Kamis, 31 Juli 2025

Rela Tinggal di Yerusalem – Komitmen di Tempat yang Tidak Nyaman. Nehemia 11:1–2

Oleh : Pdm. Fredrik Dandel, ST, STh, MAg, MTh

Pendahuluan

Setelah tembok Yerusalem selesai dibangun, ternyata pekerjaan pemulihan belum selesai. Kota itu masih sepi, dan hanya sedikit orang yang mau tinggal di sana. Maka Nehemia dan para pemimpin menggunakan sistem undian untuk menentukan siapa yang harus tinggal di Yerusalem. Tidak semua orang dipaksa. Sebagian ada yang dipilih, sebagian lagi datang dengan sukarela.

Yerusalem adalah kota yang disebut “kota kudus,” tetapi pada saat itu, kondisi fisiknya belum ideal. Banyak reruntuhan, situasi keamanan belum stabil, dan kebutuhan hidup masih sulit. Wajar jika kebanyakan orang lebih memilih tinggal di kampung halaman mereka sendiri yang sudah tertata. Namun, Allah memanggil sebagian umat-Nya untuk kembali membangun pusat ibadah dan kehidupan umat.

Kisah ini mengandung pelajaran rohani penting bagi kita hari ini. Kadang Tuhan juga menempatkan kita di tempat atau situasi yang tidak ideal. Tapi justru di sanalah kita dipanggil untuk menunjukkan iman, ketaatan, dan komitmen kita kepada Tuhan.

1. Yerusalem: Kota Kudus yang Butuh Keberanian untuk Ditinggali

“...untuk membawa satu dari sepuluh orang untuk tinggal di Yerusalem, kota kudus itu...” (Nehemia 11:1)

Yerusalem disebut sebagai "kota kudus", bukan karena kondisinya sempurna, tetapi karena peran pentingnya dalam rencana Allah. Kota ini adalah pusat ibadah, tempat Bait Allah berdiri. Meski demikian, setelah masa pembuangan, kota ini masih perlu banyak pembenahan. Tinggal di Yerusalem berarti siap menghadapi kesulitan, bekerja keras, dan hidup dalam ketidakpastian.

Orang-orang yang tinggal di sana harus rela meninggalkan zona nyaman mereka. Bayangkan saja, mereka harus memulai dari awal: membangun rumah, membentuk komunitas baru, dan menata kehidupan dalam kota yang pernah runtuh. Tapi justru itulah tempat di mana Tuhan ingin kembali memulihkan umat-Nya secara rohani dan sosial. Tuhan mencari orang yang bersedia menjadi bagian dari pemulihan itu.

Hal ini mengingatkan kita pada Ibrani 13:14 – “Sebab di sini kita tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap; kita mencari kota yang akan datang.” Hidup kita di dunia ini juga tidak selalu nyaman. Tapi ketika Tuhan memanggil kita ke “Yerusalem” – ke tempat pelayanan, tanggung jawab, atau komunitas yang membutuhkan – apakah kita siap?

2. Undian: Cara Allah Menata Umat-Nya Secara Adil

“Tetapi orang-orang lain mengundi untuk membawa satu dari sepuluh orang untuk tinggal di Yerusalem...” (Nehemia 11:1)

Pengundian bukan hal asing dalam Alkitab. Dalam Perjanjian Lama, mengundi sering digunakan untuk mengetahui kehendak Tuhan dalam pembagian tanah (Yosua 18:10) atau penentuan imam besar (Imamat 16:8). Bahkan dalam Kisah Para Rasul 1:26, murid-murid Yesus mengundi untuk memilih pengganti Yudas. Ini menunjukkan bahwa pengundian bisa menjadi cara rohani untuk mengambil keputusan dengan adil.

Dalam konteks Nehemia, pengundian menunjukkan bahwa semua orang bertanggung jawab secara kolektif untuk memulihkan kota Tuhan. Tidak hanya para pemimpin, tetapi seluruh umat harus ambil bagian. Tidak ada yang kebal atau bebas dari tanggung jawab rohani, bahkan jika itu terasa berat. Undian menjadi simbol keadilan, keterlibatan bersama, dan kedaulatan Tuhan dalam memilih siapa yang harus melayani di mana.

Ini sejalan dengan 1 Korintus 12:18 – “Tetapi Allah telah memberikan kepada anggota, masing-masing secara khusus, suatu tempat pada tubuh, seperti yang dikehendaki-Nya.” Dalam tubuh Kristus, setiap kita punya tempat dan tanggung jawab. Kadang kita tidak memilih tempat itu, tapi Tuhan yang menaruh kita di sana. Yang penting adalah kesediaan kita untuk taat.

3. Dihormati Karena Rela Berkorban demi Kota Allah

“Orang-orang memuji semua orang yang rela untuk tinggal di Yerusalem.” (Nehemia 11:2)

Meskipun ada yang dipilih lewat undian, ada juga orang-orang yang dengan sukarela memilih tinggal di Yerusalem. Mereka tidak menunggu dipilih. Mereka tahu ini berat, tapi mereka memilih untuk melayani Tuhan di tengah tantangan. Mereka adalah teladan bagi umat, karena tidak semua orang mau mengorbankan kenyamanan demi kebaikan bersama.

Alkitab mencatat bahwa orang-orang ini dipuji, bukan karena mereka hebat secara duniawi, tapi karena kerelaan hati mereka untuk taat dan melayani. Mereka tidak mencari pujian, tapi justru mendapatkan hormat dari umat karena kesediaan mereka. Ini menunjukkan bahwa dalam kerajaan Allah, kerelaan dan pengorbanan lebih berharga daripada status atau posisi.

Rasul Paulus berkata dalam Roma 12:1 – “Karena itu, saudara-saudara, demi kemurahan Allah aku menasihatkan kamu, supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup...” Pelayanan sejati bukan soal siapa yang paling mampu, tetapi siapa yang paling rela. Tuhan menghargai kerelaan hati lebih dari sekadar kemampuan teknis.

Penutup: Menjadi Orang yang Rela Dipakai Tuhan

Tinggal di Yerusalem bukan sekadar soal tempat tinggal, tapi soal komitmen. Tuhan memanggil sebagian umat untuk meninggalkan kenyamanan, membangun kota yang runtuh, dan menjadi bagian dari karya pemulihan-Nya. Sebagian harus diundi, sebagian datang dengan rela. Tapi semuanya dipanggil untuk taat.

Hari ini, Yerusalem kita mungkin adalah tempat pelayanan yang sepi, ladang penginjilan yang sulit, atau keluarga yang belum percaya. Tuhan mungkin menempatkan kita di sana, bukan karena itu mudah, tetapi karena itu penting. Yang Dia cari bukan orang paling kuat, tapi yang paling taat dan paling rela.

Mari kita menjadi orang-orang yang seperti dalam Yesaya 6:8 – “Ini aku, utuslah aku!” Tidak menunggu ditunjuk, tapi melangkah maju karena tahu bahwa pelayanan kepada Tuhan adalah kehormatan, bukan beban.

Tuhan Memulihkan Umat-Nya Lewat Banyak Saluran: Belajar dari Tokoh-Tokoh Pasca-Pembuangan. (Ezra – Nehemia – Hagai – Zakharia)

Oleh : Pdm. Fredrik Dandel, ST, STh, MAg, MTh

Pendahuluan:

Pemulihan umat Allah setelah pembuangan di Babel tidak terjadi dalam sekejap, dan tidak melalui satu orang saja. Tuhan memakai berbagai tokoh, pada waktu yang berbeda, dengan fungsi dan peran yang beragam, untuk membangun kembali bangsa-Nya secara rohani, sosial, dan struktural. Dari Zerubabel hingga Nehemia, dari imam Yesua hingga nabi-nabi, kita melihat bagaimana tangan Tuhan bekerja lewat manusia.

Setiap tokoh yang datang ke Yerusalem setelah pembuangan membawa beban dan tugas masing-masing. Mereka datang dalam tiga gelombang utama pemulangan: pertama, di bawah Zerubabel (538 SM); kedua, di bawah Ezra (458 SM); dan ketiga, di bawah Nehemia (445 SM). Pemulihan itu membutuhkan waktu puluhan tahun, karena pekerjaan Tuhan bukan hanya soal bangunan fisik, tapi juga transformasi hati.

Mari kita menyimak lebih dekat peran mereka, waktu kedatangan mereka ke Yerusalem, dan apa yang Tuhan lakukan melalui mereka, agar kita juga setia dalam bagian kita masing-masing hari ini.

1. Zerubabel dan Imam Besar Yesua (538 SM): Pemulihan Mezbah dan Pondasi Rumah Tuhan. (Ezra 3:2–3; Hagai 1:12–14; Zakharia 4:6–9)

Zerubabel adalah pemimpin pertama yang memimpin umat pulang dari Babel ke Yerusalem sekitar tahun 538 SM, setelah dikeluarkannya dekrit oleh Raja Koresy dari Persia (Ezra 1:1–3). Ia adalah keturunan Daud dan diangkat sebagai gubernur Yehuda (Hagai 1:1). Bersamanya ada imam besar Yesua bin Yozadak, yang berperan dalam memimpin umat secara rohani. Prioritas pertama mereka bukan membangun tembok, tetapi memulihkan mezbah dan mempersembahkan korban kepada Tuhan (Ezra 3:2–3).

Setelah membangun pondasi Bait Suci, pekerjaan mereka sempat terhenti karena tekanan musuh dan kelesuan semangat umat (Ezra 4:24). Tuhan lalu mengutus nabi Hagai dan Zakharia untuk membangkitkan kembali keberanian dan visi mereka. Pesan Zakharia 4:6 sangat kuat: “Bukan dengan keperkasaan dan bukan dengan kekuatan, melainkan dengan Roh-Ku, firman TUHAN semesta alam.”

Zerubabel dan Yesua mengajarkan bahwa pemulihan dimulai dari penyembahan. Di zaman ini, kita pun dipanggil untuk memprioritaskan mezbah rohani dalam keluarga dan gereja sebelum kita mengejar pembangunan yang kelihatan. Tanpa mezbah, rumah Tuhan hanyalah bangunan kosong.

2. Ezra (458 SM): Pemulihan Hukum Tuhan dan Pembentukan Karakter Rohani. (Ezra 7:6–10; Ezra 9:6–15; Nehemia 8:1–12)

Ezra datang ke Yerusalem sekitar tahun 458 SM, 80 tahun setelah Zerubabel. Ia adalah seorang imam dan ahli Taurat, keturunan Harun (Ezra 7:1–6). Ia datang dengan misi untuk mengajarkan hukum Allah kepada umat, memperkuat identitas rohani mereka, dan memimpin pertobatan nasional. Ezra 7:10 mencatat bahwa ia “bertekad untuk meneliti Taurat TUHAN, melakukannya dan mengajarkan ketetapan dan peraturan di antara orang Israel.”

Ezra sangat terpukul ketika melihat bahwa umat yang sudah kembali justru hidup dalam kompromi, bahkan para pemimpin kawin campur dengan bangsa asing (Ezra 9:2–3). Ia merendahkan diri, berdoa dan memimpin pertobatan yang menyeluruh. Melalui Ezra, Tuhan membentuk kembali kepekaan umat terhadap Firman dan memulihkan rasa takut akan Tuhan.

Dalam Nehemia 8, Ezra berperan besar saat membacakan Taurat kepada seluruh umat, hingga mereka menangis dan bertobat. Firman Tuhan membangkitkan kembali semangat, pengertian, dan komitmen umat. Gereja hari ini sangat membutuhkan pelayanan seperti Ezra, orang-orang yang bukan hanya pintar Alkitab, tapi yang hidup di dalamnya.

3. Nehemia (445 SM): Pemulihan Perlindungan, Martabat, dan Keadilan Sosial. (Nehemia 1:1–4; 2:17–20; 4:6–20; 5:6–13)

Nehemia adalah tokoh ketiga yang datang ke Yerusalem sekitar tahun 445 SM, 13 tahun setelah Ezra. Ia adalah juru minuman Raja Artahsasta dan menjadi pejabat penting di istana Persia (Neh. 1:11). Ketika mendengar bahwa tembok Yerusalem masih runtuh dan umat dalam kehinaan, hatinya hancur dan ia berdoa dengan sungguh (Neh. 1:3–4). Tuhan menaruh beban di hatinya untuk membangun tembok Yerusalem sebagai lambang keamanan dan harga diri bangsa.

Dalam waktu singkat, hanya 52 hari, Nehemia berhasil membangun kembali tembok itu (Neh. 6:15). Ia memimpin dengan strategi, doa, dan ketegasan, menghadapi berbagai intimidasi dan pengkhianatan (Neh. 4:7–9). Namun kehebatannya bukan hanya di bidang pembangunan fisik, melainkan juga menegakkan keadilan sosial, seperti saat ia menegur para bangsawan yang menindas orang miskin (Neh. 5:6–13).

Nehemia adalah gambaran pemimpin yang rohani, tangguh, adil, dan mengabdi bagi rakyat. Ia membuktikan bahwa pelayanan bukan hanya di mimbar, tapi juga di lapangan — memimpin, menegur, melindungi, dan memulihkan martabat umat Tuhan.

4. Hagai dan Zakharia (520 SM): Pemulihan Semangat dan Pandangan Profetik. (Hagai 1:2–8; Zakharia 4:1–10; 9:9–10)

Nabi Hagai dan Zakharia melayani pada tahun 520 SM, di masa kepemimpinan Zerubabel dan Yesua. Mereka diutus untuk membangkitkan semangat umat yang mulai suam dalam membangun rumah Tuhan. Hagai menegur umat karena lebih sibuk membangun rumah sendiri daripada rumah Allah (Hagai 1:4–9), dan berkata, “Perhatikanlah keadaanmu!” Pesannya jelas: berkat Tuhan tidak terlepas dari ketaatan kita.

Zakharia menyampaikan penglihatan profetik dan dorongan rohani untuk memberi umat pengharapan masa depan. Ia menyatakan bahwa Tuhan tetap menyertai umat-Nya, dan bahwa Sang Mesias akan datang dengan damai (Zak. 9:9). Ia juga memberi semangat kepada Zerubabel: “Tangan Zerubabel telah meletakkan dasar rumah ini, dan tangannya juga akan menyelesaikannya” (Zakharia 4:9).

Kedua nabi ini menunjukkan bahwa kebangunan rohani butuh suara kenabian yang menegur dan menghibur. Di zaman sekarang, Tuhan juga memanggil kita untuk menjadi suara yang membangkitkan, bukan yang membiarkan umat tenggelam dalam kenyamanan rohani.

Kesimpulan: Satu Tubuh, Banyak Peran. (1 Korintus 12:4–6; Roma 12:4–8)

Dari keempat tokoh besar ini, Zerubabel, Ezra, Nehemia, dan para nabi, kita belajar bahwa Tuhan bekerja lewat berbagai orang, dengan latar belakang, panggilan, dan waktu yang berbeda. Tidak ada satu tokoh yang bisa memulihkan umat sendirian. Pemulihan total terjadi ketika semua peran berjalan dalam ketaatan.

Gereja dan umat Tuhan di masa kini juga memerlukan berbagai jenis pemimpin: yang membangun dasar ibadah, yang menanamkan Firman, yang menegakkan keadilan, dan yang memberi penglihatan rohani. Kita semua adalah bagian dari tubuh Kristus, dan tidak ada satu pun pelayanan yang lebih penting dari yang lain (1 Kor. 12:21–25).

Apakah Anda dipanggil menjadi Ezra yang mengajarkan Firman? Atau seperti Nehemia yang membela umat dan menyusun strategi? Atau seperti Hagai yang menegur dengan kasih? Temukan peran Anda dan jalani dengan setia, karena pemulihan besar selalu dimulai dari ketaatan pribadi.

Dari Budak Menjadi Ahli Waris. Nehemia 7:46–60

Oleh : Pdm. Fredrik Dandel, ST, STh, MAg, MTh

Pendahuluan:

Dalam kitab Nehemia 7, kita menemukan daftar panjang nama-nama orang yang kembali dari pembuangan. Di antara mereka, terdapat kelompok yang disebut Netinim (budak-budak Bait Allah) dan hamba-hamba Salomo. Mereka bukan imam, bukan raja, bukan nabi. Mereka hanyalah pelayan bait Allah yang secara sosial dianggap kecil, tetapi mendapat tempat dalam catatan kekal Firman Tuhan. Dari sinilah kita belajar bahwa Tuhan tidak memandang rendah orang yang setia melayani, walau tidak dikenal manusia.

