Oleh : Fredrik Dandel,
ST, STh, MAg.
(Pemerhati Budaya Siau - Sibarsel;
Anggota Tim Penulis Cerita Rakyat Dinas Pariwisata dan
Kebudayaan Kab. Kepl. Sitaro).
Pendahuluan
Kisah ini merupakan cerita rakyat
dari Kampung Talawid dan Kampung Mahuneni yang dituturkan secara lisan dari
generasi ke generasi. Masyarakat mempercayai bahwa pemberian nama Talawid dan
Mahuneni bukanlah terjadi secara kebetulan, melainkan lahir dari suatu
perjuangan yang spektakuler sebagai bentuk upaya penduduk dalam mempertahankan
hidup dari berbagai tantangan alam yang keras. Penggalan cerita ini pernah
dituliskan dan dipublikasikan oleh beberapa teman-teman sebagaimana disebutkan
dalam referensi di bagian akhir tulisan. Penulis mencoba menarasikannya
Kembali, dengan harapan cerita ini menjadi lebih familiar bagi pembaca baik
Masyarakat Kampung Talawid, Mahuneni, Sitaro dan juga pembaca lainnya dari luar
Sitaro. Semoga bermanfaat.
Bermula dari Eneraha
Di sebuah daerah yang kini
dikenal sebagai Kampung Talawid dan Kampung Mahuneni, terdapat sebuah komunitas
kecil yang bermula dari Eneraha. Pada masa itu, bersama penduduk setempat
tinggal juga seorang Belanda yang hidup rukun dan telah menyesuaikan diri
dengan kehidupan sehari-hari masyarakat. Mereka hidup harmonis dengan alam
sekitar, berbekal sebagai petani yang mengandalkan tanaman pala sebagai
komoditas utama, yang tumbuh subur di lahan-lahan membuat mereka bergantung
pada mata air sebagai sumber kehidupan mereka.
Pada suatu hari, ketika musim
kemarau mulai mengeringkan mata air di Eneraha, kekhawatiran mulai menghinggapi
hati penduduk. Tanah yang subur perlahan mengering, dan sumber-sumber air yang
biasa mereka andalkan mulai surut.
Seorang petualang yang sering
menjelajahi hutan sekitar, datang dengan berita yang mengubah arah hidup
mereka. "Saya telah menemukan sumber air yang melimpah di sebelah Bulude,"
ucapnya dengan semangat, ketika ia kembali ke Eneraha dengan berita tersebut.
Penduduk Eneraha yang khawatir
dengan ketersediaan air segera berkumpul di bawah pohon rindang yang tumbuh di
dekat aliran terakhir air yang tersisa. Orang Belanda yang tinggal bersama
mereka, yang sudah akrab dengan bahasa dan adat istiadat setempat, juga turut
hadir dalam pertemuan tersebut. Dia duduk di antara mereka dengan pakaian yang
sudah terbiasa ia kenakan, sambil melihat wajah-wajah yang dipenuhi perasaan
was-was.
"Sumber air baru di sekitar Bulude?
Bagaimana caranya kita bisa sampai ke sana?" tanya seorang pemuda dengan
rambut panjang yang terselip di bawah kepala topi.
Orang Belanda itu tersenyum,
"Saya pernah mendengar tentang Bulude. Meskipun perjalanan akan sulit, namun
saya yakin kita bisa menemukan jalannya."
"Penduduk setempat mungkin
bisa membantu kita menavigasi jalur yang tepat," saran seorang perempuan
tua dengan mata yang tajam, yang sering diundang untuk memberi saran di dalam
hal apapun.
"Mungkin kita harus segera
bersiap-siap untuk perjalanan ini," kata seorang pemuda bersemangat,
mengangkat semangat semua yang hadir.
Dengan persetujuan bersama,
mereka memutuskan untuk melakukan perjalanan panjang menuju Bulude, melewati
lereng-lereng curam dan jalan setapak yang sering dilalui oleh para petani dan
pengumpul kayu bakar. Dengan mata air sebagai tujuan, penduduk desa mengikuti
jejak-jejak yang pernah dilalui sebelumnya oleh para petualang.
Tantangan di Perjalanan
Perjalanan menuju Bulude tidaklah
mudah. Mereka harus meniti lereng-lereng curam yang dipenuhi dengan tanaman
pala, dan tanaman lainnya. Orang Belanda yang tinggal bersama mereka, meskipun
tidak terbiasa dengan medan yang sulit, tetap gigih berjalan di antara penduduk
setempat yang lincah menavigasi jalur tersebut, meski memerlukan kehati-hatian
ekstra dalam setiap langkahnya.
Di tengah perjalanan, ketika
mereka sedang istirahat sejenak di tepi jalan setapak yang sempit, Belanda itu
bertanya, "Bagaimana kalian bisa begitu terampil menavigasi medan yang
sulit ini?"
Seorang pemuda yang terlihat
lebih berpengalaman menjawab dengan bangga, "Kami terbiasa menghadapi
lereng-lereng curam ini sejak kecil. Tanaman pala yang kami tanam memerlukan
perawatan dan pemeliharaan yang teliti di lahan-lahan curam seperti ini."
Belanda itu mengangguk mengerti,
semakin terkesan dengan kegigihan dan pengetahuan yang dimiliki oleh penduduk
setempat.
Di tengah perjalanan, ketika
mereka harus melewati tebing yang tinggi dan berbatu, Belanda itu tampak
kesulitan menyesuaikan diri dengan medan yang keras.
"Tala-Awi," desahnya,
menahan napas ketika melewati satu titik terjal yang terlihat sulit untuk
dinaiki.
Seorang penduduk setempat yang
berjalan di dekatnya tersenyum, "Tala-Awi? Apakah anda tidak yakin bisa
melanjutkan perjalanan ini."
Belanda itupun tersenyum penuh
arti, “kita harus bisa …. !!!” katanya bersemangat.
Mereka semua berhenti sejenak
untuk istirahat, mengumpulkan kekuatan dan membangun semangat baru untuk
melanjutkan perjalanan yang masih panjang.
Setelah melewati beberapa jam
perjalanan yang menantang, mereka akhirnya tiba di puncak perbukitan, mereka memandang
kembali ke bawah, melihat sejenak jejak langkah mereka ketika berupaya mendaki
bukit itu. Belanda itu tersenyum puas, sambil berkata : “Kita namai tempat itu
Tala- Awi saja ya” yang kemudian diiyakan oleh penduduk. Nama ini kemudian
berkembang menjadi nama kampung Talawid.
Panorama Indah dari Bulude
Pada sore hari, ketika matahari
hampir tenggelam di ufuk barat, mereka akhirnya tiba di Bulude. Mereka semua
merasa lega, karena ternyata dari Bulude ini menawarkan pemandangan alam yang menakjubkan.
Mereka bisa melihat dengan jelas pemandangan yang memukau di depan mata. Sumber
air yang melimpah, serta pantai yang luas dan indah yang terhampar di kejauhan.
"Lihat di sana, Pantai itu
sungguh luas," ujar seorang pemuda sambil menunjuk ke arah pantai.
"Mahuene, pantai dengan pasir putih yang begitu indah."
Belanda itu tersenyum, mengingat
kata-kata yang pernah ia dengar sebelumnya. "Mahuene, ya? Nama yang cocok
untuk tempat itu," katanya sambil mengamati dengan rasa kagum.
Di sebelah timur, Nampak pula
suatu mata air yang melimpah mengalir dengan jernih dari celah-celah batu di
lereng bukit.
"Pemandangan ini sungguh
luar biasa," ucap seorang pemuda sambil menatap air yang mengalir dengan
tenang di bawahnya. "Inilah yang kita cari selama ini."
Belanda yang tinggal bersama
mereka mengangguk setuju, terkesima dengan keindahan alam yang mereka temui.
"Sungguh luar biasa betapa alam bisa memberikan kita segalanya,"
katanya sambil tersenyum.
Saat matahari perlahan tenggelam
di ufuk barat, warna-warna oranye dan merah memantul di atas permukaan air yang
tenang, menciptakan pemandangan yang begitu memukau.
"Kita harus memulai
membangun kehidupan baru di sekitar tempat ini," kata seorang perempuan
tua dengan suara yang hangat. "Kita bisa membangun pemukiman dan menjaga
alam ini dengan baik." Lanjutnya.
Penduduk Eneraha segera bergerak,
bekerja sama untuk membangun pondok-pondok sederhana di sekitar Bulude. Mereka
menggunakan kayu-kayu dan bahan-bahan alami lainnya yang didapati dari tempat
sekitarnya untuk membangun tempat tinggal sementara mereka.
Sementara itu, sebagian penduduk
lainnya mulai menjelajahi sekitar pantai yang luas dan indah di bawahnya. Pasir
putih yang bersih dan air laut yang jernih menjadi daya tarik utama bagi
mereka. Mereka menyaksikan keindahan alam yang begitu mempesona, dan segera
mereka menamainya "Mahuene," yang berarti "banyak pasir"
dalam bahasa setempat.
"Pantai Mahuene, tempat yang
memukau," ucap seorang pemuda dengan penuh kekaguman.
Belanda yang tinggal bersama
mereka merasa senang melihat bagaimana penduduk setempat dengan cepat
beradaptasi dan merespons dengan lingkungan baru mereka.
Dengan penuh semangat dan harapan
baru, penduduk dari Eneraha mulai membangun komunitas kecil mereka di Bulude,
menggunakan pengalaman mereka dalam bercocok tanam pala untuk menghasilkan
kehidupan baru di tanah yang subur ini.
Perpindahan ke Pantai
Mahuene
Setelah beberapa waktu tinggal di
Bulude dan membangun pemukiman sementara mereka, penduduk ini kemudian mulai
merasa tertarik untuk mengikuti jejak rekan-rekan mereka yang lain, ke arah
pantai yang mereka sebut Mahuene. Pasir putih yang luas dan air laut yang
jernih telah memikat hati mereka sejak kedatangan pertama mereka di Bulude.
Suatu pagi, ketika matahari
terbit dengan sinar keemasan yang memantul di atas permukaan air, seorang
pemuda dari Eneraha mengajukan ide, "Mengapa kita tidak menjelajahi pantai
Mahuene? Kita bisa mencari tempat yang lebih nyaman untuk menetap di sana."
Belanda yang tinggal bersama
mereka, yang telah menyesuaikan diri dengan kehidupan di pedalaman, juga merasa
tertarik dengan gagasan tersebut. "Pantai Mahuene tampak begitu menarik.
Mungkin kita dapat menemukan tempat yang cocok untuk pemukiman permanen di
sana."
Dengan semangat baru, penduduk
Eneraha mulai mempersiapkan diri untuk perjalanan menuju pantai Mahuene. Mereka
membawa peralatan yang mereka butuhkan untuk mendirikan pemukiman, serta bekal
makanan dan air untuk perjalanan mereka.
Perjalanan ke pantai Mahuene
tidaklah mudah. Mereka harus melintasi lereng-lereng yang agak curam dan hutan
yang lebat, yang sebelumnya jarang dilalui orang. Saat matahari mulai tenggelam
di ufuk barat, mereka tiba di tujuan akhir mereka.
"Pemandangan ini sungguh
mempesona," ucap seorang perempuan sambil menghirup udara laut yang segar.
"Pasir putih dan air laut yang begitu jernih."
Mereka segera mulai mencari
lokasi yang cocok untuk membangun pemukiman permanen mereka. Beberapa pemuda
membentangkan tenda sementara sambil yang lain mulai mengumpulkan kayu dan
bahan-bahan alami lainnya untuk konstruksi.
Belanda itu tersenyum, melihat
bagaimana penduduk Eneraha dengan cepat beradaptasi dengan lingkungan baru
mereka. "Ini adalah awal yang baik untuk kehidupan baru kita di
Mahuene," katanya dengan penuh harapan.
Dengan semangat yang membara,
mereka mulai membangun pondok-pondok sederhana dan tempat tinggal lainnya di
sekitar pantai Mahuene. Mereka berharap dapat menjadikan tempat ini sebagai
rumah baru mereka, di mana mereka dapat hidup berdampingan dengan alam yang
indah dan melimpah.
Serangan Wabah
Kehidupan di Mahuene berjalan
damai dan penuh harapan bagi penduduk yang telah menetap di pantai itu. Mereka
berhasil membangun pemukiman sederhana dan menikmati keindahan alam serta hasil
laut yang melimpah. Namun, kehidupan mereka segera terancam oleh kehadiran yang
tak terduga: wabah demam berdarah.
Musim hujan yang berikutnya
membawa hujan lebat yang memicu berkembang biaknya nyamuk di sekitar pantai
Mahuene. Nyamuk-nyamuk ini membawa virus yang menginfeksi penduduk, menyebabkan
demam tinggi dan gejala lain yang mengancam nyawa.
