Oleh : Pdm. Fredrik Dandel, ST, STh, MAg, MTh
Pendahuluan
Hidup dalam dunia yang tidak bersahabat dengan iman seringkali menimbulkan kelelahan rohani. Orang-orang percaya pada zaman Rasul Petrus sedang mengalami penganiayaan dan tekanan dari lingkungan sekitar mereka. Sebagai pendatang dan perantau di tengah dunia yang gelap, mereka bergumul untuk tetap setia. Dalam situasi seperti ini, mudah bagi seseorang untuk menyerah, kehilangan arah, atau bahkan tergoda kembali kepada kehidupan lama yang lebih nyaman secara lahiriah. Surat 1 Petrus ditulis untuk menguatkan mereka agar tetap berdiri teguh dalam kasih karunia Tuhan.
Dalam bagian sebelumnya (ayat 1–12), Petrus mengingatkan bahwa mereka telah menerima keselamatan yang besar dan mulia, sesuatu yang bahkan para nabi dan malaikat ingin menyelidiki. Keselamatan itu bukan hanya janji masa depan, tetapi juga kekuatan untuk menjalani hidup saat ini. Maka, bagian yang kita renungkan hari ini (ayat 13–16) adalah ajakan untuk merespons anugerah keselamatan itu dengan cara hidup yang sesuai: hidup dalam kekudusan. Kekudusan bukanlah tuntutan yang dingin, tetapi panggilan yang lahir dari relasi kasih dengan Allah yang telah memilih dan menebus kita.
Seruan untuk hidup kudus dalam teks ini sangat relevan bagi orang percaya masa kini. Kita pun hidup di tengah dunia yang tidak sejalan dengan nilai-nilai Kristus. Godaan untuk bersikap kompromi, untuk menyerah kepada keinginan daging, atau untuk mencampuradukkan kekristenan dengan standar dunia, terus menerus mengintai. Tetapi melalui firman ini, Tuhan memanggil kita untuk menyiapkan akal budi, hidup waspada, dan mengarahkan pengharapan kita kepada kasih karunia-Nya. Hidup kudus bukan hanya mungkin, tetapi mutlak perlu sebagai tanda bahwa kita adalah anak-anak Allah.
I. Siapkan Akal Budimu dan Arahkan Harapanmu (ayat 13)
Petrus berkata, “Karena itu, siapkanlah akal budimu, waspadalah dan letakkanlah pengharapanmu seluruhnya atas kasih karunia yang dianugerahkan kepadamu pada waktu Yesus Kristus menyatakan diri-Nya.” Seruan ini mengandung tiga langkah rohani: (1) menyiapkan akal budi; (2) hidup waspada; dan (3) mengarahkan pengharapan kepada Kristus. Pikiran yang siap artinya berpikir jernih dan fokus secara rohani, tidak hanyut oleh pengaruh dunia atau ketakutan akan penderitaan.
Sikap waspada yang dimaksud Petrus adalah kesadaran terus-menerus bahwa kita hidup dalam masa penantian. Dunia ini bukan rumah kita yang kekal; kita sedang menantikan kedatangan Kristus. Itulah sebabnya kita harus hidup dengan kesadaran rohani penuh, tidak tidur secara rohani (bandingkan dengan 1 Tesalonika 5:6–8).
Dan dasar dari semua itu adalah kasih karunia, bukan usaha manusia. Petrus menegaskan bahwa pengharapan kita harus "seluruhnya" tertuju pada anugerah Kristus, bukan sebagian. Seorang Kristen sejati tidak hanya berharap pada Tuhan untuk masa kekekalan, tetapi juga menjadikan pengharapan itu kekuatan untuk hidup benar setiap hari.
II. Hiduplah Sebagai Anak-anak yang Taat (ayat 14)
Ayat 14 berkata, "Hiduplah sebagai anak-anak yang taat dan jangan turuti hawa nafsu yang menguasai kamu pada waktu kebodohanmu." Identitas sebagai anak Tuhan seharusnya tercermin dalam gaya hidup yang baru. Kita tidak lagi diperintah oleh nafsu seperti dahulu, ketika kita belum mengenal Allah. Ada perubahan nyata yang harus tampak dalam cara kita berpikir, berbicara, dan bertindak.
Ketaatan bukan sekadar menghindari dosa besar, tetapi juga mencerminkan relasi yang benar dengan Tuhan. Anak yang taat mengerti kehendak Bapa dan melakukannya bukan karena takut dihukum, melainkan karena kasih. Bandingkan dengan Yohanes 14:15, “Jikalau kamu mengasihi Aku, kamu akan menuruti segala perintah-Ku.”
Perubahan hidup ini adalah hasil dari kelahiran baru, bukan usaha moral semata. Kita tidak lagi hidup dalam kebodohan, yaitu hidup tanpa pengenalan akan Allah. Sekarang, sebagai anak-anak terang (Efesus 5:8), kita hidup berbeda, bukan mengikuti arus dunia, melainkan taat kepada Kristus.
III. Jadilah Kudus dalam Segala Hal (ayat 15–16)
Petrus menegaskan, “Tetapi hendaklah kamu menjadi kudus di dalam seluruh hidupmu sama seperti Dia yang kudus, yang telah memanggil kamu.” Kekudusan bukan hanya untuk hari Minggu atau kegiatan gereja. Kekudusan harus meresap dalam seluruh hidup: pekerjaan, keluarga, pikiran, dan tindakan sehari-hari. Ini adalah panggilan yang radikal—untuk menjadi seperti Allah dalam karakter dan tujuan hidup.
Ayat 16 mengutip Imamat 11:44-45: “Kuduslah kamu, sebab Aku kudus.” Ini menunjukkan bahwa kekudusan bukanlah ide baru, tetapi sudah menjadi standar Allah sejak Perjanjian Lama. Kekudusan adalah tanda hubungan yang hidup dengan Tuhan. Kita dipanggil untuk menjadi berbeda dari dunia, bukan agar merasa lebih baik, tetapi agar memuliakan Tuhan yang kudus.
Hidup kudus bukan hidup sempurna tanpa salah, tetapi hidup yang terpisah dari dosa dan terus dibentuk oleh Roh Kudus. 2 Korintus 7:1 berkata, “Karena kita memiliki janji-janji itu... marilah kita menyucikan diri kita dari semua pencemaran tubuh dan roh, dan dengan demikian menyempurnakan kekudusan kita dalam takut akan Allah.” Kekudusan bukan pilihan, tetapi perintah yang menunjukkan bahwa kita adalah milik Allah.
Penutup
Hidup dalam kekudusan bukanlah beban, melainkan kehormatan. Kita dipanggil bukan hanya untuk menerima keselamatan, tetapi untuk mencerminkan kekudusan Allah dalam hidup sehari-hari. Dalam dunia yang penuh kompromi, Allah memanggil umat-Nya untuk hidup berbeda, siap secara rohani, taat, dan kudus. Kiranya setiap kita menyambut panggilan ini dengan sukacita dan tekad, sambil menantikan kedatangan Kristus dalam kemuliaan.