Oleh : Pdm. Fredrik Dandel, ST, STh, MAg, MTh
Pendahuluan:
Saudara-saudara yang dikasihi Tuhan, dalam kehidupan ini kita semua tentu pernah memikirkan tentang masa depan, tentang tabungan, pensiun, rumah, pendidikan anak-anak, bahkan warisan. Tidak ada yang salah dengan semua itu. Kita memang dipanggil untuk menjadi pengelola yang bijak atas berkat Tuhan. Tapi sering kali, tanpa kita sadari, perencanaan dan kepemilikan itu berubah arah, bukan lagi menjadi sarana untuk memuliakan Tuhan, melainkan menjadi tujuan hidup itu sendiri. Ketika harta menjadi pusat perhatian kita, maka pelan-pelan Tuhan digeser keluar dari takhta hati kita.
Hari ini, kita akan merenungkan sebuah kisah yang disampaikan Yesus, berawal dari permintaan yang tampaknya sederhana: seseorang ingin warisannya dibagi secara adil. Tapi respons Yesus sangat mengejutkan. Ia tidak menjawab sesuai harapan orang itu, melainkan langsung menyingkapkan masalah hati yang tersembunyi: keserakahan. Yesus tahu bahwa bukan soal warisan yang jadi masalah, melainkan prioritas dan kehausan jiwa manusia akan hal-hal duniawi.
Dalam Lukas 12:13–21, kita akan belajar bahwa ukuran keberhasilan di mata Tuhan bukanlah banyaknya yang kita kumpulkan, tapi apakah kita menjadi kaya di hadapan Allah. Kekayaan sejati bukan diukur dari seberapa penuh lumbung kita, melainkan dari seberapa dalam kasih kita kepada Tuhan dan sesama. Mari buka hati dan biarkan Firman Tuhan menata kembali fokus hidup kita dari harta dunia menuju harta kekal.
I. Hati yang Terikat pada Warisan Dunia (Lukas 12:13)
Saudara-saudara yang terkasih, perhatikan bagaimana khotbah ini dimulai. Di tengah ajaran rohani Yesus yang dalam, tiba-tiba seseorang menyela dengan permintaan yang sangat duniawi: “Guru, katakanlah kepada saudaraku supaya ia membagi warisan dengan aku.” Ini bukan pertanyaan tentang kehidupan kekal, bukan permohonan untuk pengampunan, tetapi tentang pembagian harta. Ini memperlihatkan bahwa sekalipun kita berada di tengah Firman Tuhan, hati kita bisa saja tetap tertambat pada hal-hal duniawi. Permintaan ini bukan hanya soal hak, tapi memperlihatkan fokus hati orang tersebut.
Yesus tidak langsung menghakimi permintaan itu sebagai salah secara hukum. Namun Ia mengungkap motivasi di baliknya—keserakahan. Kita juga bisa datang ke gereja, menyimak kotbah, tapi hati dan pikiran kita justru dipenuhi rencana mencari keuntungan pribadi. Bahkan kita bisa memakai Tuhan sebagai alat untuk memenuhi keinginan kita. Dalam Yeremia 17:9 dikatakan, “Betapa liciknya hati, lebih licik dari pada segala sesuatu, hatinya sudah membatu: siapakah yang dapat mengetahuinya?” Maka kita perlu bertanya kepada diri sendiri: Apa motivasi saya datang kepada Tuhan?
Saudara, tidak ada yang salah dengan harta benda, tetapi ada yang sangat salah jika harta menjadi pusat hidup kita. Ketika hati tertambat pada warisan duniawi, kita bisa kehilangan warisan surgawi. Dalam Kolose 3:2, Rasul Paulus mengingatkan, “Pikirkanlah perkara yang di atas, bukan yang di bumi.” Itulah panggilan bagi orang percaya, fokus kita harus diubahkan, dari keinginan duniawi menuju kerinduan akan Kerajaan Allah.
II. Waspadai Ketamakan yang Menghancurkan Jiwa (Lukas 12:14–15)
Yesus tidak hanya menolak peran sebagai hakim dalam perkara duniawi itu, tetapi Ia langsung mengarahkan perhatian kepada akar masalahnya: “Berjaga-jagalah dan waspadalah terhadap segala ketamakan.” Ini peringatan serius. Ketamakan bukan hanya soal ingin memiliki banyak, tapi soal hati yang tidak pernah cukup. Apapun yang Tuhan beri, selalu terasa kurang. Ketamakan adalah kehausan rohani yang keliru arah. Semakin diberi, semakin lapar.
Yesus menambahkan alasan penting: “Hidup seseorang tidak tergantung dari kekayaannya.” Dunia mengajarkan sebaliknya: bahwa nilai seseorang ditentukan dari jumlah hartanya, rumahnya, gelarnya. Tetapi Yesus memutar balik pandangan itu. Dalam 1 Timotius 6:6–8 Paulus berkata, “Memang ibadah itu kalau disertai rasa cukup, memberi keuntungan besar. Sebab kita tidak membawa sesuatu ke dalam dunia dan kita pun tidak dapat membawa apa-apa ke luar.” Ketamakan membutakan mata kita terhadap kebenaran ini.
