebih dalam, dengan ombak yang semakin tinggi dan arus yang semakin kuat. Pada akhirnya, hanya tersisa tiga jari di tubuh Gurita Talise. Sejak saat itu, makhluk itu seakan menghilang dari pandangan manusia, tetapi namanya terus diingat dalam cerita rakyat.

Sarang Gurita Talise diyakini berada di kedalaman laut sekitar Pulau Talise, tempat yang dianggap angker oleh para nelayan dan pelaut. Gurita ini memiliki kebiasaan yang sangat khas dan menakutkan: ia sering mengganggu setiap kapal yang melintas di dekat pulau tersebut. Ketika kapal-kapal itu berlayar melalui perairan Talise, gelombang dan arus akan mendadak berubah menjadi ganas dan berbahaya. Saat Gurita Talise mulai menari-nari dengan sisa tiga jari yang masih ada padanya, ombak besar akan menghantam kapal-kapal yang lewat, dan arus yang kuat akan menyeret mereka ke arah bahaya.

Para pelaut yang berani menantang perairan itu sering kali pulang dengan cerita-cerita menakutkan: kapal yang hampir tenggelam, atau bahkan hilang tanpa jejak. Beberapa penumpang dikatakan merasa seperti ada kekuatan tak tampak yang mengendalikan perahu mereka, menarik mereka semakin dekat dengan bahaya. Mereka yang selamat seringkali berbicara tentang bayangan besar yang muncul di bawah permukaan laut, atau tentang rasa tercekik yang datang begitu tiba-tiba, seolah-olah laut itu hidup dan marah.

Namun, seiring berjalannya waktu, cerita ini semakin jarang terdengar. Kini, di zaman modern ini, Gurita Talise hanyalah sebuah mitos, sebuah cerita yang dituturkan oleh orang tua kepada anak-anak mereka, untuk menjelaskan fenomena alam yang menakutkan. Mungkin, sang Gurita telah tewas dalam salah satu pertarungan terakhirnya, atau mungkin itu hanyalah sebuah cara untuk menjelaskan ombak besar dan arus kuat yang begitu berbahaya di sekitar Pulau Talise. Beberapa orang mulai meragukan apakah kisah itu pernah benar-benar ada, atau apakah itu hanya sebuah cerita fantasi yang diciptakan untuk memberi makna pada kejadian-kejadian yang tak terjelaskan.

Tetapi di hati kami masih teringat cerita yang dituturkan dengan suara pelan dan penuh misteri ini, seakan-akan orang tua kami ingin mengingatkan kami untuk tidak pernah meremehkan kekuatan laut. Dan meskipun sekarang kapal-kapal besar lebih sering melintasi Pulau Talise tanpa gangguan, kami tahu bahwa di balik setiap ombak yang datang tiba-tiba, ada cerita lama yang belum sepenuhnya hilang. Mungkinkah Gurita Talise masih ada di sana, di bawah kedalaman yang tak tersentuh oleh waktu?

Atau mungkin, seperti semua legenda lainnya, ia hanya menunggu untuk kembali, dengan cara yang tak terduga.

DAFTAR KEPALA SEKOLAH SMP NEGERI TALAWID/ SMP NEGERI 1 SIBARSEL

Tulisan ini pertama sekali ditulis pada 23 Juni 2021 melalui Group FB Kecamatan Siau Barat Selatan. Oleh : Fredrik Dandel, ST, STh, M.Ag, M.Th. (Alumnus SMP Negeri Talawid Tahun 1990).

SMP Negeri 1 Sibarsel merupakan salah satu sekolah jenjang SMP berstatus Negeri  yang secara administratif berada di Kampung Mahuneni, Kecamatan Siau Barat Selatan, Kab. Kepl. Siau Tagulandang Biaro. Provinsi Sulawesi Utara. Secara geografis terletak pada Lintang : 2° 39' 15.84" N dan  Bujur : 125° 22' 36.84" E. 

Di Wilayah Kecamatan Siau Barat Selatan, saat ini memiliki 2 (dua) Sekolah setingkat Sekolah Menengah Pertama, lainnya terdapat di Kampung Tanaki, yakni SMP Negeri 2 Satu Atap Siau Barat Selatan yang terletak di Kampung Tanaki, Kecamatan Siau Barat Selatan.

