Sabtu, 15 Juni 2013

MEMI, Sebuah Mitos yang Bisa Berulang ?

MITOS tentang MEMI kembali mencuat di Kampung Talawid. Penyebabnya Oma Mbau Ba, penduduk setempat dikabarkan sempat menghilang di Hutan Belliang dan baru diketemukan kurang lebih dua jam yang lalu (kira-kira jam 21.00 WITA).
Informasi yang dirangkum dari berbagai sumber baik lewat kabar yang beredar di Facebook maupun Telepon Seluler menyebutkan. Wanita tua tersebut berhasil ditemukan oleh warga kedua kampung Talawid dan Mahuneni setelah melalui pencarian semenjak sore harinya. Anehnya, beliau ditemukan di bawah Kalu Nunu (pohon beringin). Kejadian ini telah membuat kepanikan yang luar biasa penduduk setempat hingga sekarang. Di setiap sudut-sudut kampung menjadi pusat berkumpulnya masyarakat membicarakan peristiwa ini.

Peristiwa menghilangnya warga dan kemudian ditemukan di Kalu Nunu, bukanlah baru kali ini terjadi di sana. Penuturan orang-orang tua dulu sering mengkaitkan hal ini dengan istilah "Niwuni Memi" yang artinya disembunyikan oleh Memi. Entahlah bagaimana wujud dari "Memi" tersebut masihlah menjadi tanda tanya. Tapi mitos ini kemudian sering dijadikan sebagai peringatan orang tua kepada anak-anak supaya tidak bermain sembunyi-sembunyi terutama di malam hari, karena takut disembunyikan oleh makluk yang satu itu di Kalu Nunu.

Rabu, 12 Juni 2013

MEMBEDAH SEJARAH TEMPOE DOELOE LEWAT LAGU TRADISIONAL MASYARAKAT SIAU (Khususnya Masyarakat di Kec. Siau Barat Selatan).


Oleh : Fredrik Dandel, ST.
Masyarakat Pulau Siau sejak jaman dahulu merupakan masyarakat yang berbudaya. Hal ini dibuktikan bukan hanya karena pulau Siau dan sekitarnya pada lebih dari 500 tahun yang lalu telah menjadi sebuah negeri yang berdaulat dengan bentuk Kerajaan Siau. Tetapi juga dapat ditemukan dari cerita tempoe doeloe yang dikisahkan secara lisan dari satu generasi ke generasi lainnya.

Kisah yang diceritakan secara lisan seringkali diabadikan lewat syair-syair lagu. Umumnya syair lagu tersebut syarat dengan makna sejarah atau peristiwa yang dialami oleh masyarakat waktu itu. Seperti halnya syair dalam lagu berikut :

Nakataku si kami lima
Nikarusang u pamo
Palhiangheng e napapedi
Senggo e naghaghede

Pundalhe simbua nailang
Pundalhe simbua nailang
Pundalhe simbua nailang
Nikerea su Sawang u patung.

Lirik lagu diatas, menceritakan tentang suatu peristiwa yang menimpa lima orang yang pastinya berasal dari P. Siau. Dalam suatu perjalanan pelayaran mereka mengalami kerusakan Pamo (salah satu alat transportasi tradisional). Kerusakan tersebut rupanya amatlah hebat, sebab yang mungkin terjadi adalah karena terjangan ombak angin barat yang terkenal ganas, sehingga menyebabkan rusaknya penahan sema-sema (paliahenge napapedi), layar robek (Senggo e naghaghede) serta kehilangan dayung (pundalhe simbua nailang).
Dapat dibayangkan, ketika 3 (tiga) hal yang sangat dibutuhkan dalam pelayaran ini semuanya tak lagi berfungsi. Tentunya suatu hal yang sangat menghantui pikiran mereka, bahwa kematian akan segera menjemput, dan inilah yang sangat menakutkan mereka (Nakataku si kami lima).
Kelima orang tersebut, entah siapa dan berasal dari kampung mana ? sulitlah dipastikan identitasnya. Sekalipun ada orang tua yang mengatakan bahwa peristiwa ini terjadi di dekat Tonggeng Singkaha yang terkenal sangat berbahaya. Hal ini dapatlah dipertegas dengan syair lagu berikut ini :

Batuwulang, Niambangeng,
Kiawang, Hiung, Kinali,
Lehi, Pehe, Ondong, Paniki,
Paseng, Peling, Laghaeng,

Batusenggo, Eneraha,
Talawide, Mahuneni,
Tonggeng Singkaha berbahaya,
Tonggeng Bahu Sirungang.

Dari syairnya, dapat dipastikan bahwa pencipta lagu tersebut adalah warga masyarakat Kampung Talawid / Kamp. Mahuneni Kec. Siau Barat Selatan. Penggubah lagu mengetahui benar bahwa Tonggeng Singkaha adalah sebuah tanjung yang berbahaya. Mengapa berbahaya ? Berdasarkan penuturan beberapa orang tua yang saya tanyakan, disamping peristiwa yang menimpa 5 (lima) orang dalam Pamo seperti dikisahkan di atas, umumnya mereka juga mengaminkan bahwa tonggeng singkaha itu telah menelan banyak korban, terutama di seputar daerah Batu Derendung. Terungkaplah sebuah kisah tentang satu keluarga yang sempat hilang tak tahu rimbanya tatkala mereka melewati Tonggeng Singkaha ini dalam perjalanan pengembaraan mereka. Sampai sekarang cerita / mitos ini sangat membekas di hati masyarakat Kampung Talawid dan Kampung Mahuneni, sekalipun tidak diabadikan dalam syair lagu.

Ada pula syair lagu tradisional lainnya yang berbunyi seperti demikian :

Bulude Lisung
Bongkong Baliang
Tonggene Bahu
Bawa Singkaha

I Sire Epa
Nipunialang
Mahuneni
Soang Tamawala

Dalam lagu ini, penyair yang dapat dipastikan adalah masyarakat Kampung Mahuneni Kec. Siau Barat Selatan mencoba mengutarakan kecintaannya kepada Kampung halaman dengan mengabadikan empat lokasi sebagai penanda Kampung Mahuneni yakni : 1. Bulude Lisung, 2. Bongkong Baliang, 3. Tonggeng Bahu, serta 4. Tonggeng Singkaha.

Bersambung ................................

MARS KORPRI

Lagu Mars KORPRI ditetapkan berdasarkan Keputusan Musyawarah Nasional VI KORPRI Nomor Kep-09/MUNAS/2004 tanggal 30 Nopember 2004. Lagu Mars KORPRI masih berlaku, namun diberikan kewenangan kepada DPP KORPRI untuk menghubungi penciptanya apabila akan dilakukan penyesuaian aslinya. Berikut adalah lirik lagu Mars Korpri :

Tempo di Marcia
Con Vigore
Teks/Musik : EL Pohan

MARS KORPRI

Satukan irama langkahmu
Bersatu tekad menuju ke depan
Berjuang bahu-membahu
Memberikan tenaga tak segan

Membangun negara yang jaya
Membina bangsa besar sejahtera
Memakai akal dan daya
Membimbing membangun mengemban

Berdasar Pancasila
Dan Undang-Undang Dasar Empat Lima
Serta dipadukan oleh haluan negara
Kita maju terus

Di bawah Panji Korpri
Kita mengabdi tanpa pamrih
Di dalam naungan Tuhan Yang Maha Kuasa
Korpri maju terus