Oleh : Fredrik Dandel
Ia menyebut
diri sebagai jiwa yang setia,
Lidahnya fasih menyebut nama Ilahi,
Namun tiap kali cahaya mulai menyapa,
Langkahnya justru menjauh dengan diam-diam.
Pekerjaan Tuhan
mengetuk lembut di dada,
Namun ia sibuk menata alibi dunia,
"Aku Tidak Lagi," katanya dalam bisu yang nyata,
Padahal kesempatan itu pilihan mereka.
Lalu, saat
kebenaran tak lagi mengundang,
Ia merasa tersolimi, merasa terbuang,
Bukan karena tak mengerti arah terang,
Tapi karena ia memilih jalan yang berliku... dan kosong.
Dan di ujung
sepi, ia bertanya lirih,
"Kenapa aku yang harus terluka dan tersisih ?"
Padahal luka dan derita itu bukan pemberian Ilahi,
Tapi cermin dari hati yang tahu, tapi tak mau mengerti.
Lidahnya fasih menyebut nama Ilahi,
Namun tiap kali cahaya mulai menyapa,
Langkahnya justru menjauh dengan diam-diam.
Namun ia sibuk menata alibi dunia,
"Aku Tidak Lagi," katanya dalam bisu yang nyata,
Padahal kesempatan itu pilihan mereka.
Ia merasa tersolimi, merasa terbuang,
Bukan karena tak mengerti arah terang,
Tapi karena ia memilih jalan yang berliku... dan kosong.
"Kenapa aku yang harus terluka dan tersisih ?"
Padahal luka dan derita itu bukan pemberian Ilahi,
Tapi cermin dari hati yang tahu, tapi tak mau mengerti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar