Tuhan Dalam Pandangan Filsuf Yunani Kuno
Pemikiran tentang eksistensi Tuhan telah ada sebelum Aristotel. Thales yang hidup sekitar tahun 624-546 SM dipercayai merupakan orang pertama yang
memikirkan tentang adanya Tuhan. Pertanyaan seriusnya tentang : Apakah sebenarnya bahan alam semesta ini ? awalnya memang bercorak rasionalisme,
namun tidak dapat dipungkiri dalam pertanyaan ini iman atau kepercayaan tetap kelihatan memainkan peranannya. Menurut Thales alam ini penuh dengan dewa-dewa
yang menggerakkan setiap yang bergerak entahkan itu makhluk hidup ataupun benda mati. Sesuatu argumen yang masih terlihat dipengaruhi oleh kepercayaan pada
mitos.
Thales
berpendirian bahwa substansi segala sesuatu adalah materi yakni “air‟ yang berarti pembuktian ontologis ini dibangun masih dibatasi oleh fisik (matters),
dengan kata lain konstruksi ontologis yang dibutuhkan saat itu sebatas menjawab pertanyaan “what is the nature of the
word stuff ?” atau “what is the basic principle of universe”. Pemikiran tentang Tuhan
selanjutnya berasal dari Anaximander atau Anaximandros. Anaximandros (610-546 SM) adalah seorang
filsuf dari Mazhab Miletos dan
merupakan murid dari Thales. Ia mengatakan bahwa segala
sesuatu berasal dari benda pertama, tetapi benda
pertama itu bukan air, bukan api, bukan tanah, dan bukan udara, melainkan
berasal dari asal yang lebih dahulu dari padanya. Secara ringkas dapat
dikatakan bahwa masalah penciptaan (kejadian) bagi dia adalah masalah
perpindahan dari satu bentuk ke bentuk lain, dari satu rupa ke rupa lain, dan
bukan masalah mengadakan atau menciptakan dari tiada. Jelaslah bahwa
benda-pertama, di mana semua wujud akan kembali kepadanya. Dewa adalah sumber
penggerak dan perkara-perkara yang bergerak.
Filsuf berikutnya
adalah Herakleitos. Herekleitos berasal dari Ephesos, sebuah kota perantauan di
Asia Kecil.
Ia hidup di sekitar abad ke-5 SM (sekitar 540-480 SM). Ia mengatakan tentang
tidak butuhnya semua yang wujud kepada Zat yang mewujudkannya. Akan tetapi ia
mengatakan tentang kebutuhannya terhadap keadilan Tuhan yang tidak bisa tidak
harus ada bagi wujud-wujud tersebut. Berbicara tentang Tuhan, seperti halnya
berbicara tentang Zat yang mengatur dan berkemauan, kata Herakleitos. Di antara
kata-kata Herakleitos adalah sesungguhnya Tuhan tanpa diragukan lagi adalah
kunci keadilan pada alam semesta keseluruhannya dan sesungguhnya
perbuatan-perbuatan manusia kosong dari akal fikiran, tetapi
perbuatan-perbuatan Tuhan tidak kosong daripadanya. Manusia tidak lain adalah
seperti kanak-kanak dibanding dengan Allah. Manusia yang paling berakal adalah
seperti hewan nas-nas dibanding dengan Tuhan. Jika ia dibandingkan dengan Tuhan,
maka ia buruk-cacat, seperti buruk-cacatnya kera yang terbagus dibanding dengan
manusia.
Pemikiran filsafat
selanjutnya tentang eksistensi Tuhan berasal dari Plato. Plato (427-347 SM)
dilahirkan di Athena dalam kalangan bangsawan, merupakan seorang pengagum
Sokrates sejak masa mudanya dan ia sangat dipengaruhi oleh Sokrates. Tuhan menurut Plato adalah sumber segala
sesuatu dan tempat kembali segala sesuatu. Dia ada dengan sendirinya sebelum
ada masa dan akan tetap ada sesudah masa, tidak ada hubungannya dengan masa dan
tidak ada pengaruh masa bagi diriNya. Daripadanya terbit segala kebenaran yang
kekal. Selanjutnya ia mengatakan alam ini
mempunyai pembuat yang amat indah, pembuat itu bersifat azali, wajib ada
Zatnya, pembuat itu mengetahui sekalian keadaan. Plato menyebutkan bahwa ada
beberapa perkara yang tidak pantas bagi manusia tidak mengetahuinya, antara
lain bahwa manusia itu mempunyai Tuhan yang membuatnya. Tuhan itu mengetahui
segala sesuatu yang diperbuat oleh sesuatu.
Berdasarkan uraian sebagaimana dimaksud
diatas, diketahui bahwa pemikiran tentang eksistensi Tuhan telah ada pada masa
filsafat Yunani Kuno, yakni sejak filsuf pertama Thales. Artinya, pemikiran
tentang Tuhan oleh para filsuf telah ada sebelum Aristoteles. Mereka mengakui
adanya kekuatan di luar kekuatan yang dimiliki manusia, yang menggerakkan
segala sesuatu
yang bergerak, alam ini ada karena ada pembuatnya dan pembuat itu bersifat
azali, wajib ada zatnya, dan pembuat itu mengetahui sekalian keadaan. Pembuat
itu oleh Plato dinamakan Tuhan.
B. Eksistensi Tuhan Dalam Pandangan Aristoteles
Aristoteles merupakan filsuf Yunani Kuno
yang hidup pada tahun 384 - 322 SM, ia berasal dari Stageira
di daerah Thrake, di Yunani Utara. Pada usia 17 tahun, Aristoteles dikirim ke
Athena untuk belajar di Academia Plato. Di sana, ia belajar di bawah bimbingan
Plato selama kurang lebih 20 tahun lamanya hingga Plato meninggal. Aristoteles
juga sempat mengajar logika dan retorika di Academia selama beberapa waktu.
Selama dua tahun ia menjadi guru pribadi Pangeran Alexander Agung, yang
kemudian setelah Alexander Agung dilantik sebagai Raja, Aristoteles kembali ke
Athena dan membuka Lykeilon (Latin : Lyceum). Meskipun Aristoteles selalu
menjunjung tinggi Plato sebagai pemikir dan sastrawan, namun dalam filsafatnya Aristoteles mempunyai
pemikiran sendiri. Perkataan “Amicus
Plato, magis amica veritas” (Plato memang sahabatku, tetapi kebenaran lebih
akrab bagiku) secara harafiah tidak berasal dari Aristoteles, namun cukup baik
mengalimatkan maksudnya. Terdapat pula perbedaan besar dalam sikap ilmiah kedua
pemikir Yunani ini. Plato terutama mementingkan ilmu pasti, sedangkan perhatian
Aristoteles secara khusus diarahkan kepada ilmu pengetahuan alam dengan sedapat
mungkin menyelidiki dan mengumpulkan data-data konkrit.
Sebagaimana dipaparkan sebelumnya bahwa Aristoteles bukanlah
filsuf pertama yang memikirkan tentang eksistensi Tuhan, namun pemikirannya
tentang Tuhan sangat mempengaruhi pemikiran
Barat dan pemikiran keagamaan lain pada umumnya. Penyelarasan pemikiran
Aristoteles dengan teologi Kristiani dilakukan oleh Santo Thomas Aquinas di
abad ke-13, dengan teologi Yahudi oleh Maimonides (1135 – 1204), dan dengan
teologi Islam oleh Ibnu Rusyid (1126 – 1198). Maimoides, pemikir paling
terkemuka Yahudi abad tengah berhasil mencapai sintesa dengan yudaisme. Di luar
daftar ini masih sangat banyak kaum cerdik pandai abad tengah yang terpengaruh
demikian dalamnya oleh Aristoteles. Bahkan di jaman dulu dan jaman pertengahan,
hasil karyanya diterjemahkan ke dalam
bahasa-bahasa Latin, Arab, Itali, Perancis, Ibrani, Jerman dan Inggris.
Selanjutnya penyelarasan pemikiran tentang
Eksistensi Tuhan berdasarkan pandangan Aristoteles juga dilakukan oleh Endar
Fajar Ramadhan, yang berkesimpulan bahwa : 1). Perspektif
Aristoteles tentang Tuhan sefrekuensi dengan perspektif orang Jawa tentang Sang
Suwung. Kesadaran logika tentang keberadaan Tuhan pada diri sendiri merupakan
hal yang sama dalam perspektif masing-masing;
2). Aku berfikir, maka aku ada. Kalimat tersebut tergambar dalam sudut
pandang Aristoteles tentang keberadaan tuhan. Hal ini sinkron dengan konsep
Sang Suwung yang dapat mengenali Tuhan dengan cara memusatkan fikiran untuk
meraih kesadaran murni; 3). Aristoteles sadar akan keberadaan Sang Penggerak
yang menjadikan sebuah objek mempunyai tujuan. Hal ini sinkron dengan pepatah
Jawa yang mengatakan tentang Sangkan Paraning dumadi.