SMP Negeri 1 Sibarsel, dulunya merupakan SMP Negeri Talawid  yang didirikan pada tanggal 17 Februari 1979 dengan Nomor SK Pendirian 030/4/1979 yang berada dalam naungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Namun sebelum menjadi Sekolah dengan status defenitif, sekolah ini dirintis sejak tahun 1961 dengan nama SMP Negeri Ondong Filial Talawid.  Pada Desember 2018,  Sekolah ini telah terakreditasi B dengan Nomor SK Akreditasi 283/BAN-SM/SULUT/XII/2018 pada tanggal 4 Desember 2018. 

Sejak berdiri secara defenitif, hingga saat ini, SMP Negeri 1 Siau Barat Selatan telah memiliki 10 orang Kepala Sekolah secara bergantian, yakni : 

1. R. Anggaseng, BA (1979-1985)
2. Arnold Kawangung (1985-1999)
3. A.D. Kadeke (1999-2001)
4. Leonard Tamalonggehe, SPd. (2001-2003)
5. T. Salasughi, A.Md.Pd. (2003-2006)
6. Drs. Wilmar Pangulimang (2006-2008)
7. Hotman Kiaking, A.Md.Pd. (2008-2015)
8. D. Tatoda, SPd. (2016-2019)
9. Elmi Batasina, SPd. (2019-2022)
10. Sikon Haris Masoara, S.Org. (2022-Sekarang).









Sumber Foto : Ruangan Kepala Sekolah SMP Neg. 1 Sibarsel. Direpro pada 23 Juni 2021.

Sabtu, 15 Februari 2025

Hidup dalam Perdamaian dan Sukacita Kristus

 


Bacaan : Filipi 4:2-9

Oleh : Pdm. Dr. (C). Fredrik Dandel, ST. S.Th, M.Ag, M.Th.

Pendahuluan:

Saudara-saudari yang terkasih, hidup kita di dunia ini seringkali dipenuhi dengan permasalahan, ketegangan, dan kecemasan. Kita seringkali terperangkap dalam perasaan tidak nyaman atau tidak damai akibat konflik dalam hubungan, kecemasan terhadap masa depan, atau bahkan stres dalam pekerjaan dan kehidupan pribadi. Ketika menghadapi tantangan dan kesulitan ini, kita cenderung merasa terbebani, gelisah, dan kehilangan arah. Dunia yang kita huni sering kali menawarkan solusi sementara yang tidak mampu memberikan kedamaian sejati yang kita butuhkan. Ketika kita mencoba menghadapinya dengan kekuatan kita sendiri, kita sering kali merasa lelah dan frustrasi.

Dalam Filipi 4:2-9, kita menemukan sebuah pengajaran yang relevan bagi kita hari ini. Rasul Paulus menulis kepada jemaat Filipi yang sedang menghadapi berbagai permasalahan, baik itu dari luar maupun dalam gereja itu sendiri. Jemaat Filipi pada waktu itu mengalami ketegangan internal, terutama antara dua wanita, Euodia dan Sintikhe, yang terlibat dalam konflik. Paulus juga menyadari tantangan-tantangan eksternal yang dihadapi oleh jemaat, seperti penganiayaan dan tekanan dari luar gereja. Beberapa penganiayaan yang mereka alami meliputi: Penganiayaan oleh Penguasa Romawi, Ketika Paulus dan Silas pertama kali menginjili di Filipi, mereka dipersekusi oleh penduduk setempat dan akhirnya dipenjarakan karena dianggap mengganggu ketertiban umum dan merusak kepercayaan tradisional (Kisah Para Rasul 16:16-24). Keterasingan Sosial dan Ekonomi: Menjadi seorang Kristen di masyarakat yang mayoritas menganut agama tradisional atau kepercayaan politeisme dapat membuat seseorang terisolasi dalam kehidupan sosial. Konflik dengan Orang-orang Yahudi Lokal: Di Filipi, terdapat komunitas Yahudi yang mungkin juga menjadi sumber konflik bagi jemaat Kristen. Juga Tantangan Moral dan Budaya: Gaya hidup Romawi yang sangat berbeda dengan ajaran Kristen. Ini mencakup pengaruh dewa-dewa Romawi, gaya hidup hedonistik, dan budaya yang menekankan keberhasilan duniawi. Dalam situasi yang penuh kecemasan ini, Paulus memberikan prinsip-prinsip hidup yang dapat membawa kita kepada kedamaian sejati, yaitu damai sejahtera yang datang dari Allah.