Saudara, banyak orang terjebak dalam perlombaan tanpa garis akhir: semakin banyak memiliki, semakin takut kehilangan. Akhirnya hidup dipenuhi kecemasan, bukannya damai. Yesus memanggil kita untuk waspada dan berjaga-jaga, karena ketamakan bisa menggerogoti iman dan merusak hubungan dengan Tuhan dan sesama. Ingatlah Amsal 23:4–5: “Jangan bersusah payah untuk menjadi kaya, tinggalkan niatmu ini. Apakah engkau mau mengarahkan pandanganmu kepada yang tidak ada?” Harta bisa lenyap sekejap, tetapi kehidupan dalam Tuhan kekal adanya.
III. Kebodohan Orang Kaya yang Tidak Mengenal Allah (Lukas 12:16–20)
Dalam respons-Nya, Yesus menceritakan sebuah perumpamaan yang sangat tajam. Seorang kaya memperoleh hasil luar biasa, dan rencananya tampak bijaksana secara duniawi: memperbesar lumbung, menyimpan kekayaan, dan menikmati hidup. Ia berkata pada dirinya sendiri, “Tenanglah, makanlah, minumlah dan bersenang-senanglah.” Tapi yang tidak ia perhitungkan adalah Tuhan. Hidupnya berputar hanya seputar “aku” dan “milikku.” Ia pandai mengatur masa depan finansial, tapi lupa pada masa depan kekal.
Tuhan menyebutnya “orang bodoh.” Bukan karena ia sukses, tapi karena ia tidak melibatkan Allah dalam hidupnya. Ia hidup seakan-akan waktu miliknya, seolah-olah umur bisa direncanakan. Tapi Tuhan berkata, “Pada malam ini juga jiwamu akan diambil daripadamu.” Dalam Yakobus 4:13–15 dikatakan, “Kamu tidak tahu apa yang akan terjadi besok... Sebaliknya, kamu harus berkata: Jika Tuhan menghendakinya, kami akan hidup dan berbuat ini dan itu.” Tanpa Tuhan, semua perencanaan sehebat apapun adalah sia-sia.
Saudara, ada orang yang sangat teliti mengatur keuangan, asuransi, tabungan, bahkan warisan, tapi lalai mempersiapkan jiwa dan iman. Ingat, hidup kita bukan ditentukan oleh jumlah harta, melainkan oleh hubungan kita dengan Tuhan. Seperti yang dikatakan Mazmur 49:17–18, “Sebab pada waktu matinya ia tidak akan membawa sesuatu pun, kemuliaannya tidak akan turun mengikuti dia.” Satu-satunya hal yang abadi adalah apa yang kita serahkan bagi Tuhan.
IV. Kaya di Hadapan Allah: Harta yang Tak Akan Binasa (Lukas 12:21)
Yesus mengakhiri pengajaran ini dengan pernyataan yang menggetarkan: “Demikianlah jadinya dengan orang yang mengumpulkan harta bagi dirinya sendiri, jikalau ia tidak kaya di hadapan Allah.” Ini bukan hanya nasihat, tapi juga peringatan. Ada dua jenis kekayaan: kekayaan duniawi yang fana, dan kekayaan rohani yang kekal. Menjadi kaya di hadapan Allah artinya memiliki hati yang berkenan, hidup dalam kasih, iman, dan ketaatan.
Bagaimana cara menjadi kaya di hadapan Allah? Yesus memberikan jawabannya dalam Matius 6:19–21: “Janganlah kamu mengumpulkan harta di bumi… tetapi kumpulkanlah bagimu harta di surga... Karena di mana hartamu berada, di situ juga hatimu berada.” Artinya, hidup kita diarahkan untuk memberi, melayani, dan mempercayakan segala sesuatu kepada Tuhan. Orang yang murah hati, yang peduli pada sesama, yang hidup dalam persekutuan dengan Allah, itulah yang benar-benar kaya di hadapan-Nya.
Saudara, marilah kita berhenti sejenak dan menilai kembali di mana harta kita yang sejati berada. Apakah semua upaya kita selama ini hanya untuk “lumbung besar” yang akhirnya akan kita tinggalkan? Ataukah kita sedang membangun tabungan kekal di surga melalui iman, kasih, dan kesetiaan kepada Kristus? Seperti dikatakan dalam Amsal 11:28, “Siapa mempercayakan diri kepada kekayaannya akan jatuh; tetapi orang benar akan tumbuh seperti daun muda.” Itulah warisan yang tidak pernah akan hilang.
Penutup:
Saudara, jangan sampai kita menjadi seperti orang kaya yang bodoh itu, berhasil secara dunia, tapi gagal di hadapan Allah. Hidup kita adalah anugerah, dan waktu kita terbatas. Mari gunakan hidup ini untuk menjadi kaya di hadapan Allah: hidup dalam iman, rela memberi, rendah hati, dan bergantung penuh pada Tuhan. Karena suatu saat kelak, saat kita berdiri di hadapan Tuhan, bukan jumlah saldo kita yang ditanya, tetapi apakah kita telah mengasihi Dia dengan segenap hati, jiwa, dan kekuatan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar