Oleh : Pdm. Dr (C). Fredrik Dandel, ST, STh, M.Ag, M.Th.
Pendahuluan:
Dalam Lukas 20:20-26, para pemuka agama mencoba menjebak Yesus dengan pertanyaan tentang membayar pajak kepada Kaisar. Mereka berharap jawaban-Nya akan menjebak-Nya dalam konflik politik, baik dengan rakyat Yahudi maupun dengan pemerintah Romawi. Namun, Yesus dengan hikmat-Nya memberikan jawaban yang penuh makna: "Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar, dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah." Kisah ini mengajarkan bahwa sebagai orang percaya, kita harus memahami dan menempatkan dengan benar kewajiban kita kepada pemerintah tanpa mengorbankan kesetiaan kita kepada Tuhan.
Dalam kehidupan sehari-hari, terutama pasca pemilu bahkan puncaknya saat pemerintah yang terpilih baru dilantik, masyarakat sering kali memiliki perasaan yang beragam terhadap kepemimpinan yang baru. Ada yang merasa puas dan mendukung penuh, sementara yang lain mungkin kecewa karena kandidat yang mereka pilih tidak menang. Dalam situasi seperti ini, penting bagi kita untuk bersikap bijak dan tetap menjalankan tanggung jawab sebagai warga negara yang baik dengan menghormati pemimpin yang telah terpilih. Selain itu, kita juga harus senantiasa mengingat bahwa kedaulatan Allah lebih tinggi dari sistem politik dunia, dan tujuan utama kita adalah menjalankan nilai-nilai Kerajaan Allah di tengah masyarakat.
Dengan memahami konteks ini, kita akan melihat tiga poin utama dari perikop ini. Pertama, kita akan melihat bagaimana orang yang menjadi "lawan" Yesus mencoba menjebak-Nya dalam perangkap politik. Kedua, kita akan belajar dari jawaban Yesus yang penuh hikmat dalam menghadapi pertanyaan yang sulit. Ketiga, kita akan menggali pelajaran rohani dari kisah ini yang relevan bagi kita, khususnya dalam konteks kehidupan pasca pemilu, kemudian setelah pemerintah baru dilantik. Dengan demikian, kita dapat hidup sebagai warga negara yang baik tanpa kehilangan fokus pada panggilan kita sebagai anak-anak Tuhan.
I. Perangkap yang Dipasang untuk Yesus (Lukas 20:20-22)
Ahli Taurat dan Imam-Iman Kepala Bangsa Yahudi tidak datang dengan niat baik, tetapi dengan maksud untuk menjerat-Nya dalam jebakan politik. Mereka mengutus mata-mata yang berpura-pura sebagai orang yang tulus untuk mengajukan pertanyaan tentang kewajiban membayar pajak kepada Kaisar. Mereka berharap jawaban Yesus akan membuat-Nya terjebak dalam kontroversi antara rakyat Yahudi yang membenci kekuasaan Romawi dan penguasa yang berhak menghukum mereka yang menolak membayar pajak. Dengan cara ini, mereka berusaha menghancurkan otoritas dan pengaruh Yesus di tengah masyarakat. Hal ini mengingatkan kita akan peringatan dalam Amsal 26:24-26, bahwa ada orang yang menyembunyikan kebencian dengan perkataan manis, tetapi hatinya penuh tipu daya.
Pertanyaan yang diajukan kepada Yesus adalah pertanyaan yang berbahaya. Jika Yesus mengatakan bahwa pajak harus dibayar, maka Ia akan dianggap berpihak kepada Roma dan kehilangan simpati orang-orang Yahudi. Sebaliknya, jika Ia mengatakan bahwa pajak tidak perlu dibayar, maka Ia bisa dituduh sebagai pemberontak yang menentang pemerintah Romawi. Para lawan-Nya berharap jawaban Yesus akan menimbulkan reaksi yang dapat digunakan sebagai dasar untuk menyingkirkan-Nya secara hukum atau sosial. Yesus sendiri telah memperingatkan murid-murid-Nya dalam Matius 10:16 untuk menjadi cerdik seperti ular dan tulus seperti merpati dalam menghadapi dunia yang penuh tipu muslihat.
Situasi ini mengingatkan kita akan berbagai strategi politik yang sering digunakan dalam dunia modern, terutama setelah pemerintah baru dilantik. Banyak pihak mencoba menggiring opini publik untuk kepentingan mereka sendiri, sering kali dengan cara yang licik dan manipulatif. Sebagai orang percaya, kita perlu berhati-hati dalam menghadapi provokasi politik dan tetap berpegang teguh pada nilai-nilai kebenaran serta keadilan yang diajarkan Tuhan.