I. Allah Menghargai Mereka yang Tidak Dihargai Manusia. Nehemia 7:46–56; Lukas 1:52; 1 Korintus 1:27–29

Kelompok Netinim terdiri dari keturunan budak yang ditetapkan untuk melayani di rumah Tuhan, melakukan pekerjaan-pekerjaan kasar seperti menimba air, memotong kayu, dan membantu pelayanan para imam. Meskipun peran mereka dianggap kecil oleh masyarakat, Alkitab menyebut mereka secara spesifik satu per satu menunjukkan bahwa Allah tidak pernah melupakan mereka yang setia, walaupun dunia tidak menghargainya. Daftar ini mencerminkan bahwa kesetiaan dalam pelayanan lebih penting daripada posisi atau pengakuan manusia.

Dalam Lukas 1:52, Maria memuji Allah dengan berkata: “Ia menurunkan orang-orang yang berkuasa dari takhtanya dan meninggikan orang-orang yang rendah.” Ini adalah prinsip Allah: Dia memperhatikan dan meninggikan mereka yang dianggap rendah, selama mereka hidup dalam takut akan Tuhan. Seperti halnya Netinim, banyak dari kita mungkin merasa seperti "orang kecil" dalam gereja atau masyarakat, tapi jika kita tetap setia, Tuhan akan mengangkat kita dalam waktu-Nya.

Paulus menegaskan hal ini dalam 1 Korintus 1:27–29, bahwa Allah memilih yang lemah dan hina menurut dunia untuk memalukan yang kuat dan tinggi. Pelayanan kita, sekecil apa pun, bukan tidak berarti jika dilakukan untuk Tuhan. Bahkan, mungkin justru pelayanan-pelayanan tersembunyi itulah yang mendapat upah besar di surga. Tuhan memanggil kita bukan karena siapa kita, tapi karena Dia tahu kita mau dipakai untuk kemuliaan-Nya.

II. Status Sosial Tidak Menghalangi Pelayanan Kudus. Nehemia 7:57–60; 1 Raja-raja 9:20–21; Kisah Para Rasul 10:34–35

Hamba-hamba Salomo adalah keturunan bangsa asing yang diperbudak pada masa pemerintahan Raja Salomo. Mereka berasal dari sisa-sisa bangsa Kanaan yang tidak dimusnahkan (1 Raja-raja 9:20–21), tetapi dijadikan pekerja wajib. Dalam masyarakat Israel, mereka menempati posisi bawah. Namun luar biasanya, mereka tetap ikut kembali dari pembuangan dan tetap melayani dalam rumah Allah. Ini menunjukkan bahwa pelayanan bukan soal asal-usul, tetapi soal ketaatan.

Allah tidak menutup pelayanan hanya bagi mereka yang berdarah Israel, tetapi membuka pintu bagi siapa pun yang mau taat dan hidup kudus. Hal ini ditegaskan dalam Kisah Para Rasul 10:34–35, ketika Petrus berkata, “Sesungguhnya aku telah mengerti, bahwa Allah tidak membedakan orang. Setiap orang dari bangsa mana pun yang takut akan Dia dan mengamalkan kebenaran, berkenan kepada-Nya.” Inilah kekayaan rahmat Tuhan yang melampaui garis keturunan dan latar belakang sosial.

Status kita di dunia tidak menentukan nilai kita di mata Tuhan. Banyak orang menolak pelayanan karena merasa tidak layak, tapi Tuhan berkata bahwa Dia memanggil bukan yang sempurna, tetapi yang bersedia. Hamba-hamba Salomo mengingatkan kita bahwa Tuhan dapat memakai siapa saja, bahkan keturunan budak, untuk menjadi alat kemuliaan-Nya, asalkan kita berserah kepada-Nya sepenuh hati.

III. Nama-Nama Kecil di Mata Dunia, Tetapi Besar di Hadapan Allah. Nehemia 7:46–60; Lukas 10:20; Maleakhi 3:16

Nehemia mencatat dengan rinci nama-nama setiap keluarga dari para Netinim dan hamba Salomo. Mungkin nama-nama itu sulit dibaca, dan bahkan tidak dikenal di sejarah besar Israel. Namun, justru karena mereka disebut satu per satu, kita tahu bahwa Allah mencatat nama mereka secara pribadi, bukan sekadar angka. Di mata dunia, mereka tak penting. Tapi di mata Allah, mereka berarti. Nama mereka terukir dalam sejarah suci.

Yesus pernah berkata kepada murid-murid-Nya dalam Lukas 10:20: “Bersukacitalah karena namamu ada terdaftar di surga.” Ini adalah jaminan yang luar biasa bahwa Tuhan mencatat dan menghargai setiap orang yang melayani-Nya dengan setia, meskipun dunia tidak mengenalnya. Nama kita mungkin tidak tercatat dalam sejarah manusia, tetapi jika kita setia kepada Kristus, nama kita tercatat di kitab kehidupan.

Dalam Maleakhi 3:16, tertulis bahwa Tuhan menulis "kitab peringatan" untuk orang-orang yang takut akan Dia dan menghormati nama-Nya. Ini menjadi penghiburan bagi semua pelayan Tuhan yang setia di tempat tersembunyi. Sama seperti para Netinim dan hamba Salomo, nama kita pun akan disebut oleh Tuhan sendiri, bukan karena besar di dunia, tetapi karena setia dalam pelayanan-Nya.

IV. Pelayanan Kecil yang Menghasilkan Warisan Kekal. Nehemia 7:60; Kolose 3:23–24; Galatia 6:9

Ayat terakhir dari bagian ini menyatakan jumlah total para Netinim dan hamba Salomo: 392 orang. Mereka hanyalah sebagian kecil dari ribuan yang kembali ke Yerusalem. Tapi kelompok kecil inilah yang dipercayakan untuk memelihara pelayanan bait Allah, pusat penyembahan umat Israel. Tuhan memakai jumlah kecil untuk pekerjaan besar. Ini menunjukkan bahwa kesetiaan lebih penting daripada jumlah.

Dalam Kolose 3:23–24, Paulus menasihati: “Apapun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia. Kamu tahu bahwa dari Tuhanlah kamu akan menerima bagian yang ditentukan bagimu sebagai upah.” Ayat ini menyatakan bahwa setiap pelayanan sekecil apapun punya nilai kekal jika dilakukan untuk Tuhan.

Jangan lelah melayani dalam hal yang tampaknya sepele. Seperti kata Paulus dalam Galatia 6:9: “Janganlah kita jemu-jemu berbuat baik, karena pada waktu yang tepat kita akan menuai, jika kita tidak menjadi lemah.” Para Netinim mungkin tak pernah membayangkan bahwa nama mereka akan dicatat dalam Kitab Suci, tapi kesetiaan mereka menjadikan mereka bagian dari warisan kekal bangsa pilihan Tuhan.

Penutup:

Kita hidup di dunia yang mengagungkan yang besar, populer, dan berpengaruh. Tapi Tuhan bekerja berbeda. Dia memperhatikan yang kecil, yang rendah, yang setia. Dari budak Bait Allah dan hamba Salomo, kita belajar bahwa Tuhan melihat hati, bukan status. Melalui Kristus, bahkan orang yang hina di dunia bisa diangkat menjadi anak dan ahli waris Kerajaan Allah (Galatia 4:7). Jangan menyerah dalam pelayanan. Mungkin Anda tidak dikenal dunia, tapi Tuhan mencatat nama Anda dalam Kitab Kehidupan.

“Bertumbuh dalam Firman, Teguh Melawan Kesesatan”. Efesus 4:11–16

Oleh : Pdm. Fredrik Dandel, ST, STh, MAg, MTh

Pendahuluan:

Kita hidup di masa ketika ajaran-ajaran sesat menyusup dengan halus ke dalam kehidupan orang percaya, bahkan melalui mimbar, media sosial, dan komunitas rohani. Banyak yang tampak rohani, tetapi justru menjauhkan umat dari kebenaran Injil. Dalam Efesus 4, Rasul Paulus mengingatkan bahwa Tuhan telah memberikan gereja-Nya perangkat penting agar tidak terseret arus kesesatan: yaitu pengajaran Alkitab yang benar. Kita akan membahas empat poin penting dari teks ini tentang bagaimana pengajaran Alkitab menjadi perlindungan rohani yang kuat bagi jemaat.

1. Pengajaran Alkitab adalah Karunia Kristus untuk Memperlengkapi Jemaat. (Efesus 4:11–12)

Tuhan Yesus, sebagai Kepala Gereja, memberikan kepada tubuh Kristus peran-peran yang berfungsi untuk membangun dan memperlengkapi umat-Nya. Peran seperti rasul, nabi, penginjil, gembala, dan pengajar bukan hanya jabatan rohani, melainkan karunia strategis untuk menanamkan pengajaran yang sehat di tengah jemaat. Tujuannya jelas: supaya jemaat dapat bertumbuh, melayani, dan menjadi dewasa secara rohani.

Tanpa kehadiran pengajaran yang kuat dan terarah, gereja akan mengalami kekosongan dalam pertumbuhan rohani. Jemaat bisa aktif dalam pelayanan dan kegiatan, namun tanpa fondasi doktrinal yang benar, mereka tetap rentan terhadap kesalahan pengajaran. Oleh karena itu, pengajaran Alkitab harus menjadi pusat pembinaan gereja, bukan sekadar pelengkap ibadah.

Sebagaimana Paulus menuliskan dalam 2 Timotius 3:16–17, bahwa "Segala tulisan yang diilhamkan Allah... berguna untuk mengajar, menyatakan kesalahan, memperbaiki kelakuan, dan mendidik orang dalam kebenaran," maka kita dapat memahami bahwa Allah memberikan Firman-Nya bukan untuk dibaca sesekali, melainkan untuk dijadikan dasar kehidupan. Pengajaran itu menjadi alat Tuhan untuk membentuk karakter Kristus dalam jemaat-Nya.

2. Tujuan Pengajaran adalah Kedewasaan Iman dan Kesatuan dalam Kristus. (Efesus 4:13)

Pengajaran Alkitab tidak sekadar untuk mengisi pikiran, tetapi untuk membawa umat kepada kesatuan iman dan kedewasaan rohani. Tujuan akhirnya adalah supaya jemaat semakin mengenal Kristus dan serupa dengan Dia. Gereja yang mengutamakan pengajaran akan menghasilkan orang percaya yang tidak hanya cerdas secara teologis, tetapi juga dewasa dalam karakter dan kasih.

Kesatuan dalam iman muncul ketika jemaat sama-sama dibentuk oleh kebenaran yang sama. Doktrin yang sehat menyatukan umat dalam arah yang benar, sementara pengajaran yang menyimpang menciptakan perpecahan dan kebingungan. Maka dari itu, pendidikan rohani yang terencana dan berkelanjutan sangat penting agar gereja memiliki dasar yang sama dalam mengikut Kristus.

Hal ini ditegaskan juga dalam Kolose 2:6–7, "Kamu telah menerima Kristus Yesus, Tuhan kita. Karena itu hendaklah hidupmu tetap di dalam Dia. Hendaklah kamu berakar di dalam Dia dan dibangun di atas Dia..." Akar yang dalam dalam Firman Tuhan menjadikan hidup rohani kita stabil. Tanpa pengajaran yang benar, iman jemaat akan rapuh dan mudah digoyahkan oleh kesesatan.

3. Tanpa Pengajaran, Jemaat Mudah Disesatkan. (Efesus 4:14)

Rasul Paulus memperingatkan bahwa tanpa pengajaran yang kokoh, jemaat akan seperti anak-anak—mudah dipengaruhi, tidak stabil, dan gampang terbawa arus pengajaran palsu. Ini gambaran jemaat yang tidak memiliki dasar iman yang kuat, sehingga tidak bisa membedakan antara kebenaran dan kepalsuan. Mereka mudah percaya karena tidak terbiasa menguji pengajaran berdasarkan Firman Tuhan.

Banyak ajaran sesat hari ini datang bukan dengan terang-terangan menyangkal Kristus, tapi dengan membelokkan sebagian kebenaran. Mereka menggunakan bahasa rohani, ayat-ayat terpotong, dan retorika yang menggoda. Inilah sebabnya pengajaran Alkitab harus dilakukan secara sistematis dan utuh, agar jemaat tidak hanya tahu “sebagian” kebenaran, tetapi memahami keseluruhan konteksnya.

Yesus sendiri memperingatkan dalam *Matius 24:24*, "Sebab Mesias-mesias palsu dan nabi-nabi palsu akan muncul dan mengadakan tanda-tanda yang dahsyat dan mujizat-mujizat sehingga sekiranya mungkin, mereka menyesatkan orang-orang pilihan juga." Ini menjadi pengingat serius bahwa tidak cukup hanya menjadi pengikut Kristus, kita juga harus mengakar dalam Firman agar tidak mudah ditipu oleh tanda-tanda yang menyesatkan.

4. Firman Tuhan Menumbuhkan Jemaat dalam Kasih dan Kebenaran. (Efesus 4:15–16)

Solusi untuk menghadapi ajaran palsu bukan hanya dengan menolaknya, tapi dengan membangun jemaat dalam kasih dan kebenaran. Paulus mengatakan bahwa kita harus "berpegang kepada kebenaran di dalam kasih" artinya, kebenaran Alkitab harus disampaikan dan dijalani dalam kasih, bukan dalam kebencian atau arogansi rohani. Jemaat yang dibangun dalam kasih dan kebenaran akan saling memperkuat dan saling menumbuhkan.

Firman Tuhan tidak hanya membentuk individu, tapi juga membentuk komunitas. Gereja yang dibina melalui pengajaran Alkitab akan menjadi tubuh Kristus yang sehat, harmonis, dan efektif dalam pelayanan. Jemaat seperti ini mampu menghadapi tekanan dunia luar dengan kesatuan yang kuat dan kasih yang tulus.

Dalam *Mazmur 1:2–3*, digambarkan orang yang hidupnya berakar dalam Firman Tuhan akan "seperti pohon yang ditanam di tepi aliran air," yang daunnya tidak layu dan menghasilkan buah pada waktunya. Begitu pula gereja yang dibangun dalam Firman, akan kuat menghadapi musim apa pun, tidak kering secara rohani, dan tetap menghasilkan buah bagi kemuliaan Tuhan.

Penutup:

Saudara-saudari yang terkasih, ajaran sesat bukan hanya masalah doktrin, tetapi masalah ketahanan iman. Jemaat yang tidak berakar dalam Firman akan mudah tumbang. Namun, jemaat yang dilatih dan dibina dalam pengajaran Alkitab yang benar akan berdiri kokoh, dewasa, dan bersinar sebagai terang di dunia yang gelap ini. Mari kita kembali menempatkan Firman Tuhan sebagai pusat dari kehidupan rohani dan komunitas gereja kita.

📖 “Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah...” (Roma 12:2)

"Teguh di Tengah Tekanan: Membangun Tembok, Membangun Iman". Nehemia 4:1–23

Oleh : Pdm. Dr. (C) Fredrik Dandel, ST, STh, MAg, MTh.

Pendahuluan:

Setiap pekerjaan Allah tidak pernah lepas dari tantangan. Bahkan saat umat Allah sedang melakukan kehendak-Nya, tidak jarang justru tekanan datang dari luar maupun dalam. Inilah yang dialami oleh Nehemia dan umat Israel ketika mereka membangun kembali tembok Yerusalem. Tugas mereka bukan hanya pekerjaan fisik, tetapi juga peperangan rohani. Nehemia 4 mengajarkan kepada kita bagaimana menghadapi intimidasi, celaan, ancaman, dan rasa lelah dalam melayani Tuhan.

Kitab Nehemia menunjukkan bahwa membangun kembali Yerusalem adalah lebih dari sekadar proyek rekonstruksi; itu adalah panggilan untuk memulihkan identitas umat Allah. Dalam pasal ini, kita melihat bahwa ketaatan kepada Tuhan seringkali mengundang pertentangan dari dunia. Namun Nehemia menunjukkan teladan bagaimana memimpin dengan doa, hikmat, dan ketegasan di tengah tekanan.

Melalui eksposisi ini, kita akan belajar tiga pelajaran penting dari Nehemia 4: 1. Jangan gentar oleh ejekan musuh. 2. Hadapi ancaman dengan doa dan tindakan iman. 3. Terus bekerja sambil berjaga-jaga.

I. Jangan Gentar oleh Ejekan Musuh (Nehemia 4:1–6)

Ketika Sanbalat mendengar bahwa tembok Yerusalem mulai dibangun kembali, ia menjadi sangat marah dan mencemooh orang Yahudi (ay. 1). Ejekannya di hadapan para pemimpin bangsa-bangsa lain dimaksudkan untuk merendahkan dan mematahkan semangat. Ia berkata, “Apakah mereka akan menyelesaikannya dalam sehari?” bahkan menyindir bahwa tembok mereka akan runtuh jika seekor rubah naik ke atasnya (ay. 3). Ini adalah bentuk intimidasi mental yang seringkali menjadi senjata musuh terhadap umat Allah.

Respons Nehemia sangat berbeda dari apa yang mungkin dilakukan manusia biasa. Ia tidak membalas dengan kemarahan atau berdebat, tetapi justru berdoa (ay. 4–5). Doanya menggambarkan kejujuran dan ketergantungan penuh kepada Allah. Ia menyerahkan ejekan itu kepada Tuhan dan percaya bahwa Tuhan akan membela umat-Nya. Nehemia memahami bahwa musuh mereka sesungguhnya bukan manusia, tetapi kuasa kegelapan yang ingin menghentikan pekerjaan Allah (bdk. Efesus 6:12).

Nehemia dan rakyat tidak membiarkan ejekan itu menghentikan mereka. “Kami terus membangun tembok itu... sebab bangsa itu bekerja dengan segenap hati” (ay. 6). Ini adalah contoh iman yang bekerja. Mereka tidak membiarkan kata-kata menyakitkan menghentikan mereka, tetapi mereka fokus pada tujuan dan memercayakan segala perlawanan kepada Allah. Seperti Rasul Paulus berkata dalam 1 Korintus 15:58, “Kerjakanlah pekerjaan Tuhan dengan tekun, sebab jerih payahmu tidak sia-sia di dalam Tuhan.”

II. Hadapi Ancaman dengan Doa dan Tindakan Iman (Nehemia 4:7–14)

Setelah ejekan gagal menggoyahkan semangat umat Allah, Sanbalat dan teman-temannya beralih pada ancaman kekerasan (ay. 7–8). Mereka bersekongkol untuk menyerang Yerusalem secara langsung agar pembangunan itu gagal. Ini menunjukkan bagaimana iblis akan meningkatkan tekanannya jika cara halus tidak berhasil. Kita belajar bahwa ketika kita melangkah lebih dalam dalam kehendak Tuhan, perlawanan bisa meningkat.

Namun Nehemia kembali menunjukkan kepemimpinan yang penuh hikmat. Ia menanggapi ancaman itu dengan dua tindakan: berdoa dan berjaga-jaga (ay. 9). Ia tidak hanya bersandar pada doa, tapi juga bertindak secara bijaksana. Ini mengajarkan kita pentingnya iman yang praktis—percaya kepada Tuhan, tetapi juga menggunakan akal sehat dan strategi. Seperti kata Tuhan Yesus dalam Matius 10:16, “Hendaklah kamu cerdik seperti ular dan tulus seperti merpati.”

Ketika umat mulai merasa lelah dan takut (ay. 10–12), Nehemia menyemangati mereka dengan mengingatkan bahwa Tuhan yang besar dan dahsyat akan berperang bagi mereka (ay. 14). Inilah inti dari keberanian sejati: bukan karena tidak ada ketakutan, tetapi karena kita percaya bahwa Allah menyertai kita. Seperti Daud berkata dalam Mazmur 27:1, “Tuhan adalah terangku dan keselamatanku, kepada siapa aku harus takut?”

III. Terus Bekerja sambil Berjaga-jaga (Nehemia 4:15–23)

Setelah rencana musuh terungkap, umat Allah tidak menghentikan pekerjaan mereka. Mereka justru mengatur sistem pertahanan sambil terus membangun (ay. 15–18). Separuh dari orang-orang bekerja, dan separuh lainnya berjaga-jaga dengan senjata. Bahkan para tukang bangunan membawa senjata di pinggang mereka saat bekerja. Ini menggambarkan betapa seriusnya mereka dalam menjaga pekerjaan Tuhan.

Nehemia juga membuat sistem komunikasi yang efisien dan memusatkan koordinasi di satu tempat (ay. 19–20). Ia berkata bahwa bila mereka mendengar suara sangkakala, maka seluruh umat harus berkumpul karena Tuhan sendiri akan berperang bagi mereka. Ini mengajarkan kita pentingnya persatuan dan kesiapsiagaan dalam pekerjaan rohani. Kita tidak bisa berjalan sendiri; kita membutuhkan tubuh Kristus untuk saling menguatkan dan menjaga.

Akhir pasal ini menunjukkan dedikasi yang luar biasa (ay. 21–23). Mereka bekerja dari pagi hingga malam, dan bahkan tidak pulang untuk berganti pakaian. Ini bukan hanya menunjukkan semangat kerja keras, tapi juga komitmen penuh untuk pekerjaan Tuhan. Kita diingatkan akan kata-kata Tuhan Yesus dalam Yohanes 9:4, “Kita harus mengerjakan pekerjaan Dia yang mengutus Aku, selama masih siang; akan datang malam, di mana tidak ada seorang pun yang dapat bekerja.”

Penutup:

Nehemia 4 mengajarkan bahwa ketika kita melakukan kehendak Tuhan, kita pasti akan menghadapi tantangan. Ejekan, ancaman, dan kelelahan tidak boleh menghentikan kita. Kita perlu berdoa, bertindak, dan berjaga-jaga, dengan iman kepada Allah yang menyertai dan membela kita.

Seperti Nehemia, marilah kita menjadi pemimpin dan umat yang tidak mudah goyah. Dalam pelayanan, dalam keluarga, dalam pekerjaan, bahkan ketika membangun kembali bagian hidup yang hancur—Tuhan memanggil kita untuk setia dan berani. Sebab Dia yang memanggil kita adalah setia, dan tidak ada pekerjaan dalam Tuhan yang sia-sia.

Kaya di Hadapan Allah (Lukas 12:13–21)

Oleh : Pdm. Fredrik Dandel, ST, STh, MAg, MTh

Pendahuluan:

Saudara-saudara yang dikasihi Tuhan, dalam kehidupan ini kita semua tentu pernah memikirkan tentang masa depan, tentang tabungan, pensiun, rumah, pendidikan anak-anak, bahkan warisan. Tidak ada yang salah dengan semua itu. Kita memang dipanggil untuk menjadi pengelola yang bijak atas berkat Tuhan. Tapi sering kali, tanpa kita sadari, perencanaan dan kepemilikan itu berubah arah, bukan lagi menjadi sarana untuk memuliakan Tuhan, melainkan menjadi tujuan hidup itu sendiri. Ketika harta menjadi pusat perhatian kita, maka pelan-pelan Tuhan digeser keluar dari takhta hati kita.

Hari ini, kita akan merenungkan sebuah kisah yang disampaikan Yesus, berawal dari permintaan yang tampaknya sederhana: seseorang ingin warisannya dibagi secara adil. Tapi respons Yesus sangat mengejutkan. Ia tidak menjawab sesuai harapan orang itu, melainkan langsung menyingkapkan masalah hati yang tersembunyi: keserakahan. Yesus tahu bahwa bukan soal warisan yang jadi masalah, melainkan prioritas dan kehausan jiwa manusia akan hal-hal duniawi.

Dalam Lukas 12:13–21, kita akan belajar bahwa ukuran keberhasilan di mata Tuhan bukanlah banyaknya yang kita kumpulkan, tapi apakah kita menjadi kaya di hadapan Allah. Kekayaan sejati bukan diukur dari seberapa penuh lumbung kita, melainkan dari seberapa dalam kasih kita kepada Tuhan dan sesama. Mari buka hati dan biarkan Firman Tuhan menata kembali fokus hidup kita dari harta dunia menuju harta kekal.