Lalu bagaimana sesungguhnya pemikiran Aristoteles
tentang Theos atau Tuhan yang oleh banyak kalangan sangat mempengaruhi
pemikiran mereka dan kemudian banyak yang melakukan penyelarasan tentangnya ?.
Konsep Theos menurut Aristoteles berangkat dari pemikirannya tentang gerak,
dimana dikatakan semua benda bergerak menuju satu tujuan, sebuah pendapat yang
dikatakan bercorak teleologis. Karena benda tidak dapat bergerak dengan
sendirinya, maka harus ada penggerak dimana penggerak itu harus mempunyai
penggerak lainnya hingga tiba pada penggerak pertama yang tak bergerak yang
kemudian disebut dengan theos, yaitu yang dalam pengertian Bahasa Yunani
sekarang dianggap berarti Tuhan.
Pemikiran
Aristoteles juga menjelaskan, Penggerak Yang Tidak Bergerak bukan dzat yang
personal, melainkan impersonal. Waktu tidak menjadi masalah pokok, apakah Tuhan
mengadakan dari ada atau tidak ada. Penggerak Pertama, dalam pengertian
Aristoteles adalah zat yang immateri, abadi dan sempurna. Bagi Aristoteles,
Tuhan berdiri sendiri dan abadi, sebab Dia adalah penyebab dari semua benda yang
ada yang akan berproses menuju tujuan, namun bukan berarti efficient cause tetapi
adalah final cause. Aristoteles menyebutnya dengan teori actus purus.
Bahwa Tuhan tidak menggerakkan dan memindahkan semua benda, namun Tuhan
memberikan tujuan final dan arah akhirnya. Karena alam berpotensi untuk
merealisasikan dirinya sesuai dengan tujuannya.
C.
Korelasi Eksistensi Tuhan oleh
Aristoteles dengan Ghenggonalangi pada Masyarakat Sangihe Talaud dan Sitaro
Sebagaimana
kebanyakan suku-suku primitive yang ada di Indonesia, masyarakat Sangihe Talaud
dan Sitaro di Provinsi Sulawesi Utara di masa lampau diyakini menganut agama
suku. Pendapat ini selaras dengan apa yang disampaikan oleh Labobar, bahwa
sejak awal manusia ada di bumi, agama suku telah menjadi bagian yang tak
terpisahkan dari hidup manusia. Agama suku yang juga disebut sebagai agama
primitive telah menjadi agama-agama tradisional sejak awal yang hadir dalam
sejarah hidup manusia dan diyakini oleh manusia diberbagai suku bangsa untuk
menghubungkan dirinya pada apa yang diyakininya sebagai Tuhan.
Meskipun
usaha untuk membentuk suatu gambaran yang tepat tentang agama dari penduduk
kepulauan Sangihe Talaud pada masa dahulu kala, akan dipersulit oleh kenyataan
bahwa penduduk yang hidup di sana telah berabad-abad berhubungan dengan agama
Kristen dan Islam, namun dengan melihat kembali sampai ke pertengahan abad
ke-16, dapat dilihat satu pandangan hidup, yang dahulu umumnya dinyatakan
dengan kata “animisme”; tapi yang lebih tepat lagi dinyatakan sebagai suatu
campuran yang khas antara “kepercayaan mana”, penyembahan orang mati dan
kepercayaan pada roh-roh dan dewa-dewa.
Selain
kepercayaan terhadap roh-roh halus, arwah orang mati, benda-benda sakti,
kekuatan-kekuaran gaib, mereka juga mempunyai satu kepercayaan, bahwa ada suatu
kekuatan yang lebih besar, yang berkuasa melebihi segala kuasa yang ada di
bumi. Kuasa inilah yang disebut Ghenggona Langi Duata Saluruang, yang
artinya “Dia yang di atas langit penguasa alam semesta”. Ghenggona Langi diyakini
dan dipercayai sebagai sesuatu yang suci dan memberikan keselamatan bagi
manusia. Mereka tidak sembarangan menyebut Ghenggona Langi.
Itulah sebabnya mereka menyebut Ghenggona Langi dengan Mawu Ruata atau
Mawu Duata. Sebutan Ghenggona Langi hanya dapat dijumpai dalam
kata-kata permohonan doa, yang terungkap pada pelaksanaan ritual, termasuk
ritual Tulude. Ghenggona Langi-lah yang disembah dan dipuji.
Itulah sebabnya Ghenggona Langi sering dikatakan “I Ghenggona Langi
Duata Saluruang Manireda Bihingang”, yang artinya “Dia yang di atas langit
penguasa alam semesta melindungi kita semua”.
Pemikiran tentang Eksistensi Tuhan oleh Aristoteles berkorelasi
dengan pemikiran masyarakat Sangihe Talaud dan Sitaro tentang Tuhan yang disebut
sebagai Genggonalangi. Keterkaitan tersebut secara lengkap akan diuraikan pada pokok
bahasan dibawah ini :
1)
Kesadaran Akan Adanya Tuhan
Kesadaran akan adanya Tuhan merupakan kunci utama
orang mengenal dan mengakui adanya Tuhan. Menurut Aristoteles, Tuhan ada ketika
kita berfikir, karena Tuhan merupakan Aktus Murni. Tidak konkrit dan tidak
berwujud materi.
Ketika Aristoteles berpikir tentang suatu Penggerak Sejati yang menggerakkan
segala sesuatu, karena menurutnya suatu benda tidak
dapat bergerak dengan sendirinya, maka hal ini berpuncak kepada pengakuan
tentang eksistensi Tuhan. Sebagai penganut agama suku sejak dahulu kala,
masyarakat Sangihe Talaud dan Sitaro telah memiliki pemikiran dan kesadaran
tentang adanya Penggerak Sejati sebagaimana yang dipikirkan oleh Aristoteles.
Menurut D. Brilman, sejak dahulu masyarakat Sangihe
Talaud (dan Sitaro) mengakui adanya suatu “tenaga sakti penuh rahasia” yang
berada dalam seluruh alam, dalam manusia dan binatang, dalam pepohonan dan
tumbuhan, ya dalam segala sesuatu dan bisa mengerjakan baik kebahagiaan maupun
pemusnahan. Segala sesuatu yang istimewa dan luar biasa dan tak dapat
diterangkan, dianggap bersumber pada kuasa ini. Jika di dalam alam dan
masyarakat tidak terjadi sesuatu yang luar biasa, kuasa itu tetap ada, tapi tak
menampak. Tapi bagaikan arus listrik pada suatu saat tidak mengalirkan arus dan
tidak berbahaya, tapi oleh suatu sebab kecil – umpamanya ditekannya suatu
tombol – dapat mengakibatkan maut dan kemusnahan pada setiap orang yang terkena
sentuhannya, demikian pula halnya menanti suatu hal kecil terjadi untuk
menggerakkkan kuasa terpendam ini, sehingga udara dan awan-awanpun mengalami
pegaruhnya dengan akibat : kekeringan dan kerusakan tanaman bahkan manusiapun
dapat kehilangan nyawanya.
Kesadaran masyarakat Sangihe Talaud dan Sitaro
tentang adanya “tenaga sakti penuh rahasia” atau kuasa supranatural ini,
membawa mereka kepada upaya untuk mengusahakan bagaimana supaya kuasa tersebut
dapat melunak, dalam artian tidak menimbulkan kerugian yang teramat dalam bagi
manusia. Mereka kemudian melakukan berbagai ritual, termasuk didalamnya terdapat
berbagai pantangan atau larangan-larangan (periode tabu). Perbuatan seperti
demikian, meskipun termasuk dalam kategori perbuatan mistis, namun arahnya
sangat jelas kepada pemikiran yang tergolong kepada pengakuan tentang
eksistensi Tuhan sebagai “tenaga sakti penuh rahasia” yang menggerakan segala
sesuatu dalam alam semesta di luar kemampuan atau kuasa manusia.
2)
Genggonalangi Sebagai Zat Yang
Tidak Berwujud
Pemahaman Aristoteles tentang keberadaan Tuhan yang
dimulai dari pemikiran tentang adanya Tuhan, tidak terpisahkan dengan suatu
kenyataan bahwa sesungguhnya Aristoteles tidak pernah melihat fisik daripada
Tuhan itu sendiri. Dengan perkataan lain ia merefleksikan Tuhan sebagai Aktus
Murni, tidak konkrit dan tidak berwujud materi. Penggerak Pertama, dalam pengertian
Aristoteles adalah zat yang immateri, abadi dan sempurna. Demikianpun halnya
dengan pemahaman atau kepercayaan masyarakat Sangihe Talaud dan Sitaro tentang
eksistensi Tuhan yang disebutkan sebagai Genggonalangi.