Pertama-tama, beberapa anak kecil
mulai merasakan demam tinggi yang tidak kunjung reda. Seorang ibu panik ketika
anaknya yang biasanya aktif terbaring lemah tak berdaya di pangkuan. "Ini
tidak mungkin terjadi," bisiknya dengan mata berkaca-kaca. "Anak-anak
lain juga mulai sakit."
Penduduk segera menyadari bahwa
mereka menghadapi wabah serius. Mereka berusaha keras untuk merawat yang sakit
dan mencegah penyebaran lebih lanjut. Tetapi, dengan sumber daya yang terbatas
dan akses terbatas ke perawatan medis modern, situasi menjadi semakin buruk.
Seorang pemuda mencoba mengingat
kata-kata orang tua mereka, tentang "Mateni," istilah lokal untuk
nyamuk. "Inilah Mateni yang mereka bicarakan," katanya dengan nada
pahit. "Mereka membawa penyakit dan kematian."
Belanda yang tinggal bersama
mereka juga terkena dampaknya. Meskipun tidak terbiasa dengan kondisi tropis
yang memungkinkan berkembang biaknya nyamuk, dia berusaha membantu dengan
pengetahuan dan pengalamannya. "Kita harus bertahan," ujarnya dengan
suara tegas. "Kita harus mencari cara untuk melawan wabah ini."
Masyarakat Mahuene bersatu padu,
mencoba segala cara untuk melindungi diri mereka dari gigitan nyamuk. Mereka
membakar daun-daun tertentu yang dikenal memiliki sifat pengusir nyamuk,
meskipun efektivitasnya terbatas. Mereka juga mengisolasi yang sakit dan
menjaga kebersihan lingkungan sebaik mungkin.
Namun, wabah terus menyebar
dengan cepat di antara penduduk. Semakin banyak yang jatuh sakit, dan semakin
banyak pula yang kehilangan nyawa mereka.
Dalam keputusasaan, mereka
akhirnya meminta bantuan dari kota terdekat. Mereka mengirim pesan untuk
meminta obat-obatan dan bantuan medis yang mendesak.
Sementara itu, seorang perempuan
tua mengadakan pertemuan di tengah malam. "Kita harus berdoa,"
katanya dengan suara gemetar. "Doa adalah satu-satunya harapan kita
sekarang."
Masyarakat Mahuene bersatu dalam
doa, memohon perlindungan dan kesembuhan bagi mereka yang sakit. Mereka
menghadapi ujian yang sangat besar, dan masa depan mereka tampak suram di bawah
bayang-bayang wabah yang tak terlihat ini.
Persatuan Menghadapi
Cobaan
Meskipun terpuruk dalam ketakutan
akan wabah yang melanda, masyarakat Mahuene tidak menyerah begitu saja. Mereka
bergandengan tangan dalam upaya melawan mateni, menyatukan kekuatan dan tekad
untuk melindungi yang tersisa dari serangan mematikan ini.
Saat malam menjelang, sebuah
rapat darurat digelar di tengah desa. Di bawah cahaya gemerlap api obor, suara
perempuan tua dari Eneraha bergema, "Kita tidak boleh menyerah pada teni
ini! Kita harus bersatu dan mencari cara untuk melawan."
Beberapa pemuda yang tangguh,
meskipun merasakan ketakutan dalam hati mereka, mengangguk setuju. "Kita
harus mencoba segala cara yang ada. Kita bisa membakar lebih banyak daun, atau
mencari obat alami yang mungkin bisa menolong," ujar salah satu dari
mereka dengan semangat.
Belanda yang tinggal bersama
mereka turut berbicara, "Saya akan mencoba menghubungi teman-teman saya di
kota terdekat. Barangkali mereka bisa mengirimkan bantuan medis atau
obat-obatan yang dibutuhkan."
Pagi-pagi buta, sekelompok
penduduk Mahuene keluar dengan semangat yang baru. Mereka menyebarkan daun-daun
pengusir teni di sekitar pemukiman mereka. Beberapa yang lain menemui seorang
dukun dari desa tetangga, berharap akan ramuan tradisional yang dapat
menyembuhkan penyakit yang mengerikan ini.
Sementara itu, di tengah desa,
para ibu dan nenek sibuk merawat yang sakit dengan perawatan tradisional mereka
sendiri. Mereka mengoleskan ramuan herbal yang diyakini dapat menurunkan demam
dan mengusir mateni yang mengancam.