I. Hati yang Terikat pada Warisan Dunia (Lukas 12:13)

Saudara-saudara yang terkasih, perhatikan bagaimana khotbah ini dimulai. Di tengah ajaran rohani Yesus yang dalam, tiba-tiba seseorang menyela dengan permintaan yang sangat duniawi: “Guru, katakanlah kepada saudaraku supaya ia membagi warisan dengan aku.” Ini bukan pertanyaan tentang kehidupan kekal, bukan permohonan untuk pengampunan, tetapi tentang pembagian harta. Ini memperlihatkan bahwa sekalipun kita berada di tengah Firman Tuhan, hati kita bisa saja tetap tertambat pada hal-hal duniawi. Permintaan ini bukan hanya soal hak, tapi memperlihatkan fokus hati orang tersebut.

Yesus tidak langsung menghakimi permintaan itu sebagai salah secara hukum. Namun Ia mengungkap motivasi di baliknya—keserakahan. Kita juga bisa datang ke gereja, menyimak kotbah, tapi hati dan pikiran kita justru dipenuhi rencana mencari keuntungan pribadi. Bahkan kita bisa memakai Tuhan sebagai alat untuk memenuhi keinginan kita. Dalam Yeremia 17:9 dikatakan, “Betapa liciknya hati, lebih licik dari pada segala sesuatu, hatinya sudah membatu: siapakah yang dapat mengetahuinya?” Maka kita perlu bertanya kepada diri sendiri: Apa motivasi saya datang kepada Tuhan?

Saudara, tidak ada yang salah dengan harta benda, tetapi ada yang sangat salah jika harta menjadi pusat hidup kita. Ketika hati tertambat pada warisan duniawi, kita bisa kehilangan warisan surgawi. Dalam Kolose 3:2, Rasul Paulus mengingatkan, “Pikirkanlah perkara yang di atas, bukan yang di bumi.” Itulah panggilan bagi orang percaya, fokus kita harus diubahkan, dari keinginan duniawi menuju kerinduan akan Kerajaan Allah.

II. Waspadai Ketamakan yang Menghancurkan Jiwa (Lukas 12:14–15)

Yesus tidak hanya menolak peran sebagai hakim dalam perkara duniawi itu, tetapi Ia langsung mengarahkan perhatian kepada akar masalahnya: “Berjaga-jagalah dan waspadalah terhadap segala ketamakan.” Ini peringatan serius. Ketamakan bukan hanya soal ingin memiliki banyak, tapi soal hati yang tidak pernah cukup. Apapun yang Tuhan beri, selalu terasa kurang. Ketamakan adalah kehausan rohani yang keliru arah. Semakin diberi, semakin lapar.

Yesus menambahkan alasan penting: “Hidup seseorang tidak tergantung dari kekayaannya.” Dunia mengajarkan sebaliknya: bahwa nilai seseorang ditentukan dari jumlah hartanya, rumahnya, gelarnya. Tetapi Yesus memutar balik pandangan itu. Dalam 1 Timotius 6:6–8 Paulus berkata, “Memang ibadah itu kalau disertai rasa cukup, memberi keuntungan besar. Sebab kita tidak membawa sesuatu ke dalam dunia dan kita pun tidak dapat membawa apa-apa ke luar.” Ketamakan membutakan mata kita terhadap kebenaran ini.

Saudara, banyak orang terjebak dalam perlombaan tanpa garis akhir: semakin banyak memiliki, semakin takut kehilangan. Akhirnya hidup dipenuhi kecemasan, bukannya damai. Yesus memanggil kita untuk waspada dan berjaga-jaga, karena ketamakan bisa menggerogoti iman dan merusak hubungan dengan Tuhan dan sesama. Ingatlah Amsal 23:4–5: “Jangan bersusah payah untuk menjadi kaya, tinggalkan niatmu ini. Apakah engkau mau mengarahkan pandanganmu kepada yang tidak ada?” Harta bisa lenyap sekejap, tetapi kehidupan dalam Tuhan kekal adanya.

III. Kebodohan Orang Kaya yang Tidak Mengenal Allah (Lukas 12:16–20)

Dalam respons-Nya, Yesus menceritakan sebuah perumpamaan yang sangat tajam. Seorang kaya memperoleh hasil luar biasa, dan rencananya tampak bijaksana secara duniawi: memperbesar lumbung, menyimpan kekayaan, dan menikmati hidup. Ia berkata pada dirinya sendiri, “Tenanglah, makanlah, minumlah dan bersenang-senanglah.” Tapi yang tidak ia perhitungkan adalah Tuhan. Hidupnya berputar hanya seputar “aku” dan “milikku.” Ia pandai mengatur masa depan finansial, tapi lupa pada masa depan kekal.

Tuhan menyebutnya “orang bodoh.” Bukan karena ia sukses, tapi karena ia tidak melibatkan Allah dalam hidupnya. Ia hidup seakan-akan waktu miliknya, seolah-olah umur bisa direncanakan. Tapi Tuhan berkata, “Pada malam ini juga jiwamu akan diambil daripadamu.” Dalam Yakobus 4:13–15 dikatakan, “Kamu tidak tahu apa yang akan terjadi besok... Sebaliknya, kamu harus berkata: Jika Tuhan menghendakinya, kami akan hidup dan berbuat ini dan itu.” Tanpa Tuhan, semua perencanaan sehebat apapun adalah sia-sia.

Saudara, ada orang yang sangat teliti mengatur keuangan, asuransi, tabungan, bahkan warisan, tapi lalai mempersiapkan jiwa dan iman. Ingat, hidup kita bukan ditentukan oleh jumlah harta, melainkan oleh hubungan kita dengan Tuhan. Seperti yang dikatakan Mazmur 49:17–18, “Sebab pada waktu matinya ia tidak akan membawa sesuatu pun, kemuliaannya tidak akan turun mengikuti dia.” Satu-satunya hal yang abadi adalah apa yang kita serahkan bagi Tuhan.

IV. Kaya di Hadapan Allah: Harta yang Tak Akan Binasa (Lukas 12:21)

Yesus mengakhiri pengajaran ini dengan pernyataan yang menggetarkan: “Demikianlah jadinya dengan orang yang mengumpulkan harta bagi dirinya sendiri, jikalau ia tidak kaya di hadapan Allah.” Ini bukan hanya nasihat, tapi juga peringatan. Ada dua jenis kekayaan: kekayaan duniawi yang fana, dan kekayaan rohani yang kekal. Menjadi kaya di hadapan Allah artinya memiliki hati yang berkenan, hidup dalam kasih, iman, dan ketaatan.

Bagaimana cara menjadi kaya di hadapan Allah? Yesus memberikan jawabannya dalam Matius 6:19–21: “Janganlah kamu mengumpulkan harta di bumi… tetapi kumpulkanlah bagimu harta di surga... Karena di mana hartamu berada, di situ juga hatimu berada.” Artinya, hidup kita diarahkan untuk memberi, melayani, dan mempercayakan segala sesuatu kepada Tuhan. Orang yang murah hati, yang peduli pada sesama, yang hidup dalam persekutuan dengan Allah, itulah yang benar-benar kaya di hadapan-Nya.

Saudara, marilah kita berhenti sejenak dan menilai kembali di mana harta kita yang sejati berada. Apakah semua upaya kita selama ini hanya untuk “lumbung besar” yang akhirnya akan kita tinggalkan? Ataukah kita sedang membangun tabungan kekal di surga melalui iman, kasih, dan kesetiaan kepada Kristus? Seperti dikatakan dalam Amsal 11:28, “Siapa mempercayakan diri kepada kekayaannya akan jatuh; tetapi orang benar akan tumbuh seperti daun muda.” Itulah warisan yang tidak pernah akan hilang.

Penutup:

Saudara, jangan sampai kita menjadi seperti orang kaya yang bodoh itu, berhasil secara dunia, tapi gagal di hadapan Allah. Hidup kita adalah anugerah, dan waktu kita terbatas. Mari gunakan hidup ini untuk menjadi kaya di hadapan Allah: hidup dalam iman, rela memberi, rendah hati, dan bergantung penuh pada Tuhan. Karena suatu saat kelak, saat kita berdiri di hadapan Tuhan, bukan jumlah saldo kita yang ditanya, tetapi apakah kita telah mengasihi Dia dengan segenap hati, jiwa, dan kekuatan.