Genggonalangi yang dipercayai oleh masyarakat
Sangihe Talaud tidaklah berwujud seperti sebuah patung, batu, kayu, gunung atau
apapun dalam bentuk yang kelihatan secara fisik lainnya. Genggonalangi
merupakan penguasa dunia gaib atau dunia supranatural. Jammes J. Takaliuang, menjelaskan bahwa Orang SaTas (Sangir Talaud
dan Sitaro) memiliki kepercayaan terhadap satu dunia yang berada di luar dan
diatas dunia yang didiami sekarang yaitu dunia gaib (supranatural). Dalam dunia
gaib ini ada dewa yang tertinggi dan satu-satunya dewa yang mendiami dunia gaib
yaitu Ghenggonalangi. Dewa ini adalah mahakuasa, pencipta, dan berkuasa atas
semua dewa yang ada.
Ghenggona Langi Duata Saluruang, yang artinya “Dia yang di atas langit
penguasa alam semesta”.
Sebagai penguasa dunia supranatural Genggonalangi
tidak berwujud secara fisik. Hal ini
senada dengan apa yang disampaikan oleh Amos Batasina Tulentang, salah seorang
tokoh masyarakat Kampung Talawid yang mengatakan bahwa : “Genggonalangi
bukanlah sosok yang kelihatan, Ia tidak berwujud, Genggonalangi adalah Roh yang
tidak kelihatan, namun diyakini keberadaan-Nya”.
3)
Genggonalangi Sebagai Penguasa
Tertinggi
Bertens, dalam bukunya Sejarah Filsafat Yunani yang
ditulisnya, menjelaskan Allah sebagai penggerak pertama. Tapi ini adalah
rujukan ia beliau ambil langsung dari karya Aristoteles dalam Metaphysica, buku
XII. Dalam buku tersebut juga diakui sebagai gerak abadi yang terdapat di
dunia. Bagi Aristoteles, gerak alam jagat raya tidak mempunyai awal ataupun
akhir. Sebab, sesuatu yang bergerak, digerakkan oleh sesuatu yang lain. Tetapi
ada satu penggerak yang menyebabkan segala sesuatu bergerak tapi ia sendiri
tidak digerakkan. Maka, penggerak pertama bersifat abadi, dan begitu juga
gerak yang disebabkan oleh penggerak tersebut. Penggerak ini rupanya terlepas
dari materi, karena segalanya yang mempunyai materi, mempunyai juga potensi
untuk bergerak. Allah sebagai penggereak pertama tidak mempunyai potensi apapun
juga. Allah harus dianggap sebagai Aktus Murni, yakni ia yang mengada secara
murni, tanpa potensialitas menjadi yang lain.
Pandangan Aristoteles tentang Tuhan sebagai penggerak pertama (prime mover)
yang tak bergerak dan menggerakan penggerak lainnya yang membuat suatu benda
atau materi bergerak, dapat diartikan bahwa Penggerak Pertama tersebut
merupakan Penguasa Tertinggi, sebab setelah Dia tidak ada lagi yang lain.
Konsep ini, pada kenyataanya menimbulkan multi
tafsir antara paham yang menyatakan bahwa Airosteteles menganut monoteisme
sebagaimana yang dipercaya oleh Bertens, dan penulis-penulis lainnya, karena di
akhir buku XII, Bertens menegaskan bahwa hanya ada satu penggerak yang tidak
digerakkan. Meskipun Bertens juga mencatat bahwa dalam karya-karya yang lain Aristoteles
menyebut juga allah-allah lain dalam bentuk jamak. Demikian juga dalam kritik
yang disampaikan oleh Much Hasan Darojat terhadap pendapat Osman Bakar
mengklaim di antara dari mereka (Socrates, Plato dan Aristoteles), memilik
akidah tauhid dengan mengutip seorang tokoh ilmuan Muslim, al-Ghazali. Much
Hasan Darojat membantah pendapat tersebut dengan mengatakan bahwa penyebutan
Aristoteles sebagai seorang monoteis adalah justifikasi yang kurang tepat,
karena bertentangan dengan sistem kepercayaan dan keyakinan (teologi)
masyarakat Yunani pada waktu itu. Sebagaimana diketahui, orang-orang Yunani
kuno adalah polytheist. Mereka percaya adanya banyak tuhan; Zeus (tuhan ketua),
Hera (istri tuhan Zeus), Poseidon (tuhan laut), Athena (tuhan perempuan yang
memberi pengetahuan dan mengatur peperangan), Apollo (tuhan matahari), dan
Demeter (tuhan perempuan yang memberikan kesuburan).