Seminggu berlalu dengan
ketegangan dan doa yang terus menerus. Beberapa orang mulai menunjukkan
tanda-tanda pemulihan, tetapi tidak sedikit yang tetap berjuang untuk hidup
mereka. Setiap langkah yang diambil diiringi dengan harapan dan kekhawatiran
yang mendalam.
Pada hari yang cerah setelah
hujan deras mereda, sebuah perubahan terlihat di Mahuene. Lebih sedikit
penduduk yang terbaring sakit, dan semangat untuk bangkit kembali mulai terasa
di udara. Mereka yang telah sembuh mulai kembali bekerja di ladang dan memperbaiki
rumah yang terlantar.
Pohon pala dan kelapa yang telah
diabaikan selama wabah kembali menjadi sumber kehidupan. Hasil laut yang kaya
kembali memberi mereka kekuatan untuk menghadapi masa depan yang lebih cerah.
Masyarakat Mahuene belajar dari pengalaman pahit mereka dan semakin bersatu
dalam menghadapi cobaan apa pun yang akan datang.
Di antara reruntuhan dan
puing-puing kehidupan mereka yang hampir hancur, mereka menemukan kekuatan
dalam persatuan mereka. Bersama, mereka membuktikan bahwa dengan tekad yang
kuat dan kerja keras, mereka dapat mengatasi bahkan serangan mateni yang mengerikan
itu.
Mahuene, yang sebelumnya hampir
runtuh oleh kekuatan mateni, bangkit kembali dengan semangat baru. Mereka
menjadi contoh bagi desa-desa sekitar tentang bagaimana persatuan dalam cobaan
dapat mengubah nasib sebuah komunitas.
Penutup
Seiring berjalannya waktu,
Kampung Talawid terus tumbuh dan menjadi bagian penting dari kehidupan
masyarakat di Sangihe. Setiap tahunnya, penduduknya terus berupaya membangun
dan memperkuat identitas mereka sebagai bagian dari sejarah yang kaya dan warisan
budaya yang berharga.
Pada tahun 2006, tanda
penghormatan atas perjalanan mereka yang panjang terwujud dalam keputusan
Pemerintah Sangihe untuk memekarkan Kampung Talawid menjadi dua kampung yang
terpisah: Kampung Talawid dan Kampung Mahuneni. Keputusan ini tidak hanya
bertujuan untuk mengakui dan menghormati warisan budaya mereka, tetapi juga
sebagai langkah strategis untuk lebih memperkuat kedua kampung tersebut dalam
pengelolaan wilayah dan pemerintahan setempat.
Pemekaran tersebut memberikan
kesempatan bagi masing-masing kampung untuk fokus pada pembangunan
infrastruktur, pelayanan masyarakat, serta pelestarian lingkungan dan budaya.
Kampung Talawid dan Kampung Mahuneni terus bekerja keras untuk menjaga kelestarian
lingkungan alam mereka yang indah, sambil merawat dan mempertahankan
tradisi-tradisi yang telah diwariskan dari generasi ke generasi.
Sejak tahun 2007, kedua kampung
tersebut telah menjadi wilayah administratif Kabupaten Kepulauan Siau
Tagulandang Biaro, yang menegaskan keberadaan dan kontribusi mereka dalam
konteks lebih luas dari pemerintahan lokal. Dengan perubahan ini, komunitas di
Kampung Talawid dan Kampung Mahuneni semakin kuat dalam menjalin persatuan dan
kesatuan, serta semakin mantap dalam menghadapi tantangan masa depan. Mereka
berharap dapat terus memberikan warisan yang berharga bagi generasi mendatang,
sambil menjaga keutuhan dan keberlanjutan lingkungan serta budaya mereka yang
unik.
Sekian … dan
Terimakasih…. !!!
Referensi
Igel Gahagho
(24 Oktober 2023), Sulut Aktual, diakses pada tanggal 7 Juli 2024 melalui Situs
: https://www.sulutaktual.com/2023/10/24/jejak-sejarah-kampung-talawid-dari-tala-awi-hingga-mahuene-dan-mateni/.
Pelma Piter,
Penjabat Kapitalau Talawid, narasumber yang diwawancarai langsung pada sabtu, 8
Juli 2024.
Steven Aling,
Objek Wisata Sitaro, Negeri 47 Pulau, diakses pada 7 Juli 2024 melalui situs : https://clippingnews2011.blogspot.com/2011/06/legenda-kampung-talawid-dan-mahuneni.html?spref=bl.