Senin, 29 Juli 2019

BARANGKA / BRANGKA

Oleh : Fredrik Dandel, ST. (Pemerhati Budaya Siau)

Yang disebut barangka atau brangka adalah bagian dari struktur yang terletak di bawah jembatan. Dalam bahasa Siau, jembatan dikenal dengan istilah dudoku. Secara tradisional, barangka berfungsi sebagai dasar dari sebuah dudoku yang dibangun untuk menghambat arus air yang akan mengalir melewati bantaran sungai. Biasanya, dasar barangka ini digali sedalam sekitar 30 cm, dengan tujuan untuk memperlambat laju aliran air serta memberikan stabilitas pada struktur jembatan itu sendiri. Hal ini penting, karena keberadaan barangka yang kuat dan kokoh akan memastikan dudoku tetap bertahan meskipun diterjang oleh arus sungai.

Pada masa lalu, masyarakat Siau membangun dudoku dengan bahan dasar kapur, yang digunakan sebagai pengganti semen. Pada waktu itu, mungkin semen dianggap sebagai bahan yang langka atau mahal, atau bisa juga karena masyarakat lebih memilih kapur yang sudah terbukti dapat bertahan lama dalam menopang dan mengikat bangunan. Kapur menjadi bahan yang lebih mudah diperoleh dan sangat efektif dalam menciptakan ikatan kuat antara pasir, batu, dan bahan lainnya yang digunakan dalam pembangunan dudoku. Dengan cara ini, barangka dan dudoku dapat dibangun dengan bahan alami yang murni, seluruhnya produk lokal, yang sekaligus mencerminkan kearifan lokal masyarakat Siau dalam memanfaatkan sumber daya alam di sekitar mereka.

Keunikan barangka juga terletak pada struktur dan campuran bahan yang digunakan. Jika kita memasuki bagian barangka, kita akan melihat dengan jelas serbuk kapur berwarna putih yang mengikat pasir dan batu, membentuk sebuah lapisan kompak yang kuat. Struktur ini tidak hanya berfungsi untuk mendukung jembatan secara fisik, tetapi juga menjadi bagian dari ekosistem yang membantu menjaga keseimbangan alam sekitar bantaran sungai. Kealamian bahan yang digunakan menjadikan barangka tidak hanya sebagai elemen konstruksi, tetapi juga sebagai bagian dari tradisi yang menghargai keberlanjutan alam.

Namun, barangka tidak hanya berfungsi sebagai bagian dari struktur jembatan. Ada sisi lain yang khas dari barangka yang menjadikannya tempat yang cukup terkenal dalam budaya masyarakat Siau. Dulu, barangka sering digunakan sebagai tempat yang nyaman bagi kaum pria untuk membuang hajat, terutama di pagi hari atau dini hari. Kebiasaan ini merupakan hal yang biasa dilakukan, mirip dengan tradisi masyarakat yang sering mengunjungi pantai-pantai tertentu pada waktu yang sama. Tempat-tempat seperti ini menjadi semacam "ruang sosial" bagi kaum pria untuk melakukan kegiatan tersebut, sambil berinteraksi atau sekadar beristirahat sejenak.

Namun, seiring berjalannya waktu dan perkembangan zaman, kebiasaan ini mulai memudar. Masyarakat Siau sekarang sudah tidak lagi mengunjungi barangka untuk tujuan tersebut. Kini, barangka telah menjadi sepi, kehilangan salah satu fungsi sosial yang dulunya cukup populer. Dengan kemajuan teknologi dan perubahan pola hidup, tempat-tempat seperti barangka yang sebelumnya memiliki peran dalam kehidupan sehari-hari mulai terlupakan.

Di Kampung Talawid dan Mahuneni, terdapat beberapa barangka yang cukup dikenal oleh masyarakat, seperti Barangka Panding dan Barangka Tangka. Barangka Panding masih terjaga keasliannya hingga kini, sementara Barangka Tangka sudah mengalami renovasi. Renovasi ini dapat dilihat pada foto yang menunjukkan bagaimana struktur barangka tersebut telah mengalami perubahan dan pembaruan agar tetap dapat digunakan sesuai kebutuhan zaman. Meskipun demikian, keberadaan barangka yang masih alami, seperti Barangka Panding, tetap menjadi saksi bisu dari sejarah dan budaya masyarakat Siau yang kaya.

Keberadaan barangka ini tidak hanya memberikan nilai historis dan budaya yang mendalam, tetapi juga menjadi simbol dari cara masyarakat Siau dalam beradaptasi dengan lingkungan mereka. Sebagai produk lokal yang alami, barangka mencerminkan hubungan yang erat antara manusia dan alam, serta kemampuan mereka untuk memanfaatkan sumber daya alam dengan bijak. Meskipun peran barangka dalam kehidupan sehari-hari sudah banyak berkurang, jejak-jejak sejarah ini tetap menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas budaya Siau yang patut kita jaga dan kenang.








Sabtu, 22 Juni 2019

Foto Keluarga Dandel Jaman Dulu (Tahun 1956 s/d 1988) di Talawid Siau.

Koleksi Foto di bawah ini merupakan foto Keluarga Dandel, baik Keluarga Dandel Bawimbang, maupun Keluarga Luas Dandel (Oma Ester dan Opa Tempu) di Kampung Talawid, Kec. Siau Barat Selatan yang masih tersimpan rapi dalam koleksi foto keluarga Dandel Bawimbang di rumah tua. 

Foto tersebut kemudian didaur ulang / difoto ulang olehku (Fredrik Dandel, ST.) untuk tujuan mengabadikan kenangan akan orang tua / leluhur dijaman dulu sehingga dikenal dan tetap dicintai oleh anak cucu dan generasi kami kedepannya. 

Semoga Bermanfaat.
Kel. Dandel Bawimbang di Tahun 1964;
Ayah Semuel Dandel, Ibu Rosalie Bawimbang
Anak2: Riffat Dandel, Sarah Dandel dan Esterlien Dandel

Kel. Dandel Bawimbang di Tahun 1973;
Anak2 : Riffat Dandel, Sarah Dandel, Esterlien Dandel,
Alberth Dandel, Johanis Dandel, Stenly Dandel
Aku si bungsu lahir 1975, sehingga blum ada deh..

Ayah Semuel Dandel dan Om Tamulumu di Tahun 1976

Keluarga Besar Luas Dandel (Oma Esterlien Dandel dan Opa Tempu Luas)
berfoto bersama keluarga di Talawid Tua, Prakiraan Foto Tahun 1960an.

Oma Esterlien Dandel dan Makang Ana Dandel (Kakak dari Ayah Semuel Dandel).
Prakiraan Foto Tahun 1960an di Talawid Tua.
Mama Rosalie Bawimbang, Tante n Om. Foto Tahun 1956

Mama Rosalie Bawimbang n Tante. Prakiraan Foto Tahun 1960an.


Mama Rosalie Bawimbang n Tante. Prakiraan Foto Tahun 1960an.

Mama Rosalie Bawimbang n Friend. Tahun 1950an

Fredrik Dandel sewaktu SD Kelas V. Tahun 1986.

Fredrik Dandel sewaktu SMP Kelas 1. Tahun 1988

Kamis, 20 Juni 2019

Sumur Tua Kampung Talawid, Kec. Sibarsel

Oleh : Fredrik Dandel, ST.

Tak dapat disangkal, air dari sumur inilah yang telah membesarkan banyak orang di Kampung Talawid, Kecamatan Siau Barat Selatan.
Sumur Tua yang berada di Dalhung Humbia,
Kampung Talawid, Kec. Sibarsel.
Konstruksi bangunan sumurnya masih asli. Bahannya dari campuran batu, pasir dan kapur. Bahan dasar kapur biasanya dibuat oleh masyarakat setempat dengan membakar Karang/bualho di atas tungku pembakaran yang tersusun dengan kayu bakar, yang dalam bahasa dareahnya disebut dengan depuhang apu.
Keberadaan sumur ini lebih tua dari generasi kami yang lahir tahun 70an. Bahkan menurut beberapa orang tua yang yang masih hidup dan lahir Tahun 50an dan 40 an, Sumur tersebut telah ada sebelum mereka lahir.  
Sumur Yang sama di shooting dari dekat.

Semasa kecil sumur inilah yang menjadi pusat banyak orang untuk memenuhi kebutuhan air minum. Cara memperoleh air dilakukan dengan cara tradisional yaitu dengan menimba memakai timba kecil yang diikat dengan tali, diisi dalam ember, kemudian 2 ember yang berisi air tersebut dikatikan pada delhualeng (wadah bambu/kayu yang kedua ujungnya ditautkan tali atau besi), dipikul diatas bahu. 

Tak dapat diketahui siapa yang membuat / menggali sumur tersebut, sehingga menjadi suatu pekerjaan rumah bagi generasi sekarang ini untuk menyelidiki kebaradaan sumur yang diperkirakan umurnya telah melebihi 100 tahun tersebut.

Minggu, 16 Juni 2019

PANTAI BAHU - TALAWID, KEC. SIAU BARAT SELATAN

Oleh : Fredrik Dandel, ST.
(Ditulis kembali dari postingan 04-03-2018 di Group FB Kec. Siau Barat Selatan)

Pantai Bahu Kampung Talawid Kec. Siau Barat Selatan merupakan salah satu tempat tujuan wisata di Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro. Provinsi Sulawesi Utara.
Pantai dengan hamparan pasir putih yang membentang sepanjang kurang lebih 200 meter ini pada setiap hari libur tidak pernah sepi dari pengunjung.

Salah satu tempat yang paling ramai dikunjungi selain beach milik Ibu Dorkas Bogar adalah beach milik Bpk. Benjamin Kanarang, SH (salah seorang anggota DPRD Kab. Kepl. Siau Tagulandang Biaro) yang telah mengelola beach ini selama kurang lebih 7 tahun.

Berbagai fasilitas pendukung yang ada diantaranya adalah tenda untuk acara ibadah pantai, kursi, Keyboard lengkap dengan sound sistem dan pemain musik, kamar mandi/wc, maupun banana boat dll, dapat disewakan di tempat ini. Sudah tentu dengan harga yang dapat dijangkau oleh wisatawan yang kebanyakan adalah wisatawan domestik, masyarakat yang berada di Pulau Siau.

Seiring dengan perkembangan akses informasi tentunya, tidaklah menutup kemungkinan, Wisata Pantai Bahu ini akan menjadi tujuan utama wisatawan mancanegara berkunjung di negeri 47 Pulau ini, mengingat jarak dari Pulau Mahoro terbilang dekat, hal ini telah mulai dirasakan, beberapa wisatawan mancanegara terlihat acapkali menyambangi tempat ini.

Yang tertarik untuk menikmati keindahan Pantai Bahu, silahkan menghubungi pengelola.

PANTAI TALAWID / MAHUNENI, KEC. SIAU BARAT SELATAN

Oleh : Fredrik Dandel, ST.
(Ditulis kembali dari postingan 25-03-2018 di Group FB Kec. Siau Barat Selatan)

Pesisir pantai yang sekarang ini, dahulunya merupakan habitat yang subur dari tanaman sagu, sehingga orang tua kami menamai tempat ini "dalhung humbia". Dari "dalhung humbia" ini sejauh kurang lebih 100 meter ke arah laut adalah wilayah pesisir pantai yang merupakan hutan mangrove (sisa2 tanaman mangrove masih dapat ditemukan terbenam dalam pasir).

Sekitar tahun 80an, pesisir pantai ini banyak ditumbuhi dengan tanaman menjalar "batata pante" yang dalam bahasa Siau dibilang "derere". Buah dari derere ini dipakai oleh anak2 masa itu sebagai peluru untuk "pepiti". Sebuah permainan perang yang sebenarnya cukup berbahaya, tapi kami sukai.