Demikianpun konsep masyarakat Sangir Talaud dan
Sitaro tentang eksistensi Genggonalangi sebagai Penguasa Tertinggi. Ghenggonalangi adalah
dewa tertinggi yang dipercaya masyarakat suku Sangihe Talaud di masa lalu. Ia
mahakuasa, maha pencipta, dan berkuasa atas semua dewa yang ada. Ghenggonalangi adalah duatangsaluluang (dewa
alam semesta).
Hal
ini dapat diartikan sebagai monoteisme ataupun politeisme. Pemahaman monoteisme
tentang konteks Genggonalangi, karena memang masyarakat Sangihe Talaud dan
Sitaro mengakui Genggonalangi sebagai Penguasa Tertinggi, yang kekuasaanNya
tidak dapat dibandingkan dengan dewa-dewa lainnya. Sebagai Penguasa Tertinggi,
tentunya dia hanya satu dan di atas Dia tidak ada lagi penguasa yang lain,
sebab Ia telah sempurna.
Namun dari sudut pandang yang lain dapat juga
berarti politeisme, sebab selain sebagai Penguasa Tertinggi, Genggonalangi
dikatakan berkuasa atas semua dewa yang ada. Selain Ghenggonalangi sebagai mahadewa,
terdapat pula dewa-dewa yang melingkupi kekuasannya masing-masing. Dewa-dewa
tersebut menguasai lapangan-lapangan hidup, duatan langitta adalah
dewa yang menguasai dan mengurusi segala hal yang ada di langit, duata
mbinangunanna adalah dewa alam barzach dimana ia yang mengatur
kehidupan setelah meninggal dunia, mawendo adalah dewa laut yang
menjaga keseimbangan alam, aditinggi gunung api Siau yang juga menjaga
keseimbangan alam di suku Talaud, ngakasuang adalah raja orang
mati, dan dewa lainnya.
Meskipun demikian, terlepas dari perbedaan pandangan
antara monoteisme dan politeisme, pendapat Aristoteles tentang Penggerak
Pertama yang dapat diartikan sebagai Penguasa Tertinggi, selaras dengan
pemikiran masyarakat Sangihe Talaud dan Sitaro tentang Genggonalangi sebagai
Penguasa Tertinggi.
D.
Kesimpulan
Dari pembahasan yang telah diuraikan penulis
sebagaimana tersebut diatas, maka dapat disimpulkan, hal-hal sebagai berikut :
- Kesadaran pemikiran masyarakat Sangihe
Talaud dan Sitaro tentang adanya “tenaga sakti penuh rahasia” atau kuasa
supranatural selaras dengan pemikiran Aristoteles tentang Penggerak Sejati.
Semuanya bermula dari berpikir.
- Aktus Murni, yang direfleksikan oleh
Aristoteles sebagai yang tidak konkrit dan tidak berwujud materi sinkron dengan
pemahaman atau kepercayaan masyarakat Sangihe Talaud dan Sitaro tentang
eksistensi Tuhan yang disebutkan sebagai Genggonalangi Sebagai penguasa dunia
supranatural yang tidak berwujud secara fisik.
- Pendapat Aristoteles tentang Penggerak
Pertama yang dapat diartikan sebagai Penguasa Tertinggi, selaras dengan
pemikiran masyarakat Sangihe Talaud dan Sitaro tentang Genggonalangi sebagai
Penguasa Tertinggi..
DAFTAR
PUSTAKA
Waris (2014). Pengantar Filsafat. STAIN Po PRESS,
Ponorogo – Indonesia. Hal. 17.
Aprilinda
Matondang Harahap (2019) “Metode
Filosuf Yunani Menemukan Tuhan”. Jurnal
Ushuludin, sumber : http://jurnal.uinsu.ac.id/index.php/ushuluddin/article/view/5711 . Diakses pada 25 April 2023.
https://id.wikipedia.org/wiki/Anaximandros, diakses 25
April 2023.