"Hidup dalam Perdamaian dan Sukacita Kristus," bukanlah sekadar sebuah ajakan untuk hidup tanpa masalah, tetapi lebih kepada bagaimana kita, sebagai orang percaya, dapat menemukan kedamaian dan sukacita yang datang dari Allah dalam setiap keadaan. Dalam teks ini, Paulus mengajarkan kita bahwa meskipun dunia ini penuh dengan kecemasan, kita dipanggil untuk hidup dengan perspektif yang berbeda, sebuah perspektif yang berfokus pada iman kepada Tuhan yang memegang kendali atas segala hal. Sukacita yang diajarkan oleh Paulus bukanlah sukacita duniawi yang sementara, tetapi sukacita yang berasal dari kedekatan dengan Tuhan dan pengertian bahwa Dia senantiasa bersama kita. Perdamaian yang kita cari bukanlah hasil dari menghindari masalah, tetapi kedamaian yang datang melalui penyerahan penuh kepada Allah dan hidup dalam kehendak-Nya.

I. Menghargai Perdamaian dalam Hubungan (Filipi 4:2-3)

Filipi 4:2-3 berkata, "Euodia kunasehati dan Syntyche kunasehati, supaya sehati sepikir dalam Tuhan. Bahkan, kuminta kepadamu juga, Sunsugos, temanku yang setia, tolonglah mereka. Karena mereka telah berjuang dengan aku dalam pemberitaan Injil, bersama dengan Clemens dan semua rekan sekerjaku yang namanya tercantum dalam kitab kehidupan."

Paulus memulai bagian ini dengan mengingatkan dua perempuan di jemaat Filipi, Euodia dan Syntyche, yang tampaknya sedang mengalami ketegangan atau perbedaan pendapat. Mereka adalah rekan kerja Paulus dalam pemberitaan Injil, tetapi kini mereka terlibat dalam perselisihan yang mempengaruhi keharmonisan di jemaat. Euodia dan Syntyche dikenal sebagai dua perempuan yang telah berjuang bersama Paulus dalam penyebaran Injil di Filipi. Mereka tidak hanya terlibat dalam pelayanan tetapi juga dalam pengajaran dan perawatan jemaat. Ketegangan antara keduanya menunjukkan bahwa meskipun mereka memiliki kontribusi besar dalam pekerjaan Tuhan, mereka juga manusia biasa yang rentan terhadap konflik. Hal ini mengingatkan kita bahwa bahkan dalam pelayanan, hubungan antar individu bisa terpengaruh oleh perbedaan pendapat atau ketidaksetujuan. Meskipun demikian, Paulus dengan lembut menegur mereka, mengingatkan mereka untuk sehati sejiwa dalam Tuhan, karena kesatuan dan perdamaian dalam tubuh Kristus adalah hal yang sangat penting untuk menghindari perpecahan dalam jemaat. Dalam Efesus 4:3, Paulus menulis, "Berusahalah memelihara kesatuan Roh oleh ikatan damai sejahtera." Paulus mengajarkan bahwa dalam tubuh Kristus, kita dipanggil untuk menjaga kesatuan dan perdamaian, bahkan ketika ada perbedaan pendapat atau ketegangan. Kesatuan ini tidak hanya berdampak pada hubungan pribadi, tetapi juga pada kemajuan pemberitaan Injil itu sendiri, yang sering terhambat oleh perpecahan dan konflik dalam gereja."

Paulus tidak hanya mengingatkan mereka untuk berdamai, tetapi juga meminta jemaat untuk membantu mereka agar bisa kembali berdamai. Ini adalah gambaran yang jelas bahwa dalam hidup berjemaat, perdamaian dan kesatuan dalam Kristus sangat penting. Ketika ada konflik, kita diajak untuk menjadi mediator dan saling menolong agar keharmonisan tetap terjaga dalam tubuh Kristus. Ini mengingatkan kita pada ajaran Matius 18:15-17, yang mengajarkan kita bagaimana menghadapi konflik dalam gereja, yaitu dengan pendekatan yang penuh kasih dan usaha untuk mendamaikan pihak-pihak yang berselisih. Sebagai tubuh Kristus, kita diajak untuk tidak membiarkan perpecahan berkembang, tetapi untuk menjadi agen perdamaian yang aktif dalam kehidupan jemaat. Ini mencerminkan prinsip kasih dan pengertian yang harus ada dalam setiap hubungan antar anggota tubuh Kristus, seperti yang tertulis dalam Kolose 3:13, "Sabarlah kamu seorang terhadap yang lain, dan ampunilah kamu seorang akan yang lain, apabila ada yang mempunyai keluhan terhadap yang lain, sama seperti Tuhan telah mengampuni kamu, kamu perbuatlah juga demikian

Sebagai orang Kristen, kita dipanggil untuk berusaha menjaga perdamaian, baik dalam hubungan pribadi maupun dalam kehidupan jemaat. Konflik dapat terjadi, tetapi kita harus berusaha untuk menyelesaikannya dengan kasih dan pengertian, mengingat bahwa kita semua adalah bagian dari tubuh Kristus.