Perubahan demi perubahan terjadi, pesisir pantai semakin hari semakin menjorok ke darat. Untuk mengurangi abrasi yang berkepanjangan, Pemerintah Kab. Kepl. Sitaro saat ini telah membangun talut penahan ombak. Hasilnya telah dirasakan oleh masyarakat baik sebagai pengaman badan rumah dari terjangan ombak, tempat rekreasi, pun sebagai tempat berenang yang nyaman bagi anak-anak.

Pulau Mahoro, Kab. Kepl. Siau Tagulandang Biaro : Wisata Alam nan Menakjubkan.

Oleh : Fredrik Dandel, ST.

Pulau Mahoro

Pantai Pulau Mahoro.






Nampak sebuah Kubur di atas Batu.

Kubur di Mahoro, tampak dari dekat.

Sumur Gali yang dibuat Pemerintah Kampung Tapile pada Tahun 1996.

Sabtu, 15 Juni 2019

Tumbuhan Bitung (Barringtonia Acutangula BL.)


Oleh : Fredrik Dandel, ST. 



Pohon Bitung.
Tanaman Bitung, nama latinnya adalah Barringtonia asiatica (L) Kurz dengan nama umum “sea poison tree atau di Indonesia lebih dikenal dengan sebutan bitung.  

Tanaman ini adalah salah satu tanaman yang biasanya hidup dipesisir pantai. Ketinggian pohonnya bisa mencapai lebih dari 7 meter, dan termasuk dalam kelompok tanaman berumur panjang.
Kuncup Bunga Pohon Bitung.
Masyarakat di Kampung Talawid, Kec. Siau Barat Selatan, Kabupaten Kepl. Siau Tagulandang Biaro, Prov. Sulawesi Utara, memanfaatkan tanaman Bitung sebagai obat tradisional untuk penyembuhan bisul. 

Buah Bitung, biji di dalamnya dipakai untuk obat.
Bagian yang dimanfaatkan adalah bijinya. Biji bitung yang telah dikeringkan atau dibakar, ditumbuk halus hingga menjadi tepung, dicampur dengan minyak kelapa, kemudian dioleskan pada bagian yang sakit (bisul) dengan menyisahkan mata bisul. Keesokan harinya, kasiatnya pasti akan terasa.

Bunga Pohon Bitung.



LEPUTE

Lepute di  Kampung Talawid, Kec. Sibarsel.

Lepute merupakan kata benda untuk menyebut sebuah tembok berukuran panjang antara 2 s/d 3 meter, tinggi kurang lebih 30 s/d 50 cm yang membatasi jalan dan saluran got. Biasanya dipakai juga sebagai tempat duduk dan dibangun di area yang strategis seperti di prampatan (bunderan) jalan, juga untuk menandai nama tempat misalnya Lepute Sahai. 

Istilah ini tidak ditemukan dalam Bahasa Indonesia. KBBI hanya mengenal tembok atau pagar, tapi lepute sebenarnya bukanlah itu.
Masyarakat di Jazirah Pulau Siau (mungkin tidak semua) dari jaman dahulu sampai sekarang ini, sering memanfaatkan lepute ini sebagai sarana tempat berkumpul di pagi maupun sore atau malam hari. Berbagai informasi baik yang positif maupun negatif didiskusikan di lepute ini.
Lepute (lingkaran hitam) di perempatan jalan Talawid

Jaman dulu orang2 tertentu sering memanfaatkan lepute untuk menyebarkan informasi negatif lewat surat buta atau surat kaleng. Pengirim surat yang tidak dikenal ini akan menaruh surat tersebut di atas ataupun disekitar lepute dengan maksud segera ditemukan oleh masyarakat untuk kemudian membaca dan menyebarkan informasi tersebut.

Lepute sering dikonotasikan negatif oleh orang2 yang menganggap ilmu atau wawasannya lebih tinggi untuk merendahkan lawan diskusinya. Misalnya : "Kauku ketang onase lepute" = Kamu hanyalah sampah Lepute. Namuin tak dapat dipungkiri bahwa dari diskusi lepute ini, telah banyak melahirkan orang-orang sukses dan punya nama besar dari Siau dengan tingkat kecerdasan yang mumpuni.