Waris (2014). Pengantar Filsafat. STAIN Po PRESS,
Ponorogo – Indonesia. Hal. 18.
K. Bartens (1991). Ringkasan Sejarah Filsafat. Kanisius,
Yogyakarta – Indonesia. Hal. 9.
https://id.wikipedia.org/wiki/Herakleitos diakses 25
April 2023.
Waris (2014). Pengantar Filsafat. STAIN Po PRESS,
Ponorogo – Indonesia. Hal. 19.
K. Bartens (1991). Ringkasan Sejarah Filsafat. Kanisius,
Yogyakarta – Indonesia. Hal. 12.
Waris (2014). Pengantar Filsafat. STAIN Po PRESS,
Ponorogo – Indonesia. Hal. 19.
Muliadi (2020). Filsafat Umum. Fakultas
Ushuluddin UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Bandung – Indonesia. Hal. 187
K. Bartens (1991). Ringkasan Sejarah Filsafat. Kanisius,
Yogyakarta – Indonesia. Hal. 14.
Dini
Anggraeni Saputri. Aristoteles; Biografi dan Pemikiran. Sumber : http://staffnew.uny.ac.id/upload/132051059/pendidikan/aristoteles_ed.pdf . Diakses pada 25 April 2023.
Endar Fajar Ramadhan. Eksistensi Theos oleh Aristoteles Dengan Sang Suwung
di Masyarakat Jawa dalam Dimensi Filsafat Ilmu; Jurnal Dinamika
Sosial Budaya, Vol . 24, No.1, Juni 2022.
Harianto GP (2023) “Filsafat
Teologi”. Diktat. Sekolah Tinggi
Teologi Rumah Murid Kristus, Bitung. Hal. 43.
Aprilinda Matondang Harahap (2019)
“Metode Filosuf Yunani Menemukan Tuhan”. Jurnal Ushuludin, sumber : http://jurnal.uinsu.ac.id/index.php/ushuluddin/article/view/5711 . Diakses pada 25 April 2023.
Kresbinol Labobar (2022). Agama Suku Dalam Sejarah dan Fakta. Penerbit Lakeisha. Klaten – Jawa Tengah. hal. 22.
D. Brilman (1986). Wilayah-Wilayah Zending Kita, Zending di
Kepulauan Sangi dan Talaud. Penerbit Badan
Pekerja Sinode Gereja Masehi Injili Sangihe Talaud. Manado. hal. 54.
Masronly Himan Makainas (1986). Perubahan Identitas Dalam Ritual Tulude. Tesis. Program Studi Magister Sosiologi Agama
Fakultas Teologi Universitas Kristen Satya Wacana. Salatiga. hal. 43.
Endar Fajar Ramadhan. Eksistensi Theos oleh Aristoteles Dengan Sang Suwung
di Masyarakat Jawa dalam Dimensi Filsafat Ilmu; Jurnal Dinamika
Sosial Budaya, Vol . 24, No.1, Juni 2022.
D. Brilman (1986). Wilayah-Wilayah Zending Kita, Zending di
Kepulauan Sangi dan Talaud. Penerbit Badan
Pekerja Sinode Gereja Masehi Injili Sangihe Talaud. Manado. hal. 54.
Jammes J. Takaliuang. Kristologi Bahari. Jurnal Missio Ecclesiae, 8(1), April 2019, hal. 4
Wawancara lisan dengan Bapak Amos Batasina
Tulentang pada tanggal 26 April 2023.
Wiliams Roja. (2017) "Memahami Penggerak Abadi
menurut Aristoteles", Artikel Kompasiana yang diakses pada 25 April 2023
melalui : https://www.kompasiana.com/wiliamsroja/5a1970a763b2481d19044fa2/memahami-penggerak-abadi-menurut-aristoteles?page=all#section3
Much Hasan Darojat. Benarkah Aristoteles dan Konfusius Menganut
Ajaran Tauhid ? Journal TSAQAFAH Volume 16, Number 2, November 2020.
https://www.dgraft.com/outline/traveldraft/2014/02/suku-sangihe-talaud/ diakses
pada 25 April 2023.
https://www.dgraft.com/outline/traveldraft/2014/02/suku-sangihe-talaud/ diakses
pada 25 April 2023.