Oleh : Pdm. Fredrik Dandel, ST, STh, MAg, MTh
Pendahuluan
Setelah tembok Yerusalem selesai dibangun, ternyata pekerjaan pemulihan belum selesai. Kota itu masih sepi, dan hanya sedikit orang yang mau tinggal di sana. Maka Nehemia dan para pemimpin menggunakan sistem undian untuk menentukan siapa yang harus tinggal di Yerusalem. Tidak semua orang dipaksa. Sebagian ada yang dipilih, sebagian lagi datang dengan sukarela.
Yerusalem adalah kota yang disebut “kota kudus,” tetapi pada saat itu, kondisi fisiknya belum ideal. Banyak reruntuhan, situasi keamanan belum stabil, dan kebutuhan hidup masih sulit. Wajar jika kebanyakan orang lebih memilih tinggal di kampung halaman mereka sendiri yang sudah tertata. Namun, Allah memanggil sebagian umat-Nya untuk kembali membangun pusat ibadah dan kehidupan umat.
Kisah ini mengandung pelajaran rohani penting bagi kita hari ini. Kadang Tuhan juga menempatkan kita di tempat atau situasi yang tidak ideal. Tapi justru di sanalah kita dipanggil untuk menunjukkan iman, ketaatan, dan komitmen kita kepada Tuhan.
1. Yerusalem: Kota Kudus yang Butuh Keberanian untuk Ditinggali
“...untuk membawa satu dari sepuluh orang untuk tinggal di Yerusalem, kota kudus itu...” (Nehemia 11:1)
Yerusalem disebut sebagai "kota kudus", bukan karena kondisinya sempurna, tetapi karena peran pentingnya dalam rencana Allah. Kota ini adalah pusat ibadah, tempat Bait Allah berdiri. Meski demikian, setelah masa pembuangan, kota ini masih perlu banyak pembenahan. Tinggal di Yerusalem berarti siap menghadapi kesulitan, bekerja keras, dan hidup dalam ketidakpastian.
Orang-orang yang tinggal di sana harus rela meninggalkan zona nyaman mereka. Bayangkan saja, mereka harus memulai dari awal: membangun rumah, membentuk komunitas baru, dan menata kehidupan dalam kota yang pernah runtuh. Tapi justru itulah tempat di mana Tuhan ingin kembali memulihkan umat-Nya secara rohani dan sosial. Tuhan mencari orang yang bersedia menjadi bagian dari pemulihan itu.
Hal ini mengingatkan kita pada Ibrani 13:14 – “Sebab di sini kita tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap; kita mencari kota yang akan datang.” Hidup kita di dunia ini juga tidak selalu nyaman. Tapi ketika Tuhan memanggil kita ke “Yerusalem” – ke tempat pelayanan, tanggung jawab, atau komunitas yang membutuhkan – apakah kita siap?
2. Undian: Cara Allah Menata Umat-Nya Secara Adil
“Tetapi orang-orang lain mengundi untuk membawa satu dari sepuluh orang untuk tinggal di Yerusalem...” (Nehemia 11:1)
Pengundian bukan hal asing dalam Alkitab. Dalam Perjanjian Lama, mengundi sering digunakan untuk mengetahui kehendak Tuhan dalam pembagian tanah (Yosua 18:10) atau penentuan imam besar (Imamat 16:8). Bahkan dalam Kisah Para Rasul 1:26, murid-murid Yesus mengundi untuk memilih pengganti Yudas. Ini menunjukkan bahwa pengundian bisa menjadi cara rohani untuk mengambil keputusan dengan adil.
Dalam konteks Nehemia, pengundian menunjukkan bahwa semua orang bertanggung jawab secara kolektif untuk memulihkan kota Tuhan. Tidak hanya para pemimpin, tetapi seluruh umat harus ambil bagian. Tidak ada yang kebal atau bebas dari tanggung jawab rohani, bahkan jika itu terasa berat. Undian menjadi simbol keadilan, keterlibatan bersama, dan kedaulatan Tuhan dalam memilih siapa yang harus melayani di mana.
Ini sejalan dengan 1 Korintus 12:18 – “Tetapi Allah telah memberikan kepada anggota, masing-masing secara khusus, suatu tempat pada tubuh, seperti yang dikehendaki-Nya.” Dalam tubuh Kristus, setiap kita punya tempat dan tanggung jawab. Kadang kita tidak memilih tempat itu, tapi Tuhan yang menaruh kita di sana. Yang penting adalah kesediaan kita untuk taat.
3. Dihormati Karena Rela Berkorban demi Kota Allah
“Orang-orang memuji semua orang yang rela untuk tinggal di Yerusalem.” (Nehemia 11:2)
Meskipun ada yang dipilih lewat undian, ada juga orang-orang yang dengan sukarela memilih tinggal di Yerusalem. Mereka tidak menunggu dipilih. Mereka tahu ini berat, tapi mereka memilih untuk melayani Tuhan di tengah tantangan. Mereka adalah teladan bagi umat, karena tidak semua orang mau mengorbankan kenyamanan demi kebaikan bersama.
Alkitab mencatat bahwa orang-orang ini dipuji, bukan karena mereka hebat secara duniawi, tapi karena kerelaan hati mereka untuk taat dan melayani. Mereka tidak mencari pujian, tapi justru mendapatkan hormat dari umat karena kesediaan mereka. Ini menunjukkan bahwa dalam kerajaan Allah, kerelaan dan pengorbanan lebih berharga daripada status atau posisi.
Rasul Paulus berkata dalam Roma 12:1 – “Karena itu, saudara-saudara, demi kemurahan Allah aku menasihatkan kamu, supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup...” Pelayanan sejati bukan soal siapa yang paling mampu, tetapi siapa yang paling rela. Tuhan menghargai kerelaan hati lebih dari sekadar kemampuan teknis.
Penutup: Menjadi Orang yang Rela Dipakai Tuhan
Tinggal di Yerusalem bukan sekadar soal tempat tinggal, tapi soal komitmen. Tuhan memanggil sebagian umat untuk meninggalkan kenyamanan, membangun kota yang runtuh, dan menjadi bagian dari karya pemulihan-Nya. Sebagian harus diundi, sebagian datang dengan rela. Tapi semuanya dipanggil untuk taat.
Hari ini, Yerusalem kita mungkin adalah tempat pelayanan yang sepi, ladang penginjilan yang sulit, atau keluarga yang belum percaya. Tuhan mungkin menempatkan kita di sana, bukan karena itu mudah, tetapi karena itu penting. Yang Dia cari bukan orang paling kuat, tapi yang paling taat dan paling rela.
Mari kita menjadi orang-orang yang seperti dalam Yesaya 6:8 – “Ini aku, utuslah aku!” Tidak menunggu ditunjuk, tapi melangkah maju karena tahu bahwa pelayanan kepada Tuhan adalah kehormatan, bukan beban.