II. Sukacita dalam Tuhan (Filipi 4:4-5)

Filipi 4:4-5 berkata, "Bersukacitalah senantiasa dalam Tuhan. Sekali lagi kukatakan: Bersukacitalah! Hendaklah kebaikan hatimu diketahui semua orang. Tuhan sudah dekat."

Paulus mengingatkan kita untuk bersukacita senantiasa dalam Tuhan. Dalam Bahasa Yunani dituliskan Χαίρετε ἐν Κυρίῳ πάντοτε· πάλιν ἡ λέγω, Χαίρετε = Chaírete en Kyríō pántote; pálin hē légō, Chaírete." Sukacita yang dimaksud di sini adalah Sukacita yang berasal dari kedekatan dengan Kristus dan bukan dari keadaan duniawi yang bisa berubah-ubah. Sukacita ini adalah buah dari kehidupan yang dipenuhi dengan pengenalan akan Tuhan dan pengharapan kepada-Nya. Meskipun kita menghadapi kesulitan atau penderitaan, kita bisa menemukan sukacita dalam kebenaran bahwa Tuhan ada bersama kita dan kita diselamatkan dalam Kristus. Dalam Roma 5:3-4, Paulus mengajarkan, "Dan bukan hanya itu saja. Kita malah bermegah dalam penderitaan kita, karena kita tahu bahwa penderitaan itu menghasilkan ketekunan, dan ketekunan menghasilkan tahan uji, dan tahan uji menghasilkan pengharapan." Sukacita Kristen bersumber dari pengharapan dalam Kristus yang tetap teguh dan tidak tergoyahkan meski kita berada dalam kesulitan. Hal ini sejalan dengan ajaran dalam Yakobus 1:2-3, "Saudara-saudaraku, anggaplah sebagai suatu kebahagiaan apabila kamu jatuh ke dalam berbagai percobaan, karena kamu tahu, bahwa ujian terhadap imanmu itu menghasilkan ketekunan

Paulus mengulangi perintah ini, “Sekali lagi kukatakan: Bersukacitalah!” Ini menunjukkan betapa pentingnya sukacita dalam kehidupan orang Kristen. Sukacita bukan hanya sekadar perasaan, tetapi keputusan untuk berfokus pada Tuhan, berterima kasih atas kasih karunia-Nya, dan memilih untuk bersyukur meskipun situasi tidak selalu ideal. Sukacita ini juga mencerminkan kesadaran akan kedekatan Tuhan yang tidak terpisahkan, seperti yang dikatakan dalam Mazmur 16:11, "Engkau menunjukkan jalan hidup kepadaku; di hadapan-Mu ada sukacita berlimpah, di tangan kanan-Mu ada nikmat senantiasa." Dengan bersukacita dalam Tuhan, kita mengungkapkan iman kita bahwa Allah hadir dan bekerja di tengah segala keadaan.

Paulus juga mengajak kita untuk menunjukkan kelemahlembutan kita kepada orang lain. Sebagai orang Kristen, kita dipanggil untuk berperilaku lemah lembut, sabar, dan penuh kasih kepada sesama, mencerminkan karakter Kristus dalam kehidupan sehari-hari kita.

III. Jangan Kuatir, Serahkan Segala Kekuatiran kepada Tuhan (Filipi 4:6-7)

Filipi 4:6-7 mengajarkan kita, "Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apapun juga, tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur. Damai sejahtera Allah, yang melampaui segala akal, akan memelihara hati dan pikiranmu dalam Kristus Yesus."

Kekuatiran adalah perasaan yang hampir semua orang alami dalam kehidupan. Ketika kita dihadapkan pada situasi yang tidak pasti atau tantangan yang besar, kekuatiran sering kali muncul dengan begitu kuat. Kekuatiran bisa datang dari berbagai hal, mulai dari masalah pekerjaan, kesehatan, hingga hubungan pribadi. Ketika kita fokus pada masalah tersebut, perasaan cemas dan khawatir bisa menguasai pikiran kita, memengaruhi cara kita berpikir, dan bahkan memengaruhi tubuh kita secara fisik. Dalam dunia yang serba cepat dan penuh tekanan ini, kekuatiran menjadi bagian dari kenyataan hidup yang sulit untuk dihindari.

Dalam Filipi 4:6-7, Paulus memberikan nasihat yang penuh hikmat. Dia dengan jelas mengingatkan kita untuk "tidak kuatir tentang apa pun". Ini bukan berarti kita tidak boleh merasa khawatir atau tidak peduli, tetapi Paulus mengajak kita untuk mengubah cara kita merespons kecemasan. Alih-alih membiarkan kecemasan menguasai hidup kita, kita diminta untuk menyampaikan segala keinginan dan kekhawatiran kita kepada Tuhan dalam doa dan permohonan. Hal ini mengingatkan kita pada ajaran Tuhan Yesus dalam Matius 6:25-34, di mana Yesus dengan jelas berkata, "Jangan khawatir tentang hidupmu, apa yang akan kamu makan atau minum, atau tentang tubuhmu, apa yang akan kamu pakai" (Matius 6:25). Yesus mengajarkan bahwa kekhawatiran tentang kebutuhan hidup sehari-hari hanya akan menambah beban, tetapi Tuhan mengetahui segala kebutuhan kita dan akan menyediakannya. Ketika kita membiarkan kecemasan menguasai kita, kita sebenarnya meragukan penyertaan dan pemeliharaan Tuhan. Sebaliknya, Yesus mengajak kita untuk mencari Kerajaan Allah terlebih dahulu, karena jika kita melakukannya, segala kebutuhan kita akan dipenuhi. Dengan cara yang sama, Paulus mengajak kita untuk membawa segala kecemasan kita kepada Tuhan dalam doa dan mengingat bahwa Dia selalu peduli dan siap memberikan ketenangan hati.

Lebih dari sekadar menyampaikan kekhawatiran kita, Paulus juga menekankan pentingnya ucapan syukur dalam doa kita. Bersyukur kepada Tuhan, meskipun dalam situasi yang sulit, adalah cara untuk mengingat kebaikan dan kesetiaan-Nya. Ketika kita berdoa dengan hati yang penuh syukur, kita membuka hati kita untuk merasakan damai sejahtera Allah yang luar biasa. Paulus menjelaskan bahwa dengan melakukan ini, kita akan menerima damai sejahtera Allah yang melampaui segala pengertian. Damai sejahtera ini bukan hanya mengatasi kekuatiran kita tetapi juga menjaga hati dan pikiran kita dalam Kristus Yesus. Dengan kata lain, meskipun keadaan di sekitar kita mungkin tidak berubah, Allah memberikan kedamaian batin yang tidak dapat dijelaskan dengan kata-kata suatu kedamaian yang hanya dapat kita rasakan ketika kita sepenuhnya menyerahkan hidup kita kepada-Nya.

IV. Fokus pada Hal-hal yang Benar dan Mulia (Filipi 4:8)

Filipi 4:8 berkata, "Finally, brothers and sisters, whatever is true, whatever is noble, whatever is right, whatever is pure, whatever is lovely, whatever is admirable, if anything is excellent or praiseworthy, think about such things."

Setiap hari kita disuguhkan dengan berbagai berita buruk dan kekhawatiran yang dapat menguasai pikiran kita, namun Tuhan memanggil kita untuk tidak membiarkan pikiran kita terperangkap dalam hal-hal negatif. Paulus dalam Filipi 4:8 mengajak kita untuk memfokuskan pikiran kita pada hal-hal yang positif, benar, dan memuliakan Tuhan. Paulus mengingatkan kita bahwa kita memiliki kendali atas apa yang kita pikirkan, dan dengan memilih untuk memusatkan perhatian pada hal-hal yang baik dan benar, kita bisa mengalihkan fokus kita dari kekuatiran dan menemukan kedamaian yang datang dari Allah. Ketika kita mengarahkan pikiran kita pada hal-hal yang mulia dan memuliakan Tuhan, kita diberi kekuatan untuk tetap teguh menghadapi tantangan hidup.