Melayani dengan Setia di Tengah Kerapuhan. Nats Utama: 2 Korintus 4:1–15

Oleh : Pdm. Fredrik Dandel, ST, STh, MAg, MTh

Pendahuluan

Saudara-saudara yang terkasih dalam Kristus,

hidup sebagai orang percaya, terlebih sebagai pelayan Tuhan, bukanlah perjalanan yang selalu mulus. Sering kali, kita merasa lelah, diragukan, ditolak, bahkan disalahpahami oleh orang-orang yang justru kita layani. Mungkin kita pernah bertanya dalam hati: “Apakah semua ini tidak sia-sia?” Atau bahkan lebih jauh, “Jika benar saya sedang mengerjakan kehendak Tuhan, mengapa penderitaan dan tekanan ini terus datang?”

Pertanyaan-pertanyaan semacam ini bukanlah hal baru. Rasul Paulus, hamba Tuhan yang luar biasa itu, juga menghadapi realita serupa. Ia ditolak, difitnah, disakiti, dan dianggap gagal karena tubuhnya lemah dan pelayanannya tidak gemerlap. Namun, justru dalam tekanan itulah, Paulus menyingkapkan rahasia kekuatan rohani yang sejati—bahwa pelayanan yang benar bukanlah soal kemegahan luar, melainkan kesetiaan dalam kelemahan, karena kuasa Allah nyata dalam bejana tanah liat.

Hari ini, melalui 2 Korintus 4:1–15, kita akan menyelami bagaimana Paulus melihat dirinya, pelayanannya, dan Allah yang bekerja dalam hidupnya. Kiranya Firman Tuhan ini menguatkan kita semua—baik kita yang sedang lelah dalam pelayanan, maupun yang sedang mempertanyakan makna penderitaan dalam hidup Kristen. Mari kita belajar melayani dengan setia di tengah kerapuhan, karena kita punya Allah yang tidak pernah meninggalkan bejana tanah liat-Nya.

I. Melayani dengan Ketulusan, Bukan Kepura-puraan (2 Korintus 4:1–2)

Paulus membuka bagian ini dengan menyatakan bahwa ia tidak tawar hati dalam pelayanannya karena ia menyadari bahwa pelayanannya adalah hasil belas kasihan Allah, bukan hasil kemampuannya sendiri. Ini menunjukkan bahwa pelayanan Kristen bukan soal prestasi pribadi, melainkan respons terhadap kasih karunia Allah. Paulus tahu bahwa tugas memberitakan Injil tidaklah ringan, tetapi karena ia diutus oleh Allah sendiri, ia tetap setia dalam panggilannya.

Ia menolak cara-cara yang tidak jujur dalam pelayanan, seperti manipulasi atau pengaburan kebenaran. Di tengah dunia yang penuh tipu daya, Paulus justru menekankan bahwa pelayan Tuhan harus berjalan dalam terang, memperlakukan Firman Tuhan dengan hormat, dan menyampaikan kebenaran secara terbuka di hadapan Allah. Ini adalah pesan penting bagi gereja masa kini, di mana sering kali kebenaran dikompromikan demi popularitas atau keuntungan pribadi.

Yesus sendiri berkata bahwa mereka yang menyembah Allah harus menyembah dalam roh dan kebenaran (Yohanes 4:24). Selain itu, Mazmur 15:2–3 menekankan bahwa orang yang layak tinggal dalam hadirat Tuhan adalah orang yang "berjalan dengan tulus, melakukan apa yang adil, dan berkata benar dari hatinya." Pelayanan yang sejati dimulai dari hati yang bersih dan integritas yang tidak tergoyahkan.

II. Injil adalah Terang di Tengah Dunia yang Buta Rohani (2 Korintus 4:3–6)

Paulus mengakui bahwa tidak semua orang menerima Injil. Bagi mereka yang hatinya tertutup dan pikirannya dibutakan oleh ilah zaman ini (yaitu Iblis), Injil tetap tersembunyi. Mereka tidak dapat melihat kemuliaan Kristus karena hidup mereka ada dalam kegelapan rohani. Ini menjelaskan mengapa banyak orang menolak berita Injil bukan karena kekurangannya, tetapi karena kondisi rohani mereka yang mati.

Namun, penolakan orang lain tidak membuat Paulus berhenti memberitakan Injil. Ia menyatakan bahwa yang diberitakannya bukanlah dirinya sendiri, melainkan Yesus Kristus sebagai Tuhan. Paulus adalah hamba yang rendah hati, yang hanya ingin agar Kristus dikenal dan ditinggikan. Sama seperti Allah berfirman “Jadilah terang” pada penciptaan, Allah juga dapat menciptakan terang di dalam hati manusia untuk mengenal kemuliaan Kristus.

Yohanes 1:5 berkata, “Terang itu bercahaya di dalam kegelapan dan kegelapan itu tidak menguasainya.” Ini sejalan dengan Yesaya 60:1, “Bangkitlah, menjadi teranglah, sebab terangmu datang, dan kemuliaan TUHAN terbit atasmu.” Injil adalah satu-satunya harapan bagi dunia yang gelap, dan setiap kita yang percaya dipanggil untuk membawa terang itu ke mana pun Tuhan utus.

III. Harta dalam Bejana Tanah Liat: Kuasa Allah dalam Kelemahan Manusia (2 Korintus 4:7–12)

Paulus menggambarkan dirinya dan para pelayan Injil sebagai bejana tanah liat yang rapuh. Gambaran ini menunjukkan betapa lemahnya manusia secara fisik dan emosional. Namun dalam kelemahan itu, Allah menaruh "harta", yaitu Injil dan kuasa-Nya yang besar. Dengan cara ini, kemuliaan pelayanan tidak tertuju kepada manusia, tetapi kepada Allah yang bekerja di dalam dan melalui kelemahan kita.

Pengalaman Paulus penuh dengan penderitaan: tertekan dari segala arah, bingung, dianiaya, dan dijatuhkan. Namun, ia menegaskan bahwa ia tidak hancur. Dalam setiap penderitaan, ia mengalami pemeliharaan Allah yang membuatnya tetap berdiri. Ia menyadari bahwa penderitaan bukanlah kegagalan, melainkan sarana di mana kuasa kebangkitan Kristus nyata dalam dirinya. Bahkan, melalui penderitaan itu, hidup Kristus dapat dialirkan kepada orang lain.

Petrus berkata dalam 1 Petrus 1:6–7 bahwa berbagai pencobaan menguji iman kita, dan iman yang tahan uji itu akan menghasilkan pujian, kemuliaan, dan kehormatan pada saat Yesus Kristus menyatakan diri-Nya. Yesus sendiri menyatakan dalam Yohanes 12:24 bahwa "jika biji gandum tidak jatuh ke tanah dan mati, ia tetap satu biji saja; tetapi jika ia mati, ia akan menghasilkan banyak buah." Pelayanan yang sejati sering kali berbuah melalui pengorbanan dan penderitaan.

IV. Iman dan Harapan yang Membawa Syukur dan Kemuliaan bagi Allah (2 Korintus 4:13–15)

Paulus menyatakan bahwa karena ia memiliki "roh iman" yang sama seperti pemazmur (Mazmur 116:10), maka ia percaya dan oleh karena itu ia berbicara. Iman yang sejati tidak membuat seseorang diam, tetapi mendorong seseorang untuk bersaksi. Meskipun Paulus dianiaya dan menderita, ia tetap memiliki keyakinan kuat bahwa apa yang ia lakukan tidak sia-sia karena ia mempercayai kuasa Allah.

Imannya didasarkan pada keyakinan bahwa Allah yang telah membangkitkan Yesus akan membangkitkan dia juga bersama jemaat. Pandangannya tertuju pada kebangkitan, bukan sekadar pada penderitaan sekarang. Inilah kekuatan pelayanan Paulus: pengharapan akan kehidupan kekal. Kesulitan dunia ini hanya sementara, tetapi kemuliaan yang kekal akan datang dari Allah bagi setiap orang yang setia.

Roma 8:18 menyatakan, “Penderitaan zaman sekarang ini tidak dapat dibandingkan dengan kemuliaan yang akan dinyatakan kepada kita.” Dan Filipi 1:29 mengatakan bahwa kepada kita bukan saja dikaruniakan untuk percaya kepada Kristus, tetapi juga untuk menderita bagi Dia. Melalui penderitaan yang dijalani dengan iman, semakin banyak orang menerima Injil dan menaikkan syukur kepada Allah. Maka nama Tuhan dipermuliakan dan Kerajaan-Nya diperluas.

Penutup

Saudara-saudara, pelayanan Kristen bukanlah jalan yang mudah, tetapi adalah jalan yang penuh makna. Kita melayani bukan karena kita kuat, melainkan karena kuasa Allah bekerja melalui kelemahan kita. Injil tetap harus diberitakan meskipun banyak yang menolak, karena terang Allah sanggup menerobos kegelapan. Kita adalah bejana tanah liat, tetapi di dalam kita ada harta yang kekal.

Tetaplah setia. Jangan tawar hati. Jangan fokus pada penderitaan, tetapi arahkan pandangan kepada kebangkitan dan kemuliaan Allah. Pelayanan yang lahir dari kasih karunia, dijalani dengan iman, dan dibentuk oleh penderitaan akan menghasilkan buah kekal dan membawa kemuliaan bagi Allah.

Tema Khotbah: “Tetap Teguh di Tengah Kemerosotan Zaman” Nats Utama: 2 Timotius 3:1–9

Oleh : Pdm. Fredrik Dandel, S.T, S.Th, M.Ag, M.Th

Pendahuluan

Saudara-saudara, kita hidup di masa yang makin sulit. Dunia kita dikuasai oleh kesombongan, keserakahan, kenajisan, dan kepalsuan. Namun, Alkitab tidak pernah diam terhadap zaman seperti ini. Rasul Paulus telah menubuatkan kondisi seperti ini jauh sebelum zaman kita, dan pesan ini relevan bagi gereja Tuhan hari ini. Dalam 2 Timotius 3:1–9, kita akan belajar bagaimana menyikapi zaman yang sukar, tetap teguh dalam iman, dan menjauh dari kejahatan yang menyusup dalam bentuk kesalehan palsu.

I. Masa Sukar Akan Datang (ayat 1)

“Ketahuilah bahwa pada hari-hari terakhir akan datang masa yang sukar.”

Paulus membuka bagian ini dengan peringatan: “Ketahuilah.” Ini bukan sesuatu yang bisa diabaikan. Ia ingin Timotius sadar dan berjaga-jaga. “Hari-hari terakhir” menunjuk pada masa sejak kedatangan Kristus pertama kali hingga kedatangan-Nya kembali, di mana kesukaran akan meningkat. Paulus tidak menggambarkan kesukaran ini secara politik atau ekonomi, tetapi secara moral dan rohani.

Kesukaran ini bukan hanya penderitaan dari luar, melainkan juga ancaman dari dalam gereja. Musuh terbesar bukan hanya penganiayaan, melainkan kemerosotan moral dan spiritual yang dibungkus dalam kesalehan. Ini yang membuat zaman itu sangat berbahaya. Jemaat dapat tertidur dan tidak sadar bahwa dirinya sedang diracuni oleh dosa.

Yesus sendiri menubuatkan hal serupa: “Karena bertambahnya kedurhakaan, maka kasih kebanyakan orang akan menjadi dingin” (Matius 24:12). Gereja masa kini tidak boleh naif. Kita harus peka terhadap zaman yang jahat, tetapi bukan menjadi takut melainkan berjaga-jaga dan bersandar pada Firman.

II. Karakter Manusia di Akhir Zaman (ayat 2–5)

“Manusia akan mencintai dirinya sendiri dan menjadi hamba uang...”

“...mereka berbuat seolah-olah mereka beribadah, tetapi mereka memungkiri kekuatannya.”

Paulus memberikan daftar panjang 19 karakter dosa yang menggambarkan kondisi moral manusia yang rusak. Intinya adalah: manusia menjadi pusat hidupnya sendiri. Mereka mencintai diri sendiri, harta, kesenangan, bukan Allah. Bahkan keluarga dan hubungan sosial rusak oleh keegoisan ini. Mereka tidak tahu berterima kasih, tidak punya kasih, dan suka mengkhianati.

Yang paling mengerikan adalah di ayat 5: mereka “beribadah” secara lahiriah, tapi menolak kuasa Allah. Artinya, mereka tampak religius, aktif dalam kegiatan gereja, bahkan mungkin berkhotbah atau menyanyi, tetapi tidak pernah mengalami pertobatan sejati. Kekristenan menjadi topeng, bukan kehidupan.

Firman Tuhan menegaskan: “Bukan setiap orang yang berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan! akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga…” (Matius 7:21). Paulus memerintahkan: “Jauhilah mereka itu!” Artinya, kita harus tegas memisahkan diri dari pengaruh orang semacam ini. Gereja tidak boleh menjadi tempat kompromi terhadap dosa yang dibungkus rohani.

III. Modus Operandi Guru Palsu (ayat 6–7)

“Sebab di antara mereka terdapat orang-orang yang menyelundup ke rumah orang lain...”

Paulus mengungkap cara kerja para penyesat: mereka menyelinap secara licik dan menyasar orang-orang yang lemah secara rohani. Mereka memanfaatkan rasa bersalah dan ketidakstabilan untuk membentuk pengikut. Mereka bukan menggembalakan, tapi memperbudak dan mengeksploitasi. Inilah penggambaran klasik dari manipulasi rohani.

Lebih lanjut, mereka selalu belajar, tetapi tidak pernah mengenal kebenaran. Artinya, mereka bisa saja pintar, banyak pengetahuan Alkitab, bahkan mengajar, tapi hatinya tidak bertobat. Mereka menolak kebenaran sejati dan tidak mengalami kuasa Injil. Ini adalah kekristenan yang hanya di kepala, tidak sampai ke hati.

Yesus menegaskan: “Kamu menyelidiki Kitab Suci... tetapi kamu tidak mau datang kepada-Ku untuk memperoleh hidup.” (Yohanes 5:39–40). Belajar tanpa pertobatan hanya menghasilkan kesombongan rohani. Kita harus berhati-hati terhadap siapa yang kita dengar dan ikuti.

IV. Kegagalan Akhir Para Penyesat (ayat 8–9)

“Seperti Yanes dan Yambres menentang Musa, demikian juga mereka menentang kebenaran...”

Paulus menutup bagian ini dengan contoh dari sejarah Yanes dan Yambres, para penyihir Mesir yang meniru mujizat Musa tetapi akhirnya dikalahkan. Demikian pula para guru palsu itu: mereka bisa menipu untuk sementara, tapi tidak bisa menipu selamanya. Kebenaran akan menang, dan kebodohan mereka akan terbongkar.

Orang-orang seperti ini memiliki pikiran yang bobrok dan iman yang gagal. Mereka tidak bisa berdiri di hadapan Allah, karena mereka tidak punya dasar yang benar. Paulus ingin Timotius (dan kita semua) tidak goyah saat melihat orang-orang semacam ini, karena kehancuran mereka pasti akan datang.

Mazmur 1:6 berkata, “Sebab TUHAN mengenal jalan orang benar, tetapi jalan orang fasik menuju kebinasaan.” Firman ini menjadi penghiburan kita. Ketika dunia tampak dikuasai oleh kejahatan yang berjubah agama, kita tahu bahwa Allah tetap memegang kendali, dan kebenaran-Nya tidak pernah gagal.

Penutup

Saudara, mari kita berjaga-jaga. Dunia akan terus berubah menjadi lebih jahat, tetapi Tuhan tetap sama. Jangan biarkan kesalehan palsu menjebak kita. Mari kita hidup dalam kebenaran yang sejati, bukan hanya bentuk ibadah luar, tetapi kuasa rohani yang mengubahkan hati.

Tinggallah dalam Firman, jauhilah orang yang menyimpang dari kebenaran, dan teruslah berpegang pada kasih karunia Tuhan. Sebab hanya mereka yang setia sampai akhir yang akan menerima mahkota kehidupan. (Wahyu 2:10)