II. Jawaban Yesus yang Bijaksana (Lukas 20:23-25)
Yesus tidak terpancing oleh jebakan yang dibuat oleh orang-orang yang membenci-Nya. Ia dengan tenang meminta mereka untuk menunjukkan sekeping dinar, mata uang yang digunakan untuk membayar pajak. Dengan bertanya tentang gambar dan tulisan yang ada pada koin tersebut, Yesus menegaskan bahwa uang itu milik Kaisar, sehingga logis jika diberikan kepada Kaisar sebagai bentuk tanggung jawab sipil. Dengan cara ini, Yesus tidak hanya menghindari jebakan mereka, tetapi juga mengajarkan prinsip penting tentang batas antara kewajiban kepada pemerintah dan kewajiban kepada Allah. Hal ini selaras dengan Roma 13:1, yang menyatakan bahwa setiap otoritas berasal dari Allah dan kita harus tunduk kepada pemerintah yang sah.
Jawaban Yesus menunjukkan keseimbangan yang luar biasa dalam memahami peran pemerintah dan peran iman dalam kehidupan orang percaya. Yesus tidak menolak sistem pemerintahan duniawi, tetapi juga tidak menjadikan pemerintah sebagai otoritas tertinggi dalam kehidupan rohani seseorang. Dengan mengatakan, "Berikanlah kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah," Yesus mengingatkan bahwa meskipun kita hidup dalam dunia yang memiliki sistem pemerintahan, ketaatan tertinggi kita tetap kepada Tuhan. Seperti yang dikatakan dalam Mazmur 24:1, seluruh bumi dan segala isinya adalah milik Tuhan.
Di era modern, khususnya setelah pemerintah baru dilantik, jawaban Yesus menjadi pedoman bagi kita dalam menjalani kehidupan sebagai warga negara dan orang percaya. Kita harus menjalankan kewajiban kita kepada pemerintah, seperti membayar pajak dan menaati hukum, tetapi pada saat yang sama, kita tidak boleh melupakan bahwa hidup kita sepenuhnya adalah milik Tuhan.
III. Pelajaran Rohani dari Kisah Ini dalam Konteks Pemerintahan yang Baru
Yesus mengajarkan bahwa kita harus menaati pemerintah dalam hal-hal yang menjadi tanggung jawabnya (1 Petrus 2:13-17). Pemimpin yang telah dilantik harus dihormati, bahkan jika pilihan mereka berbeda dengan pilihan kita. Kita diajak untuk tetap berpartisipasi aktif dalam kehidupan berbangsa dengan cara yang sehat dan konstruktif. Dalam konteks saat ini, ini berarti menerima kepemimpinan yang baru dengan sikap yang bijak, serta tidak menggunakan perbedaan pilihan politik sebagai alasan untuk membenci atau memecah belah.
Selain itu, kita harus mendoakan pemerintah dan mencari kesejahteraan bagi negeri kita sebagaimana diperintahkan dalam Yeremia 29:7. Sebagai orang percaya, kita memiliki peran penting dalam menjaga perdamaian dan kesejahteraan masyarakat.
Pada akhirnya, kita harus tetap berpegang pada fakta bahwa kewarganegaraan sejati kita adalah di dalam Kerajaan Allah (Filipi 3:20). Sistem politik dunia bisa berubah, tetapi kerajaan Allah kekal selamanya. Oleh karena itu, meskipun kita mungkin tidak memilih pemimpin yang sekarang berkuasa, kita harus tetap bersikap hormat, memberikan ucapan selamat dengan tulus, dan mendoakan mereka agar dapat memimpin dengan bijaksana sesuai dengan kehendak Tuhan.
Kesimpulan:
Kisah ini mengajarkan bahwa sebagai orang percaya, kita memiliki tanggung jawab kepada pemerintah dan kepada Allah. Kita harus taat kepada hukum negara, tetapi yang lebih penting adalah memberikan hidup kita sepenuhnya kepada Tuhan. Setelah pemerintah dilantik, kita harus menghindari polarisasi dan tetap menjaga persatuan, dengan mengingat bahwa pemimpin manusia bersifat sementara, tetapi Allah tetap berdaulat selamanya. Marilah kita hidup sebagai warga negara yang baik di dunia ini, tetapi lebih dari itu, sebagai warga Kerajaan Allah yang sejati. Amin.