Dalam Kolose 3:2, Paulus mengajarkan, "Pikirkanlah perkara yang di atas, bukan yang di bumi," yang mengingatkan kita untuk mengalihkan perhatian kita pada hal-hal yang penuh dengan kebaikan, kebenaran, dan pengharapan, sebagaimana Tuhan telah mengaruniakan kepada kita melalui firman-Nya. Dengan cara ini, kita tidak hanya menjaga pikiran kita tetap tenang, tetapi juga menjalani hidup dengan perspektif iman yang mengutamakan kasih dan pengharapan yang datang dari Tuhan. Memfokuskan pikiran pada hal-hal yang memuliakan Tuhan membawa kita pada hidup yang penuh damai dan sukacita. Dalam Roma 12:2, Paulus juga mengingatkan kita untuk "janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu," yang berarti kita diajak untuk memperbaharui pikiran kita agar semakin mencerminkan karakter Kristus. Dengan memikirkan hal-hal yang benar, mulia, dan penuh pujian, kita tidak hanya memperbaharui pikiran kita, tetapi juga semakin menjadi serupa dengan Kristus.

V. Berlatih Hidup dalam Perintah Tuhan (Filipi 4:9)

Filipi 4:9 berkata, "Apa yang telah kamu pelajari dan terima dan dengar dan lihat padaku, lakukanlah itu. Maka Allah sumber damai sejahtera akan menyertai kamu."

Paulus mengingatkan jemaat Filipi bahwa kehidupan yang penuh damai sejahtera tidak hanya datang dari mendengarkan ajaran Tuhan, tetapi juga dari melakukannya dalam kehidupan sehari-hari. Ia menegaskan, “Apa yang kamu pelajari dan terima dan dengar dan lihat padaku, itu harus kamu lakukan,” yang menunjukkan bahwa ajaran Kristus seharusnya diterapkan dalam tindakan nyata. Kita dipanggil untuk hidup sesuai dengan firman Tuhan, bukan hanya sebagai teori atau pengetahuan, tetapi sebagai prinsip yang memandu setiap keputusan dan tindakan kita. Hal ini sejalan dengan ajaran Yakobus 1:22, yang berkata, "Tetapi hendaklah kamu menjadi pelaku firman dan bukan hanya pendengar saja", karena hanya dengan melakukannya kita dapat mengalami transformasi sejati dalam hidup kita.

Ketika kita hidup sesuai dengan firman Tuhan, kita tidak hanya menjadi saksi bagi dunia akan kasih dan kebenaran-Nya, tetapi kita juga akan merasakan damai sejahtera-Nya yang menyertai kita. Filipi 4:9 menjelaskan bahwa "damai sejahtera Allah" akan menjaga hati dan pikiran kita dalam Kristus Yesus. Ini adalah janji yang indah bagi setiap orang yang menghidupi firman Tuhan dalam kehidupannya. Seperti yang dijelaskan dalam Matius 7:24-25, Yesus menggambarkan orang yang mendengar dan melakukan firman-Nya sebagai orang yang membangun rumah di atas batu karang yang kokoh, yang tidak akan goyah meskipun datang badai. Dengan hidup sesuai dengan ajaran Tuhan, kita diberi kekuatan untuk bertahan dalam segala situasi dan merasakan kedamaian yang melampaui pengertian kita, karena kita tahu bahwa Tuhan selalu menyertai kita.

Kesimpulan:

Saudara-saudari yang terkasih, Filipi 4:2-9 mengajarkan kita banyak hal penting untuk hidup yang damai, penuh sukacita, dan sesuai dengan kehendak Tuhan. Kita diajak untuk menjaga perdamaian dalam hubungan, untuk terus bersukacita dalam Tuhan, untuk menyerahkan kecemasan kita kepada-Nya, untuk memfokuskan pikiran pada hal-hal yang baik, dan untuk hidup sesuai dengan firman Tuhan. Ketika kita hidup sesuai dengan kehendak Tuhan, kita mengalami damai sejahtera yang melampaui segala akal dan menjaga hati dan pikiran kita dalam Kristus Yesus. Sukacita yang kita terima bukanlah hasil dari keadaan eksternal, tetapi berasal dari hubungan kita dengan Tuhan dan keyakinan bahwa Dia memegang kendali atas segala hal. Marilah kita berlatih untuk hidup sesuai dengan firman-Nya, menjaga pikiran kita dari hal-hal negatif, dan selalu mengandalkan kasih dan kuasa Tuhan yang membawa kedamaian sejati ke dalam hidup kita